Oleh : Indra Setiawan, SH
Salah satu bentuk prilaku menyimpang dari norma sosial dan dianggap sebagai penyakit masyarakat adalah prostitusi. Prostitusi adalah sebuah predikat yang diberikan untuk suatu perbuatan yang di dalamnya terlibat beberapa orang dalam suatu kegiatan seksual tanpa memiliki status hubungan pernikahan.
Seiring dengan perkembangan teknologi modern, prostitusi telah memasuki dunia internet dan merebak melalui media sosial (Social Networking) dengan akses informasi yang cepat dan meluas keberbagai kalangan pengguna internet
Kata prostitusi sendiri berasal dari kata latin ‘prostitution (em)’, yang kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi ‘prostitution’, dan menjadi diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi prostitusi. Prostitusi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang diperjanjikan. Sedangkan menurut Kamus K Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan Prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Sehingga dapat kita artikan Prostitusi online adalah suatu kegiatan transaksional yang berisi penawaran jasa pelayanan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan melalui media sosial atau jaringan internet.
Kasus prostitusi online kembali menjadi perbincangan publik ketika diawal Januari 2019 sejumlah artis tanah air diantaranya adalah artis berinisial VA yang ditangkap di hotel Surabaya pada 05 Januari 2019 bersama 2 (dua) orang mucikari. Saat ini VA sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat 1 junto Pasal 45 UU ITE sedangkan 2 (dua) orang mucikari ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar Pasal 296 jo. Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Jika merujuk Pasal 27 (1) UU ITE yang menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Dan merujuk pada Pasal 45 UU ITE yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Maka secara subtansif Pasal 127 ayat (1) dan Pasal 45 UU ITE tersebut diatas pada pokoknya adalah suatu tindakan pendistribusian/penyebarluasan konten yang melanggar kesusilaan secara tanpa hak. Sehingga jika ditarik dalam kasus prostitusi online yang menjerat artis VA, maka dapat disimpulkan bahwa VA menjadi tersangka karena dianggap telah mendistribusikan dan mentransmisikan/mengirim berupa konten (foto dan video) yang melanggar asusila. Pertanyaannya adalah apakah VA bisa disebut mentransmisikan “tanpa hak” jika ia mengirimkan foto tubuh sendiri kepada orang dekatnya bukan kepada publik dan sebaliknya bagaimana halnya jika dalam mendistribusikan bukan kepada khalayak ramai melainkan hanya kepada satu orang yaitu sang mucikari, yang mana dalam kata “mendistribukan” terkandung makna untuk ditujukan kepada publik. Dalam perspektif hukum yang jernih memandang bahwa tujuan larangan penyebaran konten asusila bukan dimaksudkan untuk mengkontrol prilaku warga negara melainkan melindungi masyarakat luas. Oleh karenaya menurut hemat penulis, penerapan delik penyebaran konten asusila yang dilekatkan kepada VA terkesan dipaksakan dan melenceng jauh dari urusan prostitusi.
Lantas bagaimana dengan Pengguna Jasa prostitusi, apakah juga dapat dikenakan pidana? Bahwa mengingat perbuatan prostitusi tidak diatur dalam KUHP maupun dalam UU ITE sehingga Pengguna Jasa tidak dapat dijerat hukum pidana. Hal ini sesuai dengan Asas legalitas (principle of legality) atau biasa dikenal dalam bahasa Latin “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) yang dapat diartikan tidak seorang dapat dihukum tanpa adanya aturan hukum itu sendiri.
Pengguna Jasa Prostitusi dapat saja dikenakan Pasal 284 KUHP tentang perzinahan yang berbunyi “diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan seseorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW belaku baginya ; seseorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW belaku baginya ; Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka yang berlaku pasal 27 BW , dalam tenggang waktu tia bulan diikuti dengan perminataan bercerai atau pisah meja dan ranjang karna alasan itu juga. Namun karena delik pezinahan ini merupakan delik aduan, maka untuk dilakukan menindakan memerlukan aduan dari istri sah Pengguna Jasa, sehingga jika tidak ada aduan dari pihak istri maka Pengguna Jasa tidak dapat dikenakan pasal ini, sedangkan VA sendiri diketahui belum memiliki suami sah
Sedangkan terhadap mucikari telah ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan Pasal 296 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah” junto Pasal 506 KUHP yang berbunyi “Barang siapa menarik keuntunan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama saatu tahun”
Dari kasus tersebut diatas terlihat jelas bahwa seiring berkembangnya teknologi informasi, kegiatan prostitusi online telah hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat berbagai kalangan, sehingga dalam penegakan hukumnya membutuhkan aturan khusus dalam RUU KUHP yang diharapkan dapat menjerat baik Pengguna, Penyedia (mucikari), dan termasuk si Pemberi Jasa itu sendiri