Bahwa dalam praktik peradilan, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA No.10 Tahun 2020). Bahwa dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2020 Huruf B Angka 2 huruf a menyatakan bahwa :
Hakim perdata tidak berwenang membatalkan sertifikat namun hanya berwenang menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. Pembatalan sertifikat adalah tindakan administrasi yang merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.
Bahwa dari norma hukum tersebut, dapat digaris bawahi bahwa Hakim Perdata berwenang menyatakan sertifikat tidak mempunyai kekuatan hukum dengan dasar tidak mempunyai alas hak yang sah. Bahwa dalam praktik peradilan perdata, sejauh yang Penggugat ketahui Hakim Perdata dalam sengketa kepemilikan, telah membuat putusan dengan amar yang menganulir kekuatan sertifikat diantaranya:
- Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor 18/Pdt.G/2016/PN Mrb tanggal 11 April 2017 dengan amar putusan “ Menyatakan Sertifikat Hak Milik No 270 Tahun 2013 atas nama Hasan Basri tidak memiliki kekuatan hukum;
- Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Linggau Nomor 40/Pdt.G/2021/PN Llg tanggal 2 Maret 2022, dengan amar putusan “Menyatakan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 52 Tahun 2015 adalah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 772 K/Pdt/2008 tanggal 09 Mei 2009 dengan amar putusan “Menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik No. 120 tertanggal 22 Oktober 1990 atas nama Tergugat I La Goa khusus untuk tanah seluas 3.782 m2 dengan ukuran panjang 62 meter, dan lebar 61 tidak mempunyai kekuatan hukum;
- Bahwa sertifikat dapat dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum selain disebabkan karena adanya alas hak yang tidak sah, peralihan yang tidak sah, juga disebabkan karena dalam penerbitannya melanggar hukum yang berlaku.
Bahwa dalam konteks penerbitan sertifikat, diperlukan data fisik bagi pendaftaran tanah, bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan (Vide Pasal 17 ayat 1 PP 24/1997).
In casu, dalam proses sertifikasi tanah Objek Sengketa I dan Objek Sengketa II tidak melakukan pengukuran, pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas bidang-bidang tanah (Vide Pasal 14 PP 24/1997). Sehingga mengakibatkan SHM No. 4007 Tahun 2009 terjadi overload antara data yuridis dan data fisik, dengan pengertian penerbitan SHM No. 4007 Tahun 2009 yang semula seluas 216 dengan ukuran 12×18 M2 pada kenyataannya telah menyerobot tanah dan bangunan ruko Penggugat yang dibangun tahun 1994 dengan ukuran 3 x 8.
- Bahwa mengenai penetapan batas batas tanah secara yuridis sebagaimana dimaksud Pasal 14 PP 24/1999, merujuk pada Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasionalnomor 16 Tahun 2021 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah,
Pasal 19 A ayat (1) menyatakan “Pemasangan tanda batas dilakukan oleh pemohon setelah mendapat persetujuan pemilik yang berbatasan.
Pasal 19 B ayat (1) menyatakan “Penetapan batas dilakukan oleh petugas ukur berdasarkan Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang Berbatasan.
Artinya untuk menetapkan batas-batas bidang tanah harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pemilik yang berbatasan. Maka demikian tindakan penetapan batas dalam SHM tanpa adanya persetujuan dari pihak yang berbatasan bertentangan dengan hukum dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum.