Penulis :
Indra Setiawan, S.H, Rahmat Angga Dwi Putra, S.H, Novia Astuti, S.H, Ridha Sefira, S.H, Ahmad Husairi, S.H, Rini Septiani, S.H, Agung Wijaya Saputra, S.H, Aprilia Tri Wulandari, S.H, Bagus Haryo Dimas, S.H, Deby Inka Kavita, S.H, Eno Sambolon, S.H, M. Ekky W. Dwi Putra, S.H, Reza Badia Sirait, S.H, Qulil Haq, S.H,
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Di Indonesia sejak 1998 telah melakukan perubahan yang cukup baik dalam tataran hukum konstitusi maupun beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Perubahan tersebut tercermin dalam amandemen UUD 1945. Khusus mengenai kebebasan berpendapat diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang kini telah memuat 10 pasal tentang jaminan hak asasi manusia yang secara spesifik diatur di Pasal 28 E (ayat 2) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada ayat 3 ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu kebebasan berpendapat juga diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 23 (ayat2) dikatakan bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak eletronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.
Sedangkan UU No 12 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 19 (ayat 2) dirumuskannya sebagai berikut : “setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”.
Akan tetapi UUD 1945 juga mengatur pembatasan hak sebagaimana tertuang di Pasal 28 J Ayat (2) yang menyatakan bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib unduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasanorang lain dan untuk memenuhi pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan oran lain dan untuk memenuhi tuntutan adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarkat demokratis.
Namun meskipun UUD 195 memberlakukan pembatasan kebebasan berekspresi tetapi pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau melemahkan esensi suatu hak yang diakui oleh UUD. Perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi induvidu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yakni hak atas kebebasan berbicara (free speech), berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of the press)–yang juga harus diproteksi oleh Negara. Jangan sampai kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kehormatan dan reputasi tersebut menjadi senjata ampuh dalam menghadapi kebebasan berbicara atau kebebasan pers.
Ada beberapa kebijakan yang masih dianggap membelenggu Kebebasan berpendapat dan berekspresi. Salah satu masalah yang signifikan dalam persoalan kebebasan berekspresi adalah masalah penggunaan pasal-pasal pidana terkait dengan penghinaan (Pencemaran nama baik (defamation), Penghinaan (insult), Fitnah (slander, libel), dan lainnya), yang secara umum penghinaan diatur dalam Bab XVI KUHP dan dikelompokkan menjadi 7 bagian yaitu menista, fitnah, penghinaan ringan, penghinaan terhadap pegawai negeri, pengaduan fitnah, persangkaan palsu, dan penistaan terhadap orang mati. KUHP sendiri tidak memberikan rumusan atau definisi apa yang dimaksud dengan penghinaan. Secara khusus yang ditentukan dalam KUHP mengenai penghinaan adalah elemen – elemen tindak pidana menista dan fitnah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Sedangkan penghinaan melalui media internet, terdapat di Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 UU No 11 Tahun 2008. Sehingga akibatnya terjadi detterent effect yang ampuh bagi para pengguna internet, karena untuk pertama kalinya dalam perkara penghinaan seseorang bisa ditahan karena melakukan tindak pidana penghinaan di Internet.
Oleh karenanya melalui tulisan ini, akan membahas secara komprehensif dan mendalam berkaitan dengan sejauh mana kekuatan hukum perlindungan hak asasi manusia menyampaikan pendapat terhadap pasal penghinaan.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat?
- Apa Batasan-Batasan Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan Tindak Pidana Penghinaan?
- Manfaat
- Menambah khasanah kajian hukum di civitas akademis.
- Memberikan informasi dan pengetahuan hukum kepada masyarakat tentang hak kebebasan menyamapaikan pendapat dan batasan-batasannya
- Tujuan
- Untuk Mengetahui Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
- Untuk Mengetahui Batasan-Batasan Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan Tindak Pidana Penghinaan
PEMBAHASAN
Pengertian Hak Menyampaikan Pendapat
Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat pada diri manusia yang telah dimilikinya sejak ia lahir, hak asasi manusia ini dimiliki oleh setiap manusia. Sesuai dengan pengertian hak asasi manusia tersebut perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun manusia di dunia yang tidak memiliki hak asasi manusia, pasti manusia tersebut memilikinya. Namun, tidak semua hak yang dimiliki dapat terpenuhi dengan baik karena ada batasan hak yang diatur oleh negara. Terdapat beberapa penyelewengan yang terjadi dengan faktor penyebabnya maupun dampak yang diakibatkannya. Dengan adanya hak asasi manusia ini diharapkan bahwa semua manusia merasakan hak yang sama, mendapatkan perlakuan yang sama, tanpa membedakan dari aspek apapun.
