Penulis ; Advokat Indra Setiawan, SH
Diawal tahun 2020 ini, dunia hukum diramaikan dengan diskursus putusan Mahkamah Konstitusi yang merombak norma hukum cidera janji dan eksekusi jaminan fidusia dalam UU Fidusia Pasal 15 diberlakukan secara konstitusional bersyarat yang artinya norma hukum tetap dipertahankan namun harus memenuhi syarat dan jika syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi maka norma hukum tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Sehingga akibatnya tindakan sita eksekusi yang dilakukan oleh kreditur menjadi melanggar hukum.
Landasan yuridis pelaksanaan sita eksekutorial yang dilakukan oleh pihak kreditur didasarkan pada Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan Pasal Ayat (3) UU 42/1999 menyatakan bahwa Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Dalam praktiknya, sering kali menimbulkan berbagai persoalan hukum dalam penerapan sita eksekutorialnya, sering ditemukan pihak kreditur dalam proses penanganan debitur yang menunggak baik maupun menggunakan jasa penagihan (Debcollector) secara sepihak menyatakan debitur telah berbuat ingkar janji dan akibatnya objek jaminan fidusia yang sedang berada dalam penguasaan debitur dilakukan sita eksekutorial oleh kreditur dengan cara-cara sepihak dan bahkan ditemui dilakukan secara paksa dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
Namun setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 06 Januari 2020, yang dalam amar putusan menyatakan sebagai berikut :
- Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
- Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
- Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
Dengan adanya putusan MK tersebut maka meskipun debitur tidak melaksanakan kewajiban pembayaran angsuran maka kreditur tidak bisa secara sepihak menyatakan debitur telah berbuat ingkar janji/wanprestasi dan melaksanakan sita eksekutorial berdasarkan sertifikat fidusia. Dalam hal ini dapat diartikan jika debitur tidak mengakui adanya wanprestasi dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditur tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yaitu dengan cara mengajukan gugatan perdata tentang wanprestasi. Dengan demikian hak konstitusionalitas debitur dan kreditur terlindungi secara seimbang.
Tetapi sepanjang debitur telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur untuk dapat melakukan eksekusi sendiri.
Contoh, ketika debitur terlambat membayar angsuran (ingkar janji/wanprestasi) kemudian akibat dari itu kreditur mendatangi debitur dengan maksud untuk menyatakan debitur telah melakukan perbuatan ingkar janji/wanprestasi dan akan menarik (parate eksekusi) objek jaminan fidusia berupa kendaraan roda dua atau roda empat dengan menunjukan Sertifikat Fidusia dan segala dokumen lainnya, namun dalam ini debitur tidak sependapat dinyatakan ingkar janji/wanprestasi oleh kreditur dan enggan menyerahkan objek jaminan fidusia tersebut secara sukarela, maka berdasarkan putusan MK tersebut kreditur diharuskan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri sesuai prosedur hukum yang berlaku. Apabila kreditur tetap melaksanakan sita eksekutorial tanpa didahului gugatan perdata di Pengadilan Negeri, maka pelaksanaan eksekusi tersebut cacat hukum dan dapat dinyatakan batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi, dan bahkan dapat dinyatakan suatu tindakan perampasan sebagaimana dimaksud pasal 368 KUHP tentang Perampasan, 365 KUHP tentang Pencurian dengan kekerasan, 378 KUHP tentang Penggelapan.