Oleh FRENGKY HN, S.H / Division of Legal Diplomacy LBH Pelita Keadilan
Pendahuluan
Kecelakaan lalu lintas adalah salah satu peristiwa yang paling sering terjadi di jalan raya, melibatkan kerugian materiil, luka-luka, bahkan korban jiwa. Dalam banyak kasus, penyelesaiannya dilakukan melalui proses hukum formal di kepolisian dan pengadilan. Namun, untuk kasus-kasus tertentu, pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) mulai digunakan sebagai alternatif penyelesaian yang lebih humanis, cepat, dan berorientasi pada pemulihan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat.
Pengertian Restorative Justice
Restorative justice adalah suatu pendekatan penyelesaian perkara pidana yang menitikberatkan pada pemulihan kerugian dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan sekadar memberikan hukuman. Dalam konteks kecelakaan lalu lintas, konsep ini menekankan pada:
•Kesepakatan damai antara pelaku dan korban.
•Ganti kerugian secara adil.
•Pemulihan hubungan sosial.
•Menghindari proses hukum panjang yang memakan waktu dan biaya.
Landasan hukumnya antara lain:
•Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
•Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
•KUHAP dan peraturan terkait lalu lintas yang memberikan ruang penyelesaian non-litigasi.
Syarat dan Ketentuan Penerapan
Restorative justice tidak bisa diterapkan pada semua kecelakaan lalu lintas. Ada syarat-syarat yang umumnya harus terpenuhi:
1.Tidak menimbulkan korban jiwa atau korban mengalami luka ringan.
2.Kerugian bersifat materiil dan dapat diganti.
3.Pelaku dan korban sepakat untuk berdamai tanpa paksaan.
4.Pelaku tidak memiliki catatan kriminal yang memberatkan.
5.Disetujui oleh penyidik, kejaksaan, dan pihak berwenang lainnya.
Tahapan Proses
1.Laporan & Penyelidikan Awal
Polisi menerima laporan dan melakukan olah TKP untuk memastikan kronologi.
2.Mediasi
Pihak Satlantas memfasilitasi pertemuan antara pelaku dan korban guna membicarakan ganti rugi dan penyelesaian.
3.Kesepakatan Tertulis
Jika tercapai perdamaian, dibuat berita acara kesepakatan damai yang ditandatangani kedua belah pihak.
4.Penghentian Proses Hukum
Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atau pihak kejaksaan menghentikan penuntutan.
5.Pemantauan Pasca-Kesepakatan
Untuk memastikan pelaku memenuhi komitmen ganti rugi dan tidak mengulangi pelanggaran.
Contoh kasus yang ditangani oleh lembaga bantuan hukum pelita keadilan :
Tanggal 29 Juni 2025 Klien Angga saputra dalam surat kuasa khusus no: 01SKK/Pid.B/LBH-PK/VII/2025 merupakan supir truck tronton ekpedisi dengan nopol B9546 TYU warna orange sedang parkir di bahu jalan di jalan lintas sumatera simpang lubuk landai sedang mengalami kendala mogok, di tabrak oleh truck batu bara dari belakang dari arah padang menuju muara bungo.
Kondisi supir truck tronton dan truck batu bara dalam keadaan selamat sehingga angga selaku supir truck tronton mengalami kerugian materil akibat dari kecelakaan dengan total kerugian Rp.70.000.000,
Selanjutnya tim hukum lembaga bantuan hukum pelita keadilan melakukan upaya mediasi dengan pihak truck tronton yang di wakilkan oleh kuasa hukum bernama yuliandi eka kristiaan S.H
Kedua belah pihak sepakat berdamai dimana pihak yuliandi sepakat melakukan ganti rugi.
Dalam aula satlantas polres bungo dihadapan penyidik satlantas polres bungo tim hukum lembaga pelita keadilan beserta tim hukum pak yuli, sepakat melakukan transaksi serah terima kesepakatan damai yang di saksikan oleh anggota satlantas polres bungo.
Manfaat Restorative Justice
•Mempercepat penyelesaian perkara.
•Mengurangi beban pengadilan.
•Meminimalisasi konflik berkepanjangan.
•Memberikan rasa keadilan yang lebih sesuai dengan kebutuhan korban.
•Memulihkan hubungan sosial dan menghindari dendam.
Kesimpulan
Restorative justice dalam kecelakaan lalu lintas adalah alternatif penyelesaian yang efektif untuk kasus-kasus ringan, dengan syarat kedua belah pihak mau bekerja sama. Pendekatan ini selaras dengan semangat hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan. Meski begitu, untuk kasus yang menimbulkan korban jiwa atau pelanggaran berat, proses hukum formal tetap menjadi prioritas demi menjaga ketertiban dan keselamatan di jalan.