Oleh : Widya Ulfa, S.H

 PENDAHULUAN

  • Latar Belakang Masalah

Pada akhir bulan Maret 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Lahirnya keputusan tersebut didasari bahwa Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi sehingga sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan wabah virus Covid-19. Terlebih lagi masalah kelebihan kapasitas (overcrowded) pada lembaga pemasyarakatan memang sejak beberapa tahun terakhir menjadi sebuah polemik dalam menjalankan pembinaan narapidana di Indonesia.

Kelebihan kapasitas (overcrowded) tidak hanya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) saja, tetapi juga di Rumah Tahanan (Rutan). Seyogyanya Rutan dan Lapas ialah suatu fasilitas yang dipergunakan negara untuk melakukan penahanan terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana dalam tahapan penegakan hukum yang berbeda dalam artian dua lembaga ini memiliki fungsi yang berbeda pula. Berdasarkan Pasal 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Rutan diperuntukkan bagi tahanan yang harus ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia. Sementara Lapas berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana  dan anak didik pemasyarakatan. Kedua fasilitas tersebut memiliki permasalahan yang sama yakni kelebihan kapasitas (overcrowded). Berdasarkan sistem database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, kapasitas penjara di seluruh Indonesia hanya ditujukan bagi 126.000 orang, namun saat ini Rutan dan Lapas di Indonesia dihuni oleh 266.000 orang narapidana.[1]

Covid-19 merupakan infeksi virus baru yang mengakibatkan terinfeksinya 90.308 orang per tanggal 2 Maret 2020. Virus ini bermula di Wuhan, China pada 31 Desember 2019. Virus yang merupakan virus RNA strain tunggal positif ini menginfeksi saluran pernapasan. Penegakan diagnosis dimulai dari gejala umum berupa demam, batuk dan sulit bernapas hingga adanya kontak erat dengan negara-negara yang sudah terinfeksi.[2] Melihat situasi overcrowded di Lembaga Pemasyarakatan ini amat sangat riskan bagi para waga binaan tertular virus Covid-19. Hidup bersama-sama dalam satu sel tahanan mengakibatkan kontak fisik antara satu narapidana dengan narapidana lainnya, ditambah dengan fasilitas yang digunakan secara bergantian akan mempermudah penularan penyakit terutama virus Covid-19 ini.

Merupakan suatu wewenang bagi pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membuat suatu kebijakan mengenai pembebasan narapidana dalam upaya pemerintah guna menekan laju penyebaran virus Covid-19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga mengatur mengenai hak-hak seorang Narapidana yang mana dalam Pasal 14 ayat (1) merumuskan sebagai berikut:

Narapidana berhak :

  1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
  2. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
  3. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
  4. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
  5. menyampaikan keluhan;
  6. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
  7. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
  8. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentulainnya;
  9. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
  10. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
  11. mendapatkan pembebasan bersyarat;
  12. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
  13. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terkait dengan wabah pandemi virus covid-19 pemerintah menetapkan suatu kebijakan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan hak integrasi. Kebijakan ini diberlakukan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

  • Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yakni:

  1. Bagaimana Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, apabila ditinjau dari konsep kebijakan publik dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)?
  2. Bagaimana syarat dan tata cara pemberian asimilasi dan integrasi kepada narapidana dan anak melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020?
  • Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk:

  1. Mengetahui dan memahami Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, apabila ditinjau dari konsep kebijakan publik dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
  2. Mengetahui syarat dan tata cara pemberian asimilasi dan integrasi kepada narapidana dan anak melalui Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020.

PEMBAHASAN

  • Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, ditinjau dari konsep kebijakan publik dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan), Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya Lembaga Permasyarakatan berdasarkan Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang tersebut adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan mengakui pentingnya peran serta masyarakat dalam proses pembinaan narapidana. Pembinaan narapidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penegakan hukum. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.[3]

Hal ini sesuai dengan Pasal 9 UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Begitu pula dengan peran serta masyarakat yang sangat penting dan tidak terpisahkan dalam proses pembinaan narapidana.

Kebijaksanaan baik negara, pemerintah/presiden, menteri dan lain-lain  merupakan serangkaian tindakan dan kegiatan yang direncanakan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Jadi, kebijaksanaan melihat tindakan seketika (instant decision), melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan, yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan yang didasarkan atas kekuasaan/wewenang  diskresioner (discretionary power/authority) yang dimiliki[4]. Dalam hal melihat wabah pendemi virus covid-19 ini, pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM menganggap perlu menetapkan suatu kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan virus covid-19 terhadap narapidana dan anak binaan di lembaga pemasyarakatan.

Didasarkan pada konsep suatu kebijakan publik, yang mana kebijakan publik tersebut dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang mengarah pada tujuan tertentu.[5]

Dalam Wahab yang dikutip oleh Abdullah Ramdhani dan Muhammad Ali Ramdhani, mengenai kebijakan publik ia menyatakan bahwa[6]:

  1. Kebijakan publik lebih merupakan tindakan sadar yang berorientasi pada pencapaian tujuan daripada sebagai perilaku/tindakan yang dilakukan secara acak dan kebetulan;
  2. Kebijakan publik pada hakekatnya terdiri dari tindakan-tindakan yang saling berkaitan dan memiliki pola tertentu yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah, dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri;
  3. Kebijakan publik berkenaan dengan aktivitas/tindakan yang sengaja dilakukan secara sadar dan terukur oleh pemerintah dalam bidang tertentu;
  4. Kebijakan publik dimungkinkan bersifat positif dalam arti merupakan pedoman tindakan pemerintah yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.

Jadi, kebijakan hadir sebagai bentuk dari penyelesaian masalah dalam masyarakat yang dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat sekaligus menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam bidang tertentu. Pelaksanaan kebijakan publik dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya aspek kewenangan, sumberdaya, komunikasi, dan disposisi.

Apabila kita merujuk kembali mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diantaranya terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan peraturan tersebut, Keputusan Menteri tidak secara spesifik masuk di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun keputusan menteri tetap mendapat kedudukan sebagai peraturan lainnya di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Terhadap kedudukan keputusan menteri yang, merujuk pada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi:

  • Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
  • Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Terlebih dahulu penting untuk kita tarik benang merah mengenai perbedaan antara peraturan dan keputusan, yang mana suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig), sedangkan suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig). Peraturan Menteri adalah suatu peraturan yang dikeluarkan oleh seorang menteri yang berisi ketentuan-ketentuan tentang bidang tugasnya. Dan surat keputusan menteri adalah  keputusan menteri yang  bersifat khusus mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang tugasnya.[7] Menurut Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa menteri adalah memimpin departemen pemerintahan. jadi menteri membantu Presiden menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang bidang tertentu sesuai dengan tugas dan fungsi departemen.

Apabila kita  kaitkan konsep perumusan kebijakan publik tugas dan wewenang menteri sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1994 diantaranya menteri bertugas:[8]

  1. memimpin departemen
  2. menentukan kebijaksanaan di bidang pemerintahan  yang secara fungsional ada di bawahnya
  3. membina dan melaksanakan kerjasama dengan Departemen, instansi dan organisasi lainnya.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas mengenai tugas Menteri, dalam bidang pemerintahan sesuai dengan tugas departemen yang diemban menunjukkan adanya suatu kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan dibentuk. Menteri dalam menentukan kebijaksanaan, acap kali dituangkan secara tertulis dalam bentuknya berupa peraturan dan atau keputusan, yang ada kalanya materi muatannya sulit dibedakan sebagai keputusan yang bersifat mengatur (regeling) atau keputusan yang bersifat  penetapan atau ketetapan (beschikking).[9] Dalam praktiknya, ada menteri yang hanya mempergunakan kan bentuk Keputusan Menteri ada pula menteri yang mempergunakan bentuk Peraturan Menteri. Peraturan Menteri sesuai dengan namanya, materi muatannya  berisi ketentuan yang bersifat mengatur. Sedangkan Keputusan Menteri dapat berupa peraturan (regeling) atau ketetapan (beschikking).

Pembatasan-pembatasan materi muatan Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri (yang bersifat mengatur), ialah[10]:

  1. Lingkup pengaturan, terbatas pada lapangan administrasi- baik fungsi instrumental maupun fungsi jaminan (perlindungan);
  2. Lingkup pengaturan, terbatas pada bidang yang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab Menteri yang bersangkutan;
  3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algamene beginselen van behoorlijkbbestuur).

Orientasi kebijakan publik ialah pada kesejahteraan setiap masyarakat, dengan demikian kebijakan publik perlu dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan, perundang-undangan dan sebagainya yang bersifat memaksa, mengikat dan harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali. Mengingat berbagai dinamika yang kerap terjadi dimasyarakat, maka peraturan perundang-undangan sebagai produk dari kebijakan publik yang didalamnya menyangkut kepentingan publik, oleh karenanya dipersyaratkan bersifat fleksibel, harus bisa diperbaiki, dan dapat disesuaikan dengan perkembangan dinamika masyarakat.[11] Sebagai suatu bentuk kebijakan publik dengan dilandasi kebutuhan untuk menyelesaikan masalah pandemi wabah covid-19 ini, orientasi pemerintah ialah untuk pemenuhan dan perlindungan narapidana dan anak di Lembaga Pemasyarakatan.

