Oleh ; Indra Setiawan

Abstrak

Salah satu bentuk penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dalam Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), artinya adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran atau kontaminas. Namun demikian Pemberlakuan Kebijakan PSBB menimbulkan implikasi hukum, salah satunya yakni dapat diterapkannya penegakan hukum pidana terhadap pelanggar ketentuan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui upaya yang diperlukan agar penegakan hukum terhadap kebijakan tersebut dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Pembahasan penelitan ini mengunakan penelitian hukum normatif, artinya permaslahan yang diangkat, dibahas, dan diurakan dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan kaidah dan norma hukum positif. Kebijakan PSBB adalah suatu bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi hak atas kesehatan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dengan cara melakukan upaya percepatan pencegahan dan penanggulangan covid-19. Tim Gugus Tugas sebagai pelaksana hukum memiliki peranan penting dalam  penegakan hukum kebijakan PSBB. Kemudian agar kebijakan PSBB dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan harus didukung oleh sarana dan fasilitas yang mencakup tenaga medis, pengorganisasian yang baik, dan anggaran yang memadai disamping dukungan  masyarakat terhadap kebijakan PSBB  dan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah yang ditetapkan PSBB akan semakin meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan PSBB.

 

 

Kata Kunci ; Covid-19, PSBB, Penegakan Kebijakan

 

 

BAB I

 

  1. Pendahuluan
  2. Latar Belakang Masalah

Di bulan Desember 2019 hingga awal tahun 2020, berbagai Negara dibelahan dunia  termasuk Negara Indonesia tengah menghadapi wabah virus corona atau yang lebih dikenal dengan covid-19. Wabah ini diketahui bermula dari kota Wuhan, Tiongkok. Virus jenis corona baru telah menyebar ke berbagai Negara di belahan Dunia yang kemudian oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemic. Pandemic adalah sebuah epidemic yang menyebar ke beberapa Negara atau wilayah yang lebih luas dan pada umumnya menular dan menyebabkan infeksi. Sedangkan epidemic adalah penyakit yang timbul sebagai kasus pada suatu populasi manusia. Menurut WHO, penyakit coronavirus (covid19) adalah penyakit yang disebabkan oleh coronavirus yang baru ditemukan. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus covid-19 akan mengalami penyakit pernafasan ringan hingga sedang dan dapat sembuh tanpa memerluan perawatan khusus. Hingga sampai saat ini 21 April 2020 pukul 19.00 wib, WHO mencatat terdapat 2.356.414 kasus positif covid-19 dengan angka kematian mencapai 160.120 dari 213 Negara[1], sedangkan Negara Indonesia kasus positif covid-19 mencapai 6.760 dengan kematian 590 dan 747  dinyatakan sembuh[2].

Di Indonesia sendiri, guna percepatan kinerja Pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19, Presiden Joko Widodo membentuk gugus tugas yang dipimpin oleh Ketua Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Menanggapi situasi penyebaran Covid-19, Kepala BNPB telah mengeluarkan SK Kepala BNPB nomor 9.A Tahun 2020 tanggal 28 Januari dan SK Kepala BNPB 13.A Tahun 2020 tanggal 29 Maret 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.

Sejumlah piranti undang-undang seperti UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, belum mampu mengcover segala situasi, kebutuhan, dan tata laksana undang-undang.

Dengan mengingat meningkatnya penyebaran covid-19 yang semakin signifikan, maka pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selanjutnya sebagai upaya  menekan penyebaran covid19 Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Sosial Berskala Besar melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseas 2019 (Covid19).

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini meliputi pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang terduga terinfeksi covid-19 termasuk pembatasan terhadap pergerakan orang dan/atau barang untuk satu provinsi atau Kabupaten/Kota tertentu untuk mencegah penyebaran covid19. Pembatasan dimaksud yaitu peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum[3]. Bahwa sebagi pedoman teknis pelakanaan PSB, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 09 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019. Dalam Permenkes No 09/2020 tersebut Gubernur/bupati/walikota atau Ketua Gugus Tugas dapat mengusulkan atau mengajukan permohonan PSBB disuatu wilayah tertentu kepada Menteri Kesehatan[4], dan selanjutnya Menteri Kesehatan yang menetapkan PSBB disuatu wilayah didahului dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19[5] yang dalam hal ini dipimpin oleh Kepala BNPB. Maka demikian meskipun disuatu wilayah penduduk tertentu terinfeksi covid-19, Kepala Daerah tingkat Provinsi atau Kabupten/Kota tidak dapat dengan serta merta membuat pernyataan atau pemberlakuan lockdown (karantina wilayah) dan/atau PSBB tanpa adanya persetujuan/penetapan dari Menteri Kesehatan dan ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya berdasarkan Permenkes Nomor 9 tahun 2020, daerah yang bisa menerapkan PSBB ialah wilayah yang melangalami peningkatan jumlah kasus infeksi atau kematian akibat covid-19, selain itu terdapat keterkaitan epidemilogis dengan kejadian serupa diwilayah atau negara lain[6]. Dalam mengajukan penetapan PSBB, Kepala Daerah harus memenuhi sejumlah syarat termasuk menyampaikan data soal peningkatan jumlah kasus menurut waktu, penyebaran kasus menurut waktu, dan kejadian transmisi lokal[7].