Berdasarkan pada teori kontrak sosial ,untuk memenuhi hak-hak tiap mansusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing secara individual, tetapi harus bersama-sama, batas-batas hak individual dan siapa yang bertanggung jawab, untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi disuatu Negara kemudian di elaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan Negara[1]. Salah satu hal yang sangat penting dalam demokrasi adalah kebebebasan warganegara dalam berbagai aspek yaitu salah satunya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum.
Menurut Universal Declaration Of Human Right, pasal 19 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.” Pendapat adalah suatu pandangan atau buah pikiran seseorang terhadap sebuah kebenaran dan kebenarannya relatif karena dipengaruhi unsur pribadi dan menurut pandangan masing-masing individu, baik berupa penilaian ataupun saran. Pendapat pun sering disebut opini, gagasan atau argumentasi.[2]
Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh layanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejalan dengan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku dan prinsip hukum intemasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang antara lain menetapkan sebagai berikut:
- Setiap orang memiliki kewajiban terhadap masyarakat yang memungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan penuh;
- Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasanorang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakaat yang demokratis;
- hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa[3].
Di Indonesia, demokrasi diberikan setelah masa reformasi, dimana terdapat kebebasan pers dalam menyam-paikan pendapatnya. Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya. Menurut Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”
Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat tersebut juga diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.
Undang-undang Republik Indonesia no. 40 tahun 1999 tentang pers. Kebebasan pers terungkap jelas dalam perundang-undangan ini seperti adanya berbagai jaminan tentang kebebasan mengeluarkan pendapat serta tidak ada pengekangan terhadap individu maupun kelompok yang ingin mengeluarkan pendapat sehingga seluruh warga negara dapat mengeluarkan segala pikiran dan pendapatnya dengan bebas dan penuh tanggung jawab. Kemerdekaan mengeluarkan pendapat dalam kehidupan negara sering dikaitkan dengan kebebasan politik, yaitu seperti berikut:
- Pemilihan Umum
Pada sitem pemerintahan demokrasi, pemilihan umum merupakan wujud kedaulatan rakyat yang paling nyata. Pemilu menjadi begitu penting dalam bentuk pemerintahan demokrasi karena para penyelenggara Negara memperoleh legitimasi kekuasannya dari pemilu berdasarkan hasil pemilu dan proses pemilihan kepala pemerintahan sehingga para penguasa negara mempunyai kekuasaan yang sah dan legal. Sebenarya dalam pemilu kebebasan berpendapat tidaklah terlalu terlihat karena masyarakat hanya diberikan kebebasan untuk memilih walaupun mereka tidak mengenal para calon pemimpin negara tanpa melalui proses jajak pendapat terlebih dahulu.
- Kebebasan Pers
Kebebasan pers adalah kebebasan atau kemerdekaan untuk menyampaikan informasi dan pendapat dalam bentuk gambar dan tulisan melalui pers atau dapat dikatakan sebagai suatu kebebasan untuk memberitahukan suatu keterangan dan mengeluarkan pendapat pikiran dalam pers diselenggarakan secara terbuka dikalangan anggota masyarakat suatu negara.
- Kebebasan Menyerukan Aspirasi Masyarakat
Masyarakat mempunyai pendapat, kehendak, harapan, pemikiran, pilihan, dan cita-cita yang ingin tersampaikan dan tersalurkan karena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan. Dalam situasi yang demikian ini masyarakat bebas menyerukan harapan, gagasan, maupun ide-idenya tanpa adanya batasan-batasan tertentu selama apa yang mereka sampaikan bisa untuk dipertanggung jawabkan. [4]
Adapun asas Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum, dilaksanakan berlandaskan pada:
- asas keseimbangan antara hak dan kewajiban;
- asas musyawarah dan mufakat;
- asas kepastian hukum dan keadilan;
- asas profesionalitas; dan
- asas manfaat.
Kelima asas tersebut merupakan landasan kebebasan yang bertanggungjawab dalam berpikir dan bertindak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Berdasarkan asas ini maka tujuan kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum yaitu:
- Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
- Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesi-nambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
- Mewujudkan iklim yang kondusif, bagi berkembangnya partisipasi dan kreatifitas setiap warga Negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
- Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perseorangan atau kelompok.