Terkait dengan wabah pandemi virus covid-19 pemerintah menetapkan suatu kebijakan pembebasan narapidana melalui program asimilasi dan hak integrasi. Adapun asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak didik pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat.[12] Selanjutnya hak integrasi adalah pemberian pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, atau warga negara asing.[13]

Dalam hal menghormati hak asasi narapidana melalui pembinaan, maka peran Lembaga Pemasyarakatan sebagai wakil negara teramat penting untuk menjamin jalannya pemenuhan hak-hak narapidana tersebut. Pembinaan yang dilaksanakan terhadap narapidana disesuaikan dengan asas-asas yang terkandung di dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Standard Minimum Rules (SMR) yang tercermin dalam 10 Prisip Pemasyarakatan.[14] Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan, pemenuhan, penegakan, penghormatan HAM, demikian juga terhadap narapidana yang sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.

Berdasarkan Keputusan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait program asimilasi dan hak integrasi, maka dapat dinyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan suatu bentuk perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kepada narapidana dan anak binaan. Sebagai ciri negara hukum yang demokratis, maka terbentuknya negara begitu pula dengan penyelenggaraan kekuasaan suatu negara, tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan. Oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum.[15]

  • Syarat dan Tata cara Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi

Sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, sebenarnya ketentuan mengenai asimilasi kepada narapidana dan anak binaan juga telah diatur dalam:

  1. Pasal 15a, Pasal 15b dan Pasal 16 KUHP
  2. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
  3. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
  4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
  5. Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PK.04-10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan
  6. Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
  7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No: E.06.PK.04-10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas

Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 Tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, dilaksanakan melalui:

  1. Pengeluaran bagi Narapidana dan Anak melalui asimilasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  2. Narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020;
  3. Anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020;
  4. Narapidana dan anak yang tidak terikat dengan PP 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing;
  5. Asimilasi dilaksanakan di Rumah;
  6. Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan.
  7. Pembebasan bagi Narapidana dan Anak melalui integrasi (Pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  8. Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana.
  9. Anak yang telah menjalani ½ masa pidana.
  10. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidaer dan bukan warga negara asing.
  11. Usulan dilakukan melalui system database pemasyarakatan.
  12. Surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Adapun mengenai narapidana dan anak yang dapat diberikan asimilasi, yakni harus meliputi syarat substantif dan syarat administratif. Syarat substantif yakni sebagai berikut[16]:

  1. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
  2. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
  3. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
  4. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yanng bersangkutan;
  5. Masa pidana yang telah dijalani:
  1. Untuk asimilasi, telah menjalani ½ masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Untuk pembebasan bersyarat, telah menjalani 2/3 masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan.
  3. Untuk cuti menjelang bebas, telah menjalani 2/3 masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 bulan.

Adapun syarat administratif ialah sebagai berikut:[17]

  1. Salinan putusan pengadilan (ekstrak vonis);
  2. Surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
  3. Laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana;
  4. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala Lapas);
  5. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala Lapas;
  6. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di lembaga pemasyarakatan tidak ada psikolog dan dokter, makas surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum;
  7. Bagi narapidana atau anak pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan, berupa:
  8. Surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan;
  9. Surat rekomendari dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.

Sejauh ini total narapidana yang telah dibebaskan melalui program asimilasi dan hak integrasi ialah lebih dari 35.000 orang. Ketika narapidana yang dibebaskan ini kembali ke masyarakat, pemerintah pun masih harus turut serta dalam pengawasan terhadap narapidana tersebut. Sebagaimana konsep evaluasi pelaksanaan kebijakan publik dengan capaian keberhasilan implementasi suatu kebijakan membutuhkan keterlibatan stakeholders secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat kebijakan harus terus menerus terlibat dalam dialog untuk menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Maka demikian, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat akuntabilitas dan peningkatan kinerja suatu kebijakan publik.[18]

Lintjewas, Tulusan & Egetan dalam Abdullah Ramdhani dan Muhammad Ali Ramdhani, menguraikan evaluasi pelaksanaan kebijakan menurut model Helmut Wollman pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante evaluation, on-going evaluation dan ex-post evaluatio, seperti dibawah ini:[19]

  1. Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante)

Evaluasi ex-ante adalah evaluasi kebijakan yang dilakukan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan dengan tujuan untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara hipotetik, tipe evaluasi ex-ante ditujukan untuk mengantisipasi dan memberikan penilaian awal atas perkiraan pengaruh, dampak, atau konsekuensi dari kebijakan yang direncanakan atau yang telah ditetapkan. Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dengan kebijakan atau dengan proses pembuatan kebijakan yang sedang berjalan. Tipe evaluasi ex-ante juga memberikan analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

  1. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going)

Evaluasi on-going yaitu evaluasi dilakukan pada saat pelaksanaan kebijakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan kebijakan dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Diansari, 2016). Evaluasi on-going secara umum dimaksudkan untuk menjamin agar tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, bukan dimaksudkan untuk evaluasi penilaian akhir capaian kinerja pelaksanaan kebijakan. Dengan dilakukan evaluasi on-going, jika terjadi penyimpangan, diharapkan akan dapat dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin melalui sejumlah rancangan/ rekomendasi, sehingga hasil akhir pelaksanaan kebijakan akan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, & Sutadji, 2016). Esensi dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan informasi yang relevan yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki proses pelaksanaan kebijakan ke arah yang ingin dicapai (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

  1. Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post)

Ex-post evaluation merupakan model evaluasi klasik dari evaluasi pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post dimaksudkan untuk memberikan penilaian terhadap tingkat pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan yang telah dilaksanakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi ex-post adalah evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan kebijakan berakhir, yang ditujukan untuk menganalisa tingkat pencapaian (keluaran/ hasil/ dampak) pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan), efektivitas (pencapaian tujuan dan sasaran), ataupun manfaat (dampak pelaksanaan kebijakan terhadap penyelesaian masalah) (Diansari, 2016).

Pemantauan atau monitoring merupakan suatu prosedur untuk memberikan informasi yang terperinci mengenai sebab dan akibat dari sebuah implementasi kebijakan. Pemantauan adalah sumber informasi utama tentang implementasi kebijakan, sebab prosedur ini mendeskrisipkan hubungan antara pelaksana kebijakan tentang dengan capain-capaian hasilnya.[20]

Petugas telah memberikan edukasi dan menyampaikan aturan-aturan kedisiplinan yang tidak boleh dilanggar selama menjalankan program asimilasi dan hak integrasi. Adapun sanksi apabila melanggar program asimilasi dan integrasi siap diterima bagi narapidana tersebut. Hak asimilasi dan integrasi akan dicabut bagi mereka yang kedapatan berulah kembali, juga kasus pidana yang baru akan turut serta ditambahkan dalam daftar kasus narapidana yang bersangkutan. Selain itu, mereka juga akan dimasukkan ke dalam straft cell atau sel pengasingan dan tidak diberikan hak remisi sampai dengan waktu tertentu, sesuai dengan peraturan yang berlaku.[21]

Maka dari itu yang harus ditekankan dalam program asimilasi dan integrasi ini ialah fungsi pengawasannya, bagaimana pemerintah dapat menjamin apabila eks-narapidana dikembalikan ke dalam masyarakat. Sebab tidak menutup kemungkinan eks-narapidana yang dibebaskan melalui program ini kembali berulah melakukan tindak kejahatan dan meresahkan masyarakat. Selain disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi, hal demikian bisa saja terjadi sebagai tanda bahwa penilaian perilaku dan pembinaan mereka selama di Lembaga Pemasyarakatan kuranglah efektif sebelum mereka dibebaskan dan dibiarkan berbaur ke masyarakat.

PENUTUP

  • Kesimpulan
  1. Lahirnya Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 didasari bahwa Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara merupakan sebuah institusi tertutup yang memiliki tingkat hunian tinggi/ kelebihan kapasitas (overcrowded) sehingga sangat rentan terhadap penyebaran dan penularan wabah virus Covid-19.
  2. Berdasarkan konsep kebijakan publik dengan melihat urgensi serta situasi/kondisi yang dihadapi, berupa pengambilan keputusan, yang dapat bersifat pengaturan (tertulis) dan/atau keputusan tertulis atau lisan yang didasarkan atas kekuasaan/wewenang diskresioner (discretionary power/authority) yang dimiliki. Dalam hal melihat wabah pendemi virus covid-19, pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM menganggap perlu menetapkan suatu kebijakan terkait pencegahan dan penanggulangan virus covid-19 terhadap narapidana dan anak binaan di lembaga pemasyarakatan.
  3. Keputusan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait program asimilasi dan hak integrasi, maka dapat dinyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan suatu bentuk perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia kepada narapidana dan anak binaan sebagai ciri negara hukum yang demokratis.
    • Saran
  4. Mendukung kebijakan pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pembebasan narapidana dengan mempertimbangkan penekanan penyebaran virus covid-19 apabila pemerintah dapat menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat atas konsekuensi dibebaskannya para narapidana dan anak binaan.
  5. Mendorong pemerintah untuk membuat sistem pengawasan yang lebih ketat guna menekan angka kriminalitas yang mungkin dilakukan oleh para narapidana yang dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi ini.
  6. Mendorong pemerintah untuk membuat program pembinaan yang terukur dan teruji sebelum para narapidana dibebaskan dan dibiarkan membaur kembali ke masyarakat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.

