Oleh : Indra Setiawan, SH

Pertengahan Januari 2019 dunia hukum dihebohkan dengan rencana pembebasan Abu Bakar Bin Abud Baasyir alias Abu Bakar Baasyir (ABB) dari penjara Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor. Polemik kemudian bergulir tentang pembebasan AAB. Apakah “rencan dibebaskannya AAB” berkaitan dengan politik pencitraan petahana atau murni karena hak hukum ABB selaku terpidana. Terlepas dari eskalasi politik menjelang Pilpres 17 April 2019, yang menarik untuk dibahas adalah aspek hukum rencana pembebasan ABB atas kebijakan Presiden.

Dalam diskusi hukum yang digelar dikantor hukum IRZI Law Office Muara Bungo, yang beralamat di Jl. Teuku Umar Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Rimbo Tengah Kabuapten Bungo, secara serius membahas dengan menggunakan analisa pendekatan politik, hukum, dan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan politik tidak dapat dinegasikan dari eskalagi situasi politik saat ini  menjelang Pilpres 2019. Namun dalam diskusi lebih intensif, pendekatan politik untuk sementara dikesampingkan, tentu sebagai praktisi hukum lebih mengedepankan menggunakan pendekatan hukum.

Kita ketahui bahwa informasi yang beredar dimasyarakat, rencana pembebasan ABB melalui suatu kebijakan Presiden. Namun agar masyarakat tidak salah memahami kebijakan Presiden yang dimaksud, berikut tinjauan yuridis mekanisme hukum pembebasan ABB melalui pendekatan hukum. Berdasarkan konstitusionalitas Presiden terhadap narapidana, Presiden mempunyai hak untuk memberikan Grasi, Rehabilitasi, Amnesti dan Abolisi sebagaimana diatur UUD 1945.

Menurut Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa :

  1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
  2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Amnesti dan Abolisi

Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Namun undang- undang tersebut tidak memberikan definisi hukum yang jelas mengenai Amnesti dan Abolisi. Amnesti menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy (hal.41), ialah: “Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana”.

Sedangkan istilah Abolisi menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy (hal.10) adalah “suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak prerogarif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat Mahkamah Agung”.

Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi Amnesti dan Abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Namun sebelum Presiden memberi Amnesti dan Abolisi kepada terpidana terlebih dahulu harus mendapatkan nasihat tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Grasi dan Rehabilitasi

Grasi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) sebagaimana telah diubah oleh Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”). Definisi hukum Grasi diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Grasi yang berbunyi: Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Dalam Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 diatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden. Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan Grasi sesuai dengan UU 5/2010. Sedangkan yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:

  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3. Putusan kasasi.

Hak mengajukan Grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan Grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Perlu di ingat bahwa Permohonan Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan Grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif.

Pihak yang dapat mengajukan permohonan Grasi secara tertulis adalah:

  1. Terpidana atau kuasa hukumnya;
  2. Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, keluarga yang dimaksud adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana; atau
  3. Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi pidana mati.

Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan Grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Pemberian Grasi oleh Presiden dapat berupa:

  1. peringanan atau perubahan jenis pidana;
  2. pengurangan jumlah pidana; atau
  3. penghapusan pelaksanaan pidana.

Rehabilitasi

Istilah Rehabilitasi dapat ditemukan di Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)yaitu hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam penjelasan umum KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi atau ganti kerugian diberikan kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.

Seseorang memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi pada saat:

  1. Mengajukan rehabilitasi melalui praperadilan, akibat tidak sahnya penangkapan atau penahan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan;
  2. Apabila diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 2452 K/Pid.Sus/2011 tanggal 26 Januari 2012, yang telah berkekuatan hukum tetap, ABB divonis bersalah atas tindak pidana “terorisme“selama 15 tahun penjara oleh Djoko Sarwoko, SH,MH SELAKU Ketua Majelis Hakim tingkat kasasi.

Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, maka ABB akan berakhir masa tahanan pada akhir tahun 2026. Namun dengan adanya hak remisi bagi terpidana dapat bebas lebih cepat dari yang seharusnya. Berdasarkan penghitungan penulis, bilamana ABB mendapatkan akumulasi remisi dari jalur umum dan khusus sampai dengan tahun 2018 maka diperoleh remisi sebanyak 3 tahun 6 bulan, dan pengurangan hukuman selama ditahan sebanyak 1 tahun 7 bulan, menjalani masa tahanan 6 tahun 10 bulan, sehingga AAB dianggap telah menjalani hukuman selama 11 tahun 4 bulan dan tersisa 3 tahun 6 bulan. Bahwa terhadap sisa masa tahanan tersebut, ABB berhak mengajukan pembebasan bersyarat kepada Menteri Hukum dan HAM RI.

Arti Pembebasan Bersyarat

Yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Demikian yang dikatakan dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembebasan Bersyarat diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham No.3/2018”). Pembebasan Bersyarat merupakan program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

Pembebasan Bersyarat harus bermanfaat bagi Narapidana serta Keluarganya dan diberikan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat.

Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat

Pembebasan Bersyarat dapat diberikan kepada Narapidana yang telah memenuhi syarat:

  1. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
  2. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana;
  3. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan
  4. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.

Pemberian remisi bagi narapidana terorisme diatur dalam Pemenkumham RI No 03 Tahun 2018 junto Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Pemasyarakatan, Pasal 34 Ayat (1), (2), dan (3).

Selain syarat umum sebagaiman dimaksud Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), bagi terpidana terorisme harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 34 A PP No 99 tahun 2012 jo Pasal 84 Permenkumham No 03 Tahun 2018, yaitu

  1. Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
  2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
  3. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
  • kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
  • tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana Terorisme

Dengan demikian, dari sejumlah prosdur hukum yang berkaitan dengan rencana pembebasan ABB selaku narapidana terorisme, penerapan hukum yang tepat dan relevan adalah pembebasan bersyarat mengingat masa hukuman ABB yang tersisa 3,5 tahun dan dianggap telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan Permohonan Pembebasan Besyarat ini ditujukan kepada Kepala Lembaga Pemasyarkatan yang kemudian diteruskan kepada Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk menyetujui. Atas pengajuan permohanan pembebasan bersyarat ini sesunguhnya tidak ada keterkaitan atau membutuhkan kebijakan Presiden terhadap rencana pembebasan ABB karena pada dasarnya pembebasan bersyarat adalah hak yang melekat pada narapidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga tanpa kebijakan Presiden sekalipun ABB berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Diberitakan sebelumnya bahwa rencana pembebasan ABB akan dilakukan atas kebijakan Presiden dengan alasan kemanusiaan, kebijakan ini dianggap sebagian kalangan sebagai kebijakan politis, seakan pemerintah ingin membangun citra positif dikalangan umat islam dan melindungi ulama islam. Namun bisa saja kebijakan tersebut blunder dan justru menjadi boomerang bagi pemerintah mengingat tindak pidana yang dilakukan ABB masuk dalam kualifikasi extraordnary crime dan bilamana Presiden benar-benar menggunakan kebjakannya untuk membebaskan ABB, maka pemerintah harus siap menghadapi potensi persepsi negatif dikalangan masyarakat karena dianggap telah “memanjakan” pelaku terorisme meskipun beralaskan kemanusiaan. Namun demikian prinsip hukum yang perlu dikedepankan adalah menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menempatkan manusia sebaik-baiknya sebagai bagian dari tujuan hukum diciptakan untuk kepentingan kemanusiaan.

Penulis, Indra Setiawan, SH

Advokat/Pengacara IRZI Law Office

Di Muara Bungo