HAK PEKERJA/BURUH DAN PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN PASCA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.
Indra Setiawan,S.H.,M.H, Ketua LBH Pelita Keadilan Bungo.
lbhpelitakeadilanbungo@gmail.com
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan baha hak-hak konstitusional warga negara yang menjadi hak-hak utama yang harus diwujudkan oleh negara. Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NKRI 1945 menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian pasca amandeman, pada Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layakk dalam hubungan kerja” yang memuat hak warga negara dalam bidang-bidang ketenagakerjaan.
Melihat dari kedua Pasal tersebut, terdapat kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan oleh karena itu diperlukan adanya perencanaan dibidang ketenagakerjaan untuk memujudkan kewajiban negara terhadap pemenuhan hak konstitusional warga negara. Salah satu wujud penerapan kewajiban negara tersebut salah satunya memperhatikan hak-hak tenaga kerja/buruh dan prosedur mekanisme pemutusan hubungan kerja yang baik dan transpran agar memperoleh hak yang sama.
Pemutusan hubungan kerja adalah[1] pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pada hakikatnya dapat juga dapat ditafsirkan sebagai suatu bentuk pengakhiran nafkah bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Tenaga kerja hingga saat ini selalu menjadi pihak yang tidak memiliki kekuatan jika dihadapkan dan dibandingkan dengan Pengusaha yang memiliki kekuatan. Sehingga tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan apabila dihadapkan dengan kepentingan perusahaan[2].
Alasan-Alasan[3] Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut:
Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh;
- Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian;
- Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
- Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure);
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
- Perusahaan pailit;
- Adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
- Menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam Pekerja/ Buruh;
- Membujuk danlatau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- Tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturutturut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
- Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/Buruh;
- Memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
- Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
- Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
- Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
- mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
- tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
- tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
- Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
- Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
- Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
- Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
- Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau
- Pekerja/ Buruh meninggal dunia.
Hak normatif yang diterima pekerja/buruh dan Pengusaha wajib membayar uang kepada Pekerja/Buruh dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, adalah berupa:[4]
- Uang Pesangon (UP)
- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
- Uang Penggantian Hak (UPH).
Hak uang Pesangon (UP) yang diterima pekerja dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja tergantung dari lamanya masa kerja pekerja/buruh. Adapun pengaturannya adalah sebagai berikut:[5]
NO | MASA KERJA | UANG YANG DIDAPAT |
1 | Kurang dari 1 tahun | 1 bulan upah |
2 | 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun | 2 bulan upah |
3 | 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun | 3 bulan upah |
4 | 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun | 4 bulan upah |
5 | 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun | 5 bulan upah |
6 | 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun | 6 bulan upah |
7 | 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun | 7 bulan upah |
8 | 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun | 8 bulan upah |
9 | 8 tahun atau lebih | 9 bulan upah |
UANG PENGHARGAAN MASA KERJA (UPMK)
Uang penghargaan yang diterima pekerja dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja adalah sebagai berikut[6]:
NO | MASA KERJA | UANG PENGHARGAAN |
1 | 3 Tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun | 2 bulan upah |
2 | 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun | 3 bulan upah |
3 | 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun | 4 bulan upah |
4 | 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun | 5 bulan upah |
5 | 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun | 6 bulan upah |
6 | 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun | 7 bulan upah |
7 | 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun | 8 bulan upah |
8 | 24 tahun atau lebih | 10 bulan upah |
UANG PENGGANTIAN HAK (UPH)
Uang penggantian hak yang diterima pekerja dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja adalah berupa[7]😐
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat pekerja/buruh diterima bekerja
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Cara menghitung uang cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur adalah 1/25 x (upah pokok+tunjangan tetap) x sisa masa cuti yang belum diambil. Contoh, sisa cuti yang belum diambil dan belum gugur adalah 3 hari, maka perhitungannya sebagai berikut: 1/25 x (upah pokok+tunjangan tetap) x 3 hari.
Bahwa selain itu, pekerja/buruh berhak atas uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari jumlah total uang pesangon (uang masa kerja + uang penghargaan). Hal ini berdasarkan Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor B.600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 Tahun 2005 tentang Uang Penggantian Perumahan Serta Pengobatan dan Perawatan.
Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan-alasan berikut:
NO | ALASAN PHK | BESARAN PESANGON
· UP = Uang Pesangon · UPMK = Uang Penghargaan Masa Kerja · UPH = Uang Penggantian Hak |
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR
35 TAHUN 2021 TENTANG PENGUPAHAN |
1 | merger, konsolidasi, dan akuisisi | 1 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 41 |
2 | pengambilalihan perusahaan | 1 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 42 ayat (1) |
3 | pekerja tidak bersedia melanjutkan kerja di perusahaan yang diambil alih | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 42 ayat (2) |
4 | efisiensi akibat adanya kerugian | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 43 ayat (1) |
5 | efisiensi guna mencegah kerugian | 1 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 43 ayat (2) |
6 | perusahaan tutup dan merugi terus-menerus dalam 2 tahun | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 44 ayat (1) |
7 | perusahaan tutup namun tidak merugi | 1 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 44 ayat (2) |
8 | perusahaan tutup akibat alasan yang memaksa (force majeure) | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 45 ayat (1) |
9 | adanya alasan yang memaksa (force majeure) namun tidak mengakibatkan perusahaan tutup | 0,75 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 45 ayat (2) |
10 | perusahaan dalam keadaan penundaan pembayaran utang dan merugi | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 46 ayat (1) |
11 | perusahaan dalam keadaan penundaan pembayaran namun tidak merugi | 1 UP, 1 kali UPMK, UPH | Pasal 46 ayat (2) |
12 | perusahaan pailit | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 47 |
13 | permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan berupa penganiayaan, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan, tidak membayar upah 3 bulan berturut-turut, tidak memenuhi kewajiban, meminta pekerja melakukan pekerjaan yang tidak diperjanjikan, dan memberikan pekerjaan yang mengancam | 1 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 48 |
14 | putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam poin di nomor 12 | UPH dan uang pisah | Pasal 49 |
15 | mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat | UPH dan uang pisah | Pasal 50 |
16 | mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis | UPH dan uang pisah | Pasal 51 |
17 | pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut | 0,5 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 52 ayat (1) |
18 | pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama | UPH dan uang pisah | Pasal 52 ayat (2) |
19 | pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian perusahaan | UPH dan uang pisah | Pasal 54 ayat (1) |
20 | pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana yang tidak menyebabkan kerugian perusahaan | 1 kali UPMK dan UPH | Pasal 54 ayat (2) |
21 | pengadilan memutuskan perkara pidana yang menyebabkan kerugian perusahaan sebelum berakhirnya masa 6 bulan, dan pekerja dinyatakan bersalah | UPH dan uang pisah | 54 ayat (4) |
22 | pengadilan memutuskan perkara pidana yang tidak menyebabkan kerugian perusahaan sebelum berakhirnya masa 6 bulan, dan pekerja dinyatakan bersalah | 1 UMPK dan UPH | 54 ayat (5) |
23 | pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan | 2 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 55 |
24 | pekerja sudah memasuki usia pensiun | 1,75 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 56 |
25 | pekerja meninggal dunia | 2 UP, 1 UPMK, dan UPH | Pasal 57 |
Cara Menghitung Uang Pesangon
Sebagai contoh kasus, pekerja atas nama Indra mendapat upah bulanan sebesar Rp.10.000.000,-dengan detail komponen upah Rp.9.000.000 gaji pokok dan Rp.1.000.000,- uang makan (tunjangan tetap). Masa kerja Indra adalah 10 tahun. Indra mengajukan PHK karena perusahan membayar gaji tidak tepat pada waktunya selama 3 bulan berturut2. Sehingga cara hitung pesangon dan UPMK-nya adalah sebagai berikut.
- Uang Pesangon (UP)
Gaji pokok+tunjangan x masa kerja = Rp.10.000.000 x 9 upah = Rp.90.000.000
- Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
Gaji pokok+tunjangan x masa kerja = Rp.10.000.000 x 4 upah = Rp.40.000.000
- Uang Penggantian Hak (UPH)
1/25 x (upah pokok+tunjangan tetap) x sisa cuti
1/25 x Rp.10.000.000 x 3 hari sisa cuti = Rp.1.200.000,-
- Uang Penggantian Perumahan Serta Pengobatan dan Perawatan.
15 % x UP+UPMK = 15 % x Rp.130.000.000= Rp.19.500.000
Sehingga total pesangon yang terima oleh Indra adalah Rp.150.700.000,-
Hak Pesangon Pekerja Bila Mengundurkan Diri
Dalam praktek, untuk menghindari pembayaran pesangon PHK dari perusahaan kepada pekerja/buruh, banyak ditemui situasi dimana perusahaan memberikan mutasi pekerjaan keluar provinsi kepada pekerja. Cara-cara ini sering digunakan oleh Perusahaan sebagai penekanan secara administrasi dan psikologis agar Pekerja/buruh mengundurkan diri. sehingga apabila pekerja/buruh mengundurkan diri meskipun secara tidak langsung dipaksa oleh keadaan, maka pekerja/buruh tidak mendapatkan uang pesangon, uang masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Namun apabila Pekerja/Buruh mengundurkan diri memenuhi syarat berikut[8],:
- mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
- tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
- tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
maka pekerja berhak mendapatkan 1 kali Uang Penggantian Hak dan Uang Pisah. Rincian Uang Penggantian Hak adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) Undang Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja Jo Pasal 40 ayat (4) PP 35 Tahun 2021, sendangkan Uang Pisah tergantung dari isi Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan. Sedangkan bagi pekerja yang mengundurkan diri tetapi tidak memenuhi syarat tersebut diatas, maka pekerja tidak mendapatkan Uang Penggantian Hak ataupun Uang Pisah, namun biasanya pekerja hanya bisa mencairkan uang iuran jamsostek saja.
Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Prosedur dan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja melalui beberapa tahapan yang wajib dijalankan pekerja dan pengusaha untuk mencapai kesepakatan atau kepastian hukum atas perselisihan hukum yang terjadi yakni melalui perundingan Bipatrit[9], Tripartit, dan Pengadilan Hubungan Industrial.
- Bipatrit
Perundingan Bipatrit[10] adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Perundingan Bipatrit ini bersifat wajib dilakukan oleh pekerja/buruh bersama dengan pengusaha/perusahaan. Adapun caranya melaksanakan Bipartit adalah sebagai berikut[11]:
- tahap sebelum perundingan dilakukan persiapan :
- pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya; Dalam praktik, perusahaan membuat surat undangan Bipartit yang berisi jadwal pelaksanannya.
- apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan; Dalam praktik, pekerja atau perusahaan memberikan kuasa kepada Advokat.
- tahap perundingan :
- Dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;
- Setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud; Dalam praktik, risalah dibuat oleh pekerja yang berisi perusahaan tidak datang setelah diundang sebanyak dua kali dan tidak mengutus wakilnya untuk menandatangani risalah
- hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :
- nama lengkap dan alamat para pihak;
- tanggal dan tempat perundingan;
- pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
- pendapat para pihak;
- kesimpulan atau hasil perundingan;
- tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
- dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;
- apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
- Tripartit
Sedangkan yang dimaksud Perundingan Tripartit[12] adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
Mekanisme penyelesaian penyelesaian perselisihan melalui Tripartit terdiri dari :
- Mediasi[13], adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediasi diadakan oleh mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang telah mendapatkan pengesahan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Dalam hal tercapai kesepakatan antara pekerja/buruh dengan perusahaan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial[14]. Namun apabila tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis[15], dan apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial[16].
- Konsoliasi[17], adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Konsiliasi diadakan oleh Konsiliator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang telah mendapatkan pengesahan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Dalam hal tercapai kesepakatan antara pekerja/buruh dengan perusahaan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial[18]. Namun apabila tidak tercapai kesepakatan melalui Konsiliator, maka Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis[19], dan apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan.
Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial[20].
- Arbitrase[21], penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
- Pengadilan Hubungan Industrial
Setelah melalui serangkaian perundingan Bipartit dan Tripartit namun tidak mencapai kesepakatan diantara para pihak, maka langkah selanjutnya adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah[22] pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Gugatan perselisihan dapat diajukan/didaftarkan meskipun telah lewat dari 1 tahun[23], dengan melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, jika tidak dilampirkan maka Pengadilan akan mengembalikan berkas kepada pemohon[24].
Pengadilan memberikan putusan perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja sejak sidang pertama[25]. Keputusan Pengadilan memuat[26]:
- kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
- nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
- ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban termohon/ tergugat yang jelas;
- pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
- alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
- amar putusan tentang sengketa;
- hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Putusan ini berlaku hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja[27].
Klik Disini Skema Tahapan Perselisihan PHK
DAFTAR PUSTAKA
[1]Lihat Pasal 1 angka 25 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[2]Aloysius Uwiyono, dkk., Asas-Asas Hukum Perburuhan, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm.136.
[3]Pasal 154 A ayat (1) Undang Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang junto Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja Waktu Istirahat, dan PHK.
[4]Pasal 156 ayat (1), ibid.
[5]Pasal 156 ayat (2), ibid.
[6]Pasal 156 ayat (3), ibid.
[7]Pasal 156 ayat (4), ibid.
[8]Pasal 154 ayat (1) huruf i, ibid.
[9]Pasal 151 ayat (3) Undang Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Cipta Jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Pasal 35 ayat (2) PP 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja Waktu Istirahat, dan PHK, mensyaratkan penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
[10]Pasal 1 angka 10 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[11]Lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.31/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit.
[12]Lihat Pasal 1 angka 19 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
[13]Pasal 1 angka 11 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
[14]Lihat Pasal 13 ayat (1), ibid.
[15]Lihat Pasal 13 ayat (2), ibid.
[16]Lihat Pasal 14, ibid
[17]Lihat Pasal 1 angka 13, ibid.
[18]Lihat Pasal 23 ayat (1), ibid.
[19]Lihat Pasal 23 ayat (2) , ibid.
[20]Lihat Pasal 24 ayat (1), ibid.
[21]Lihat Pasal 1 angka 15, ibid.
[22]Lihat Pasal 1 angka 17, ibid
[23]Lihat Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 memberikan tenggang waktu 1 tahun untuk mengajukan gugatan atas PHK karena alasan-alasan dimaksud dalam Pasal 159 dan 171 UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi ketentuan Pasal 159 dan 171 UU Ketenagakerjaan tersebut telah dihapus oleh UU Cipta Kerja.
[24]Lihat Pasal 83, ibid.
[25]Lihat Pasal 103, ibid.
[26]Lihat Pasal 102, ibid.
[27]Lihat Pasal 110, ibid.