Oleh : Indra Setiawan, S.H.,M.H
Pemilu Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota secara serentak diseluruh wilayah Indonesia telah selesai dilaksanakan, dan saat ini tengah memasuki rekapitulasi dari tingkat KPPS, PPK maupun KPU. Khusus diwilayah Kabupaten Bungo berdasarkan situs data-pemilu.pages.dev diketahui Pasangan Calon Bupati Bungo dan Wakil Bupati Nomor Urut 01 H. DEDY PUTRA, S.H., M.Kn. – TRI WAHYU HIDAYAT memperoleh suara 94.735 atau 49.72% sedangkan Calon Bupati Nomor Urut 02 JUMIWAN AGUZA, S.M., M.M. – MAIDANI, S.E. memperoleh 95.797 suara atau 50.28% dari total suara masuk 190.462 suara.
Menyikapi hasil hitung cepat atau quick qount, Kantor Hukum Indra Setiawan & Partners – ISP Law Office menyampaikan beberapa hal:
Pertama, mengucapkan selamat kepada Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 02 JUMIWAN AGUZA, S.M., M.M. – MAIDANI, S.E. atas keunggalan perolehan suara saat ini.
Kedua, perolehan suara antara Paslon Nomor 01 dan Paslon Nomor Urut 02 terdapat selisih suara yaitu 1.062 suara atau 0,5 %. Maka jika merujuk pada Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ini memenuhi syarat ambang batas untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu dalil yang kerap disampaikan oleh Pemohon dalam PHPU adalah dalil kecurangan pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Selanjut, indra menjelaskan Terstuktur adalah kolaborasi antara pejabat pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU dan jajaran dibawahnya) melakukan kecurangan dalam menyelenggarakan pemilu secara kolektif. Sedangkan sistematis merupakan suatu pelanggaran yang terencana tersusun secara matang, dan rapih. Terakhir Masif ialah Pelanggaran dapat meluas dan memiliki implikasi yang berpengaruh besar terhadap hasil pemilu. Ketiga unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif untuk dapat menyebutkan pelanggaran TSM.
Lalu apakah MK berwenang memutus Pelanggaran TSM Pemilu ?
Merujuk Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” dalam konteks ini MK berwenang mengadili sengketa pemilu.
Akan tetapi berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, mahkamah secara eksplisit menerangkan bahwa Pasal 286 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan penjelasannya secara tegas memberi kewenangan penanganan pelanggaran TSM kepada Bawaslu, bukan kepada MK.
Hal ini kemudian diakomodir melalui Peraturan BAWASLU Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, Dan Masif.
Oleh karenanya dugaan pelanggaran TSM berada dalam tahapan proses Pemilu, bukan terletak pada perselisihan hasil Pemilihan Umum. Sehingga dapat disimpulkan penanganan pelanggaran TSM adalah ranah Bawaslu bukan MK, maka apabila Pihak Pemohon mengajukan gugatan ke MK dengan dalil TSM sedangkan Pemohon tidak membuat laporan pelanggaran TSM dibawaslu dan/atau laporan tidak terbukti maka gugatan ke MK akan menjadi sia-sia.