Dalam mengemukakan pendapat yang tanpa batas dan tidak bertanggung jawab berarti telah melakukan berikut ini:
- Melanggar hak dan menginjak-injak kebebasan orang lain;
- Melanggar aturan atau norma susila yang diakui hukum;
- Tidak menaati peraturan perundang-undangan/hukum yang berlaku;
- Menimbulkan provokasi massa menuju tindakan yang anarkis dan tidak bermoral;
- Mengganggu kententraman, keamanan, atau ketertiban umum;
- Bersifat adu-domba yang akan memperpecahkan persatuan dan kesatuan bangsa.
- Instrumen Hak Menyampaikan Pendapat
2.2.1 Hukum HAM Internasional Dalam Menyampaikan Pendapat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights adalah sebuah deklarasi yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A(III).
Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia secara internasional haruslah dilindungi. Pengesahan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan pernyataan terpenting tentang kewajiban hak asasi manusia yang diatur dalam Piagam Periserikatan Bangsa-Bangsa.
Deklarasi Universal ini menimbulkan dampak yang sangat dahsyat pada pengembangan hukum internasional maupun hukum nasional tentang hak asasi manusia. Hampir semua perjanjian hak asasi manuia yang diadopsi oleh badan-badan PBB sejak 1948 menguraikan prinsip-prinsip yang diatur dalam Deklarasi Universal. Baik Konvensi Amerika dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia menyatakan dalam pembukaannya bahwa prinsip yang diberlakukan adalah prinsip yang diatur dalam Deklarasi, dan negara-negara CSCE berjanji dalam Helsinki Final Act untuk bertindak “sesuai dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB dan Deklarasi Universal”. Lagipula, banyak negara telah menyesuaikan ketentuan dalam konstitusinya dengan Deklarasi Universal, dan pengadilan nasional menerapkan norma-normanya.[5]
Keberadaan DUHAM ini juga telah menimbulkan dampak bagi pembangunan hukum hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional. Pada dasarnya semua traktat hak asasi manusia diadopsi oleh badan-badan PBB sejak 1948, yakni dengan mengelaborasi serangkaian prinsip-prinsip dalam DUHAM. Hasilnya, saat ini DUHAM secara luas dianggap sebagai Magna Carta, yang harus dipatuhi oleh setiap aktor di seluruh dunia. Hal yang pada awalnya hanya dianggap sebagai aspirasi bersama, kini disambut sebagai “penafsiran otoritatif” dari hak asasi manusia dan menjadikannya sebagai hukum kebiasaan internasional, yang membentuk “global bill of rights”[6].
Melihat implikasi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, kebebasan untuk memiliki dan menyampaikan pendapat tanpa paksaan adalah sesuatu yang absolut, sementara kebebasan untuk berekspresi dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan berekspresi ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-ide.[7]
Pasal 19 dari Deklarasi Universal menyatakan hak atas kebebasan menyampaikan pendapat, yang temasuk kebebasan untuk “mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.” Pasal 20 menyatakan hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai, termasuk hak untuk tidak dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. Hak-hak tersebut dibatasi oleh Pasal 29, yang menerapkan pembatasan “yang tujuannya semata-mata untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.” Lagipula, hak-hak yang diuraikan dalam Deklarasi Universal “dalam keadaan apa pun tidak boleh dilaksanakan secara berlawanan dengan tujuan dan prinsip PBB”.
Bahwa selain DUHAM tersebut diatas, pada tanggal 16 Desember 1966 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi MU PBB No. 2200 A (XXI) telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) Protokol Opsional dan kovenan tersebut mulai berlaku 23 Maret 1976.[8]
International Covenant On Civil And Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM dibidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Konvenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 Pasal.
Kovenan ini memberikan hak dan kebebasan yang dijamin dan dilindungi seperti hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, perbudakan, berkeyakinan, perlakuan yang sama dihadapan hukum, berserikat dan berkumpul, serta terlibat dalam pemerintahan[9]. Salah satu hak dan kebebasan fundamental yang juga dijamin dan di lindungan oleh kovenan ini yaitu hak kebebasan berpendapat. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk berpendapat tanpa campur tangan. Kemudian Pasal 19 Ayat (2) menyatakan bahwa sifat dari kebebasan menyampaikan pendapat yaitu, “kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”[10]
- Hukum HAM Nasional Dalam Menyampaikan Pendapat
Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak fundamental yang diakui dalam sebuh negara hukum yang demokratis dan menjunjung Hak Asasi Manusia. Di Indonesia sebagai negara hukum, jaminan mengenai kebebasan mengeluarkan pendapat diatur dalam UU 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, meyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selanjutnya dalam ayat (3) dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Di Indonesia, Instrumen hukum menyampaikan pendapat juga terdapat disejumlah undang-undang yaitu undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dinyatakan di Pasal 5 bahwa “Warga ncgara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk :
- Mengeluarkan pikiran secara bebas;
- Memperoleh perlindungan hukum.
