Budi Prasetiyo, Jurnalis Kabupaten Bungo
Jurnalisme selalu bergerak mengikuti denyut zaman. Bila dulu masyarakat mengenal berita lewat surat kabar, radio, atau televisi, kini wajah jurnalisme berubah drastis akibat kehadiran teknologi digital. Media daring, media sosial, hingga kecerdasan buatan (AI) telah memperluas cakrawala komunikasi manusia. Informasi hadir lebih cepat, lebih masif, dan lebih beragam. Namun, justru dalam derasnya arus informasi inilah, jurnalisme menghadapi tantangan paling serius dalam sejarahnya.
Perubahan ini memberi banyak peluang. Wartawan kini memiliki akses yang lebih mudah terhadap data, narasumber, dan jaringan distribusi berita. Publik pun memperoleh kesempatan yang sama besar untuk menyuarakan pendapatnya. Namun, peluang itu sekaligus melahirkan dilema. Banyak media digital terjebak dalam logika bisnis klik, trafik, dan iklan, yang sering kali membuat kualitas berita tergeser oleh kepentingan komersial. Idealisme jurnalisme sebagai pilar demokrasi kerap berhadapan dengan tuntutan ekonomi yang keras.
Sebagaimana pernah diingatkan oleh Jakob Oetama, pendiri Kompas, pers bukanlah sekadar alat untuk menyampaikan informasi, melainkan “alat pencerdasan kehidupan bangsa”. Artinya, jurnalisme memiliki misi sosial yang tidak boleh ditinggalkan meskipun sedang menghadapi tekanan pasar digital.
Di tengah situasi ini, profesionalisme wartawan menjadi taruhan. Kemudahan mendirikan media daring memang memperkaya lanskap informasi, tetapi tidak semua dikelola dengan standar etika jurnalistik yang kuat. Padahal, wartawan dan media tidak berdiri sendiri. Mereka adalah mitra publik, pemerintah, dan swasta. Sebagai mitra publik, media memberi ruang bagi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Sebagai mitra pemerintah, media berfungsi sebagai penghubung yang kritis namun konstruktif, menjaga transparansi dan akuntabilitas. Sementara itu, dalam hubungannya dengan dunia swasta, media menjadi jembatan informasi yang penting bagi aktivitas ekonomi dan bisnis.
Karena itu, etika dan kode etik jurnalistik bukan sekadar aturan formal, melainkan fondasi moral yang menjaga kepercayaan publik. Rosihan Anwar, tokoh pers nasional, pernah menegaskan bahwa pers adalah “cermin masyarakat”. Jika pers mengabaikan etika, maka yang tercermin bukanlah kebenaran, melainkan distorsi. Dengan kata lain, keberlangsungan pers yang sehat sangat ditentukan oleh kesetiaan wartawan dan media pada fakta serta tanggung jawab sosialnya.
Mochtar Lubis, dalam pidatonya di Frankfurt (1966), bahkan mengingatkan bahwa pers sejati harus “bebas, bertanggung jawab, dan berpihak pada kebenaran”. Bagi Mochtar, jurnalisme yang tunduk pada kekuasaan atau kepentingan sempit akan kehilangan roh kebebasannya. Sementara Goenawan Mohamad, pendiri Tempo, menambahkan perspektif yang lebih reflektif: pers tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga “menafsirkan realitas” dengan tetap setia pada integritas dan nurani.
Namun, tantangan jurnalisme digital tidak berhenti pada persoalan internal. Media sosial kini menjadi saluran distribusi utama berita. Dengan segala kelebihannya, media sosial juga membuka ruang bagi maraknya hoaks, disinformasi, dan manipulasi opini. Kita bisa melihat bagaimana pada Pemilu 2019 dan 2024, arus informasi di media sosial penuh dengan konten misinformasi yang berpotensi memecah belah publik. Laporan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) mencatat bahwa isu politik menjadi kategori hoaks terbesar yang beredar di ruang digital. Hal ini membuktikan bahwa tanpa literasi media yang memadai, masyarakat sangat rentan terseret arus informasi yang menyesatkan.
Selain itu, kasus viral seperti hoaks penemuan obat COVID-19 pada masa pandemi, atau penyebaran informasi palsu soal isu penculikan anak yang meresahkan masyarakat, menjadi contoh nyata bagaimana media sosial bisa memperbesar dampak negatif informasi yang tidak terverifikasi. Di sisi lain, beberapa media arus utama justru terjebak ikut mengutip informasi viral tanpa verifikasi yang cukup, sehingga menambah persoalan kredibilitas pers itu sendiri.
Kehadiran kecerdasan buatan juga menghadirkan dinamika baru. Pada 2023, sejumlah media di Indonesia mulai bereksperimen dengan penggunaan AI untuk menulis berita cepat seperti laporan cuaca, ringkasan pertandingan olahraga, atau update harga saham. Namun, eksperimen ini menuai kritik karena sering kali tulisan yang dihasilkan AI kering dari konteks dan berpotensi salah dalam detail. Ini mengingatkan kita bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti peran etik dan intuisi wartawan. Melihat kompleksitas ini, masa depan jurnalisme Indonesia sangat bergantung pada keseimbangan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi sekaligus mendorong literasi digital di masyarakat. Media dan wartawan dituntut konsisten menjaga profesionalisme dan menjunjung tinggi kode etik. Akademisi dapat memperkaya pemahaman melalui riset yang kritis dan interdisipliner. Dan publik sendiri harus lebih bijak dalam mengonsumsi serta menyebarkan informasi.
Jurnalisme yang sehat hanya mungkin terwujud jika ada kerja sama antara semua pihak: media, wartawan, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jika hubungan kemitraan ini dijaga dengan baik, jurnalisme Indonesia tidak hanya mampu bertahan dalam arus digitalisasi, tetapi juga menjadi benteng demokrasi, ruang edukasi publik, dan wadah dialog yang konstruktif.
Referensi
Jakob Oetama (2001). Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus.
Rosihan Anwar (1983). Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia.
Mochtar Lubis (1966). Pidato di Frankfurt Book Fair: Press Freedom and Responsibility.
Goenawan Mohamad (2001). Catatan Pinggir. Jakarta: Tempo.
AJI (2022). Laporan Tahunan: Kebebasan Pers di Era Digital.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). (2023). Laporan Hoaks Tahunan.
McQuail, Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. Sage.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (beserta perubahan).
UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.