Latief, Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. UII Press. Yogyakarta, 2005.

Manan, Bagir. Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (makalah). Jakarta, 1994.

Nasution, Bahder Johan. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung, 2014.

Suharno. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. UNY Press. Yogyakarta, 2008.

Vitalio, Kasiano dan Ronaldo CP Turnip. Kacamata Driyarkara: Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana. BEM Universitas Sanata Dharma Kabinet Solidaritas Aksi. Yogyakarta, 2020.

 

  1. Jurnal

Jufri, Ely Alawiyah. “Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta”. ADIL: Jurnal Hukum Volume 8 Nomor 1. Jakarta, 2017.

Latifah, Marfuatul. “Overcrowded pada Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia: Dampak dan Solusinya”. Info Singkat Volume XI Nomor 10. Jakarta, 2019.

Ramdhani, Abdullah dan Muhammad Ali Ramdhani. “Konsep Umum Pelaksanaan Kebijakan Publik”. Jurnal Publik Volume 11 Nomor 01. Bandung, 2017.

Utami, Penny Naluria. “Keadilan Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Justice for Convicts at the Correctionl Istitution)”. Jurnal Penelitian Hukum De Jure Volume 17 Nomor 3. Jakarta, 2017.

Yuliana. “Corona Virus Diseases (Covid-19); Sebuah Tinjauan Literatur”. Wellness And Healthy Magazine Volume 2 Nomor 1. Lampung, 2020.

 

  1. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. UU Nomor 12 Tahun 1995.

Republik Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 12 Tahun 2011.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan KUHAP. PP Nomor 27 Tahun 1983.

Republik Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Permenkumham Nomor 21 Tahun 2013.

Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Kepmen Kehakiman Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999.

Republik Indonesia. Keputusan Menteri tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Kepmen Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020.

[1]Marfuatul Latifah, “Overcrowded pada Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia: Dampak dan Solusinya”, Info Singkat Volume XI Nomor 10, Jakarta, 2019, hal. 2.

[2]Yuliana, “Corona Virus Diseases (Covid-19); Sebuah Tinjauan Literatur”, Wellness And Healthy Magazine Volume 2 Nomor 1, Lampung, 2020, hal. 6.

[3]Ely Alawiyah Jufri, “Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta”, ADIL: Jurnal Hukum Volume 8 Nomor 1, Jakarta, 2017, hal. 2.

[4]Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 110-111.

[5]Abdullah Ramdhani, Muhammad Ali Ramdhani, “Konsep Umum Pelaksanaan Kebijakan Publik”, Jurnal PublikVolume 11 nomor 01, Bandung, 2017, hal. 3

[6]Ibid.

[7]Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 59.

[8]Abdul Latief, Op. Cit., hal. 141.

[9]Ibid., hal. 142.

[10]Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan (makalah), Jakarta, 1994, hal. 32.

[11]Abdullah Ramdhani, Muhammad Ali Ramdhani, Op. Cit., hal. 3.

[12]Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat

[13]Kasiano Vitalio, Ronaldo CP Turnip, Kacamata Driyarkara: Melawan Corona: Menilik Pembebasan Narapidana, BEM Universitas Sanata Dharma Kabinet Solidaritas Aksi, Yogyakarta, April, 2020, hal. 2.

[14]Penny Naluria Utami, “Keadilan Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Justice for Convicts at the Correctionl Istitution”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure Volume 17, Nomor 3, Jakarta, 2017, hal. 11.

[15]Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2014, hal. 14.

[16]Pasal 7 Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

[17]Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

[18]Abdullah Ramdhani, Muhammad Ali Ramdhani, Op. Cit., hal. 8.

[19]Ibid.

[20] Suharno, Dasar-Dasar Kebijakan Publik, UNY Press, Yogyakarta, 2008, hal. 180.

[21]Kasiano Vitalio, Ronaldo CP Turnip, Op. Cit., hal. 5.