Meskipun UU No.9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum telah memberikan jaminan dan perlindungan hukum untuk menyampaikan pendapat dimuka umum, namun dalam mempergunakan hak tersebut terdapat batasan-batasan hak yang mengaturnya. Hal ini dapat dilihat di Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
- Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
- Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
- Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan
- Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selanjutnya didalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur tentang kebebasan menyampaikan pendapat yaitu diatur di Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.
Bahwa selain itu juga, Indonesia telah mengadopi instrumen hukum Internasional bidang hak asasi manusia tentang Hak Sipil dan Politik atau Internasional Convenant Civil Politic and Right melalui UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Dengan adanya ratifikasi ini maka Negara Indonesia memiliki aturan yuridis yang bersifat lex specialis berkaitan dengan hak sipil dan politik, yang pada pokoknya meliputi hak ;
- Hak Hidup
- Hak Bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
- Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
- Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
- Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
- Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
- Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
- Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi
- Hak untuk berkumpul dan berserikat
- Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
- Batasan-batasan HAM Dalam Menyampaikan Pendapat
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights/UDHR disahkan Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. DUHAM ini mengatur mengenai standar hak asasi manusia yang diterima oleh seluruh Negara-negara anggota PBB.
DUHAM juga menghadirkan kembali dasar normatif yang membimbing untuk memformulasikan standar-standar bagi kebebasan berekspresi. Dalam Pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dan berekspresi; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Selanjutnya dalam Pasal 20 DUHAM dinyatakan bahwa “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan, dan tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan”.
Namun demikian, ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 DUHAM ini dibatasi oleh ketentuan Pasal 29 DUHAM, yang memperbolehkan adanya pembatasan “yang ditetapkan undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis”. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa[11].
Kemerdekaan berekspresi, meski masuk dalam kategori hak yang mendasar akan tetapi bukanlah hak yang tidak bisa dibatasi. Dalam setiap sistem HAM Internasional ataupun Nasional telah mengakui jika kemerdekaan menyampaikan pendapat hanya bisa dibatasi dengan pembatasan yang sangat terbatas dan harus dibuat dengan hati–hati yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) dari Kovensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (vide UU No 12 Tahun 2005)[12]. Namun, yang tidak boleh untuk dilupakan adalah prinsip pembatasan tersebut diartikan untuk membahayakan esensi hak–hak yang telah dijamin dalam hukum Internasional[13]. Pembatasan yang diperkenankan dalam hukum Internasional harus diuji dalam metode yang disebut uji tiga rangkai (three part test) yaitu ;
- Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang.
- Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.
- Pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut[14]
Hukum Internasional dan pada umumnya konstitusi negara-negara modern hanya memperbolehkan pembatasan terhadap kemerdekaan berekspresi melalui undang-undang. Implikasi dari ketentuan ini adalah pembatasan kemerdekaan berekspresi tidak hanya sekedar diatur begitu saja oleh undang-undang yang mengatur tentang pembatasan tersebut harus mempunyai standar tinggi, kejelasan, aksesibilitas, dan menghindari ketidakjelasan rumusan[15].
Jadi mesikupun hak-hak menyampaikan pendapat dapat dikurangi atu dibatasi pemenuhannya, pengurangan atau pembatasannya harus dilandaskan pada :
- Dinyatakan melalui hukum (Prescribed by law)
- Keteriban umum (public order)
- Kesehatan dan moral publik (moral and public health)
- Keamanan nasional (national security)
- Kemanana publik (public safety)
- Hak dan kebebasan orang lain (right and reputations of others)
Prinsip pembatasan juga diatur oleh konstitusi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28J UUD 1945, yang merumuskan prinsip-prinsip pembatasan sebagai berikut :
- Ditetapkan dengan undang-undang
- Penghormatan atas hak dan kebebasan oran lain
- Tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral
- Nilai-nilai agama
- Keamanan, dan
- Ketertiban umum dalm suatu demokratis
- Diperlukan dalam masyarakat ang demokratis (necessary in a democratic society)
Secara spesifik, dalam kaitannya dengan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dengan tujuan untuk penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, khususnya hak atas kehormatan dan reputasi orang lain (right to honour and reputationsof others), dapat diberlakukan apabila ditujkan secara benar untuk kepentingan melindungi reputasi atau kehormatan seseorang (protection of alegitimate reputation interest). Bukan sebaliknya, digunakan untuk membungkam kritik atau seperti yang dirumuskan dalam “Principles on Freedom of Expression an Protection of Reputation” yang dirancang oleh organisasi Article 19, yang menyatakan ; defamation laws canno be justified in their purpose or effect is to; (i) prevent legitimate criticism of officials or the exposure of official wrongdoing or corruption, (ii) protect the reputation of objects, such as State or religious symbols, flags or national insignia (iii) protect the reputation of the State or nations.
- Instrumen Hukum Nasional Tentang Tindak Pidana Penghinaan
Negara Indonsia adalah Negara hukum, ketentuan ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) hsil mandemen keempat Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Jika dilihat ketentuan tersebut, maka semua aspek kehidupan baik dibidang sosial, politk, budaya, ekonomi, diatur dan batasi oleh norma-norma hukum yang berlaku.[16]
Norma hukum yang melindungi kepentingan masyarakat umum salah satunya diatur dalam kodifikasi Kiab Undang-Undang Hukum Pidana. Khusus dengan tindak pidana penghinaan, sebagaimana diatur dalm Pasal 310 sampai dengan Pasl 321 KUHP. Penghinaan ini dilakukan baik lisan maupun tulisan dengan cara menista, memfitnah, maupun menadu secara fitnah.
Sampai saat ini belum ada definisi hukum di Indonesia yang seragam tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Dalam bahasa inggris pencemaran nama baik dikenal dengan istilah defamation, slander, libel, yang dalam bahasa Indoneia diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah lisan, dan fitnah tertulis.
Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri, hinaan diartikan sebagai nistaan, cercaan dan caci-makian. Sedangkan penghinaan yaitu proses, perbuatan, cara menistakan. Adapun arti Menghina yaitu memandang rendah, merendahkan, memburukan nama baik orang lain, mencemarkan nama baik orang lain memaki-maki. Jadi, kamus Bahasa Indonesia memberikan penekanan bahwa pencemaran nama baik lebih hanya pada person/pribadi seseorang.[17]
Bahwa dalam KUHP penghinaan adalah penamaan secara umum yang berarti penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Kehormatan adalah rasa kehormatan yang ada diri sendiri yang bersifat batiniah dan nama baik juga merupakan rasa kehormatan,akan tetapi lebih bersifat lahiriah. [18]
Bahwa menurut R. Soesilo, penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang yang diserang itu biasanya merasa “malu”. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan seksuil[19]
Mengenai penghinaan (defamation) dalam KUHP diatur di Pasal 310 ayat (1) KUHP yang menyatakan “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Untuk pidana fitnah diatur didalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Sedangkan penghinaan yang menggunakan media elektronik dapat dilihat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dan terhadap ancaman hukuman bagi yang melanggar Pasal 27 ayat (3) dapat dilihat di Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan “bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah”
Delik Penghinaan tersebut diatas merupakan bentuk perwujudan pembatasan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari perlindungan reputasi manusia/orang lainnya. Dengan demikian kepentingan hukum yang hendak dilindungi adalah nama baik dan kehormatan orang lain dikarenakan setiap orang memerlukan terjaganya kepentingan hukum pribadi termasuk orang yang sudah meninggal sekalipun memerlukan perlindungan oleh dan didalam hukum.
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi terutama diruang internet, maka delik penghinaan dapat saja terjadi melalui media elektronik. Oleh karena itu pembatasan pembatasan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dimuat dalam UU ITE Pasal 27 ayat (3).
