Indra Setiawan, S.H[1]

  1. PENDAHULUAN

Dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, perkawainan tidak tercatat mempunyai akibat hukum yang berdampak negatif terutama pada kaum perempuan dan keturunannya, karenan tidak adanya jaminan perlindungan hukum kepada mereka, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Polemik hukum keabsahan pernikahan dibawah tangan terjadi sejak diundangkannya UU No 1/75 tetang perkawinan khususnya Pasal 2, yang menyatakan :

  • Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaannya itu
  • Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian panjang polemik tentang aspek hukum mengenai pernikahan dibawha tangan (siri) melahirkan banyak pandangan yang berbeda khususnya bagi masyarakat islam.

  • Pertama, Pernikahan dibawah tangan (siri) adalah tidak sah sebagai aturan negara, karena tidak tercatat pada PPN/KUA secara resmi, meskipun dalam pandangan agama islam dapat dibenarkan keabsahannya.
  • Kedua, pernikahan dibawah tangan (siri) merupakan tindak pidana karena banyak merugikan orang lain terutama perempuan dan anak yang dilahirkan dari pernikahan itu
  • Ketiga, pernikahan dibawah tangan (siri) dilihat dari mudaratnya lebih banyak dari maslahatnya, terutama pada keturunan yang dilahirkannya

Sehingga negara mencegah bahkan melarang terjadinya pernikahan dibawah tangan (siri) agar tercipta kehidupan rumah tangga yang aman, tertib, dan damai, dalam masyarakat sebagai tujuan perkawinan dari aspek sosialnya

  1. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, melahirkan pokok permasalahan yang akan dibahas dibawah ini adalah

  1. Bagaimana tentang keabsahan pernikahan dibawah tangan (siri)
  2. Apakah pernikahan dibawah tangan (siri) termasuk perbuatan melawan hukum perdata atau juga termasuk perbuatan melawan hukum pidana.
  3. PEMBAHASAN
  4. Keabsahan Pernikahan dibawah tangan (Siri)

Lahirnya UU No 1/74 Tetang Perkawinan khusus pasal 2, menggeser pengertian keabsahan perkawinan dalam masyarakat islam dari pengertian sebelumnya, yaitu : Perkawinan itu apabila dilakukan telah memenuhi rukun dan syarat agama islam, maka telah menjadi sah dan diakui dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sekarang keabsahan perkawinan hanya sah apabila memenuhi ketentuan hukum gama dan hukum negara di Indonesia. Maka ada perkawinan tidak tercatat perkawinan tersebut dipandang oleh negara sebagai perkawinan yang tidak sah secara hukum negara dan akibat hukumnya adalah tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat digunakan dalam tata kehidupan bernegara.

  1. Unsur-unsur Keabsahan Suatu Perbuatan Hukum

Dalam Negara RI sebagai negara hukum yang harus memositifkan lebih dahulu hukum-hukumnya sebelum diberlakukan sebagai hukum yang mengatur dan sanksi, maka ada tiga elemen (unsur) yang harus dilaksanakan secara serentak, antara lain :

  1. Hukum Material
  2. Hukum Formal
  3. Hukum Administrasi

Suatu perbuatan hukum termasuk perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan ketiga elemen tersebut, dikatakan telah sah dan mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan kehendak undang-undang yang berlaku. Sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi ketentuan ketiga unsur tersebut atau salah satunya, maka akan membawa konsekuensi bahwa perkawinan tersebut adalah cacat huku, tidak memiliki kekuatan hukum, dan karenanya tidak mendapat perlindungan hukum.

Dilihat dari segi teori hukum, suatu tindakan yang dilakukan menurut hukum baru dianggap dan dikatakan sebagai perbuatan hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang dilakukan tidak sesuai hukum tidak dikatakan sebagai perbuatan hukum sekalipun perbuatan itu belum tentu melawan hukum. Dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan/atau dilindungi hukum. Hal ini juga berlaku pada hukum perkawinan di Indonesia  yang apabila meninggalkan ketentuan dan prosedur yang berlaku dianggap melanggar hukum

  1. PERNIKAHAN DIBAWAH TANGAN (NIKAH SIRI) TERMASUK PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Secara singkat penulis mengemukakan pandangan bahwa perbuatan nikah siri termasuk perbuatan melawan hukum baik hukum perdata ataupun hukum pidana.

