Oleh : Indra Setiawan, S.H

UUD 1945 dengan jelas telah menjamin kebebasan berekspresi bagi setiap orang. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 28 E (ayat 2) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada ayat 3 ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”


Jaminan konstitusional ini jabarkan lebih jauh dalam Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dikatakan pada Pasal 23 (ayat 2) UU tersebut, bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak eletronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Kebebasan berekspresi juga telah mendapat pengakuan secara universal. Pengakuan tersebut tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media, tanpa memandang batas-batas negara”.

Why

Sedangkan Pasal 19 (ayat 2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik  merumuskannya sebagai berikut : “setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”.

Di negara-negara demokratis, pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana dianggap sebagai lonceng kematian terhadap kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, tindakan yang dianggap merugikan reputasi seseorang, biasanya akan diminta pertanggungjawabannya melalui hukum perdata, bukan pidana.

Di Amerika Serikat, tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan. Hal itu dianggap bertentangan denganFirst Amandement dalam konstitusi Amerika Serikat yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Dalam hal ini kita dapat melihat putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus New York Times v. Sullivan pada 1964. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyebutkan bahwa pejabat pemerintah (public figure), hanya dapat meminta pertanggungjawaban media atau mereka yang membuat pernyataan pencemaran secara perdata. Sejak adanya putusan Mahkamah Agung tersebut, gugatan atas pencemaran nama baik jarang diajukan ke Pengadilan. Karena bagi mereka yang menggugat harus dapat membuktikan apa yang disampaikan atau yang dipublikasikan oleh tergugat adalah salah atau rekayasa.

Menurut Toby Daniel Mendell, Pakar perbandingan Hukum Internasional, dalam keterangan ahli pada sidang uji materi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal pencemaran nama baik yang diajukan oleh wartawan kolumnis Tempo Bersihar Lubis dan Pemimpin Umum Radar Yogja Risang Bima, di Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Juli 2008, berpendapat bahwa sanksi pidana untuk kasus pencemaran nama baik sudah tidak relevan lagi di dunia modern. Banyak negara sudah meninggalkan ketentuan itu dan menggantinya dengan sanksi perdata. Karena sanksi pidana dinilai tidak proporsional dan berlebihan untuk menghukum suatu tindak pencemaran nama baik. Lebih lanjut menurut Mendell, kebebasan berpendapat adalah dasar sebuah negara demokrasi. Sebagai hak dasar, kebebasan ini memang dapat dibatasi asalkan dilakukan secara sah. Pembatasan harus dilakukan dengan undang-undang, memiliki tujuan yang sah, atau untuk melindungi tujuan yang sah. Namun, pembatasan harus dilaksanakan secara hati-hati dan tidak boleh memiliki killing effect (efek membunuh) sehingga membuat orang tak berani mengemukakan pendapat.

Begitupun di Negara Filipina, Mahkamah Agung Filipina telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.08-2008 yang dikeluarkan pada 25 Januari 2008. SEMA tersebut menginstruksikan kepada para hakim untuk menjatuhkan pidana denda bagi mereka yang terbukti memfitnah daripada pidana penjara. Penerapan atas Surat Edaran Mahkamah Agung ini dapat dilihat dalam kasus tindak pidana fitnah terhadap penerbit Gossip Tabloid. Denda yang dijatuhkan sebesar $143.00. Putusan ini membatalkan hukuman penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Banding. Selain itu Mahkamah Agung Filipina juga menginstruksikan kepada penerbit Gossip Tabloid untuk membayar komplain P1.000.000.00 ($24.000.00) sebagai ganti rugi [Fermin versus Rakyat Filipina, SC GR No. 157643 (28 Maret 2008)]

Bahwa keberadaan ketentuan pidana pencemaran nama baik telah melanggar Kebebasan berekspresi dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR). Undang-undang yang memuat pencemaran nama baik secara nyata telah membatasi hak atas kebebasan berekspresi. Sebenarnya ada beberapa hukuman lain yang tidak begitu represif atau tanpa mencederai hak berbicara dab berpendapat yaitu hukuman denda.