Dalam penerapannya, keberlakuan dan tafsir pasal 27 ayat (3) tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan 311 KUHP dengan maksud agar nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum.[20]
PENUTUP
- Kesimpulan
Hak atas kebebasan berpendapat telah dijamin dan dilindungi oleh seperangkat Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Keberadaan Pasal Penghinaan dalam KUHP maupun dalam UU ITE dapat dijadikan rujukan hukum sebagai bentuk pembatasan terhadap hak kebebasan menyampaikan pendapat agar tetap berada dalam koridor norma sosial yang berlaku di masyarakat etika sosial dan kehormatan seseorang tetapi bukan sebagai sarana untuk penghambat atau membelenggu hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi serta hak asasi itu yang dimiliki oleh setiap individu bukan hanya dilindungi oleh suatu aturan saja tetapi juga ikut peran serta pemerintah, Negara dan masyarakat agar mencapai keamanan dan ketertiban umum dan perlindungan hukum untuk mencapai suatu kepastian hukum.
- Saran
Hak atas kebebasan berpendapat dengan adanya dibentuk aturannya baik hukum Internasional dan hukum nasional oleh pemerintah maupun Negara tetapi dalam pelaksanaan implementasi aturan hukum itu juga perlu peran serta penegak hukum dalam pelaksanaannya. Aturan ini dibuat bukan untuk membatasi hak kebebasan pendapat tetapi diatas hak pribadi terdapat hak orang lain yang harus dilindungi untuk melindungi nama baik dan kehormatan seseorang jika ada pelanggaran dari aturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Buku
Chulsum ,Umi, dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya; Kashiko, 2006.
Curiae,Amicus, Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia. Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, Jakarta, 2009.
Kasim, Ifdhal, Seri bahan bacaan kursus ham untuk pengacara x, Konvensi hak-hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar. Lembaga studi dan advokasi masyarakat. Jakarta. 2005.
Kasim, Ifdhal, Konvensi Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005.
Li,Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial prudence), Kencana Prenad Media Group, Jakarta , 2010.
Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju Bandung, 2011.
- Peraturan
Internasional Covenant on Civil and Political Rights
UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984)., para 2
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-IV/2008.
Sianturi, SR, Tindak pidana di KUHP berikut uraiannya.
Soesilo, R, Kitab Undang-undang hukum pidana KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal.
Uji Tiga Rangkai ini telah diakui oleh UN Human Rights Committee dalam Mukong vs Cameroon, view adopted 21 July 1994
Undang-undang No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
UN Action in the Field of Human Rights, UN Doc. ST/HR/2/Rev.1 (1980), 21; dan UN Action in the Field of Human Rights (1983), Bab. II.F,
- internet
https://duniapendidikan.co.id/mengemukakan-pendapat/ diakses pada tanggal 12 februari 2020.
http://ninnaastuti.blogspot.com/2012/01/kebebasan-berpendapat.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2020
[1] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju Bandung, 2011,hlm 11-12
[2] https://duniapendidikan.co.id/mengemukakan-pendapat/ diakses pada tanggal 12 februari 2020
[3] Penjelasan Undang-undang No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
[4] http://ninnaastuti.blogspot.com/2012/01/kebebasan-berpendapat.html, diakses pada tanggal 11 Februari 2020
[5] Lihat UN Action in the Field of Human Rights, UN Doc. ST/HR/2/Rev.1 (1980), 21; dan UN Action in the Field of Human Rights (1983), Bab. II.F, para. 75
[6] Amicus Curiae, Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia. 2009. Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, Jakarta hal 11
[7] Ibid, hal 13
[8] Lihat Internasional Covenant on Civil and Political Rights
[9] Ifdhal kasim, Seri bahan bacaan kursus ham untuk pengacara x, Konvensi hak-hak Sipil dan Politik Sebuah Pengantar.2005. Lembaga studi dan advokasi masyarakat. Jakarta. Hal 3
[10] Ifdhal Kasim, Konvensi Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar. 2005. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Hal 3
[11] Amicus Curiae, Prita Mulyasari vs Negara Republik Indonesia. 2009. Elsam, ICJR, IMDLN, PBHI, YLBHI, Jakarta hal 11
[12] Ibid ,. hal 15
[13] UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984)., para 2
[14] Uji Tiga Rangkai ini telah diakui oleh UN Human Rights Committee dalam Mukong vs Cameroon, view adopted 21 July 1994
[15] Amicus Curiae, Op.cit hal 16
[16] Achmad li, menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan TEORI Peradilan (Judicial prudence) Jakarta, Kencana Prenad Media Group, 2010, hal 20.
[17] Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya; Kashiko, 2006, hal.283-284
[18] SR.Sianturi, tindak pidana di KUHP berikut uraiannya, hal 58
[19] R.Soesilo, Kitab Undang-undang hukum pidana KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, hal 225
[20] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-IV/2008