  1. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
  2. Adanya suatu perbuatan bersalah. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan disini meliputi perbuatan aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (public order and morals). Menurut Satochid Kartanegara, dalam hukum pidana ada 2 (dua) perbuatan melawan hukum :
  3. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
  4. Wederrechtelijk materil, sesuatu perbuatan “mungkin” Wederrechtelijk, walaupun dengan tegas dilarang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat didalam lapangan hukum (algemen beginsel)
  5. Perbuatan tersebut melawan hukum. Manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan undang-undang, ketertiban umum dan /atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai kesekuensi sendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan
  6. Adanya kerugian bagi korban. Yang dimaksud dengan kerugian, terdiri dari kerugian materil dan kerugian immateril. Akibat suatu perbuatan melawan hukum harus timbul kerugian dipihak korban. Sehingga membuktikan adanya suatu perbuatan melawan hukum secara luas
  7. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Hubungan kausal merupakan salah satu ciri pokok dari adanya suatu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini harus dilihat secara materil. Dikatakan materil karena karena sifat perbuatan melawan hukum baru dilihat sebagai satu kesatuan tentang akibat yang ditimbulkan olehnya terhadap korban. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) teori yaitu teori hubungan faktual dan teori sebab kira-kira. Hubungan sebab akibat (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa secara faktual telah terjadi. Sedangkan teori sebab kira-kira adalah lebih menekankan pada apa yang menyebabkan timbulkan kerugian terhadap korban, apakah perbuatan pelaku dan perbuatan lain yang justru bukan dikarenakan bukan suatu perbuatan melawan hukum. Namun dengan adanya kerugian, maka yang perlu dibuktikan adalah hubungan anatara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkan.
  8. Perspektif Hukum Perdata

Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan : Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan : setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian karena kelalainnya atau kurang hati-hatinya.

Dengan dasar-dasar hukum perdata perkawinan adalah suatu perjanjian, harus diatur sedemikian rupa dalam negara hukum, dengan demikian selain aturan agama juga ada aturan pelaksana keduniaan berbentuk perundang-undangan, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975, cukup memadai untuk itu, telah memuat aturan keagamaan sesuai Pasal 2 ayat (1), (2) dan sesuai aturan hukum tersebut harusnya dipahami sebagai aturan satu kesatuan yang tak terpisahka, bahkan perlu ada revisi agar Pasal tersebut disatukan tanpa memecah dalam ayat (1) dan (2), sehingga tidak mengandung multi tafsir antara paham yang cenderung yang berpaham sekuler, sehingga paham kenegaraan kita termasuk paham sebagai hakim adalah jelas bahwa perkawinan yang tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak sah, karena tidak terpenuhinya syarat keabsahan suatu perbuatan hukum secara sempurna yaitu sebagai diuraikan diatas, harus memenuhi syarat hukum materiil syarat hukum formil, syarat hukum administrasi negara;

  1. Perspektif Hukum Pidana

Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, yaitu; apabila perbuatan telah bersesuaian dengan larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan hukumnya sudah ternyata, dari sifatnya melanggar undang-undang. Sebab hukum adalah undang-undang. Pencatatan perkawinan adalah undang-undang, maka harus dipidana, kiranya perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-peraturan hukum pidana kita sebagian telah dimuat dalam KUHP lain-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh merupakan perbuatan pidan.

Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, harus mendapatkan saksi pidana, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka tidak perlu juga dibuktikan

Adapun konsekuensinya darioada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :

  • Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa
  • Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
  1. Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum Dari Perspektif Pidana dan Perdata

Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan hukum pidana, ada kepentiangan umum yang dilanggar (disamping juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan(munir fuady, 2005)

  1. Penutup
  2. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut

  • Pertama, pernikahan siri merupakan pernikahan yang tidak dapat dibenarkan dan tidak sah menurut UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebab tidak tercatat dan terdaftar oleh Kantor Urusan Agama secara resmi, meskipun dalam pandangan islam pernikahan tersebut dapat dibenarkan keabsahannya
  • Kedua, nikah siri adalah suatu tindak pidana karena banyak merugikan orang lain terutama perempuan dan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut
  1. Saran

Masih banyak hal merupakan harapan kita untuk tegaknya hukum

  • Pernikahan siri tidak dapat dibenerkan dan diperlukan kesadaran hukum oleh masyarakat demi tegaknya hukum di Indonesia, agar tercipta kehidupan berumah tangga yang aman, tertib, dan damai dalam masyarakat dan bernegara
  • Agar tetap memperjuangkan pelanggaran pencatatan perkawinan harus dipandang tindakan melawan hukum yang dapat diberi sanksi pidana

[1] Manager Partners pada kantor hukum Indra Setiawan & Partners – ISP Law Office