Beberapa wilayah di Indonesia telah memperoleh persetujuan Menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB diantaranya yaitu;

  • DKI Jakarta, melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020 tanggal 07 April 2020 dan Keputusan Gubernur DKI Nomor 380 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (2019) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Peraturan Gubernur DKI Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (2019) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
  • Kota Bogor, Depok, dan Bekasi melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/248/2020 tanggal 11 April 2020
  • Tangerang, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/249/2020 tanggal 12 April 2020
  • Kota Pekanbaru, Riau melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/250/2020 tanggal 12 April 2020
  • Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bungo, Kabupaten Bandung Barat, dan Sumedang) melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/259/2020 tanggal 17 April 2020 dan Keputusan Gubernur Jawa Barat dengan nomor 443/Kep.240-Hukham/2020 tentang Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Daerah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bungo, Kabupaten Bandung Barat, dan Sumedang
  • Kota Tarakan, Kalimantan Utara melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/261/2020 tanggal 19 April 2020
  • Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/261/2020 tanggal 19 April 2020
  • Kota Surabaya, Didoarjo, dan Gresik, melalui Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/264/2020 tanggal 21 April 2020

Namun demikian Pemberlakuan Kebijakan PSBB menimbulkan implikasi hukum, salah satunya yakni dapat diterapkannya penegakan hukum pidana terhadap pelanggar ketentuan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Hal ini didasarkan pada UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 93 yang pada pokoknya mengatur bahwa Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)[8]. Selain itu, penegakan hukum pidana terhadap pelanggar kebijakan PSBB dapat dikenakan dengan pasal 212 KUHP dengan ancaman pidana penjara 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dan Pasal 216 ayat (1) dengan ancaman pidana paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu, dan mengenai kerumunan masa dapat dikenakan Pasal 218 KUHP dengan pidana penjara paling lama 4  (empat) bulan 2 (dua) minggu.

Presiden Joko Widodo juga telah menghimbau kepada seluruh masyarakat agar bekerja dirumah, belajar dirumah, serta menerapkan social distancing (pembatasan sosial) namun belakangan istilah social distancing diubah menjadi phyical distancing (jarak fisik). Bahwa kemudian terhadap himbauan Presiden Joko Widodo tersebut, disikapi oleh Kapolri dengan mengeluarkan Maklumat Kepala Kepolsian Republik Indonesia Nomor: Mak/2/III/2020 Serta Sosialisasi tentang Antisipasi Penyebaran Virus Corona / Covid19 yang secara garis besar berisi tentang himbauan agar tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya. Termasuk kegiatan konser musik, pekanraya, festival, bazaar, pasar malam, pameran dan resepsi keluarga, kegiatan olahraga, kesenian, dan jasa hiburan, juga unjuk rasa, pawai dan karnaval yang melibatkan berkumpulnya massa.

Persoalan penegakan hukum terkat kebijakan PSBB dalam rangka pencegahan Covid-19 ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Artikel ini secara khusus akan mengkaji bagaimana upaya yang perlu dilakukan agar penegakan hukum terhadap kebijakan tersebut dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.

  1. Rumusan Masalah

Bagaimana upaya yang perlu dilakukan agar penegakan hukum terhadap kebijakan tersebut dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.?

  1. Tujuan

Untuk mengetahui upaya yang perlu dilakukan agar penegakan hukum terhadap kebijakan tersebut dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.

  1. Metode Penelitan
    • Jenis Penelitian

Pembahasan penelitan ini mengunakan penelitian hukum normatif, artinya permaslahan yang diangkat, dibahas, dan diurakan dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan kaidah dan norma hukum positif. Dengan kata lain Jenis Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji peraturan yang berlaku seperti peraturan-perundang-undangan dan literatur yang bersifat konsep teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan  yang menjadi pokok pembahasan.[9]

  • Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang artinya pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah;

  • Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), dilakukan dengan menelaan semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.[10]
  • Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach), metode pendekatan dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum, yang dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana atauun doktrin-doktrin hukum [11]. Selain pendekatan perundang-undangan, peneliti juga menggunakan pendekatan konseptual dengan merujuk ada doktrin-doktrin yang telah dikemukan oleh para ahli terkait isu yang diangkat oleh peneliti yang kemudian dari beberapa doktrin tersebut ditarik konklusi kemudian dijadikan pemecahan atau isu yang diangkat oleh peneliti dalam tulisan ini. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penegakan hukum.
  1. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jika dilihat dari jenisnya, maka jenis data data meliputi data primer dan data sekunder [12]. Namun dalam penelitian ini hanya menggunakan sumber data kepustakaan.

  • Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalm penelitian ini adalah data sekunder, yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data sekunder yaitu berupa data kepustakaan yang artinya data yang diperoleh dari berbagai sumber atau kepustakaan, seperti buku-buku hukum, jurnal atau hasil penelitian dan literatur lainnya yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian

  • Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan uraian sebagai berikut ;

  • Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum  primer terdiri dari peraturan dasar, perundang-undangan dan norma hukum. Dalam penelitian ini meliputi ;

  1. Intruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Relokasi Anggaran, Serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 20 Maret 2020
  2. Keputusan Presiden No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 13 Maret 2020
  3. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), tanggal 31 Maret 2020
  4. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, tanggal 13 April 2020
  5. Surat Keputusan Kepala BNPB nomor 9.A Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia, tanggal 28 Januari 2020
  6. Surat Keputusan Kepala BNPB 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia, tanggal 29 Maret 2020
  7. Permenkumham No 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Visa dan Izin Tinggal Dalam Upaya Pencegahan Masuknya Virus Corona tanggal 28 Februari 2020
  8. Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 04 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, tanggal 24 Maret 2020
  9. Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: Mak/2/III/2020 Serta Sosialisasi tentang Antisipasi Penyebaran Virus Corona / Covid19 yang secara garis besar berisi tentang himbauan agar tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya. Termasuk kegiatan konser musik, pekanraya, festival, bazaar, pasar malam, pameran dan resepsi keluarga, kegiatan olahraga, kesenian, dan jasa hiburan, juga unjuk rasa, pawai dan karnaval yang melibatkan berkumpulnya massa.
  10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
  11. Permenkumham No M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran Dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 tanggal 30 Maret 2020
  12. Kepmenkeu Nomor 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Kesehatan dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan Dalam Rangka Pencegahan Dan/Atau Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 14 Maret 2020
  13. Permenkeu Nomor 19/PMK.7/2020 tentang Penyaluran Dan Penggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Intensif Daerah Tahun Anggaran 2020 Dalam Rangka Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

Selain itu dipergunakan pula beberapa ketentuan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang terkait serta semua peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji. Bahan hukum primer tersebut kemudian dikembangkan, dibandingkan, dan diuji untuk memperoleh kebenaran pengetahuan secara teoritis dan ilmiah. Kesemuanya itu kemudian dihubungkan dan digunakan untuk mengembangkan jawaban dalam pokok permasalahan penyusunan penelitian ini.

  • Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu untuk mengerti  dan memahami bahan hukum primer yang telah ada. Bahan hukum sekunder juga memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti misalnya hasil tulisan ilmiah para sarjana dan para ahli yang berupa bahan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum. Dalam penelitan ini, bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum dari buku, jurnal ilmiah, media internet, kamus hukum, berkaitan dengan fidusia, sehingga dapat mendukung, membantu, dan melengkapi dalam membahas masalah-masalah yang timbul dalam rangka penyusunan penelitian ini.

  1. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini adalah dengan mengumpulkan bahan-bahn studi yang terkait dengan isu hukum. Penulis mempelajari buku-buku hukum, undang-undang yang terkait dengan isu hukum, artikel dan jurnal ilmiah, yang terkait dengan pokok pemasalahan yang penulis angkat.

  • Metode Bahan Penelitian

Analisa bahan penelitian dalam penulisan ini menggunakan  normatif, yaitu cara untuk memperoleh gambaran singkat suatu masalah yang tidak didasarkan atas angka-angka statistik melainkan didasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif yaitu menyimpulkan pembahasan dari hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal-hal yang bersifat khusus.

Hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu pembahasan yang dimulai dari permasalahan yang bersifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan deduktif, yaitu suatu metode penelitian berdasarkan konsep atau teori yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya dengan sistematis berdasarkan kumpulan bahan hukum yang diperoleh, ditambahkan pendapat para sarjana yang mempunyai hubungan dengan bahan kajian sebagai bahan komparatif. Langkah-langkah yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum, yaitu; [13]

  1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan
  2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum
  3. Melakukan telah atau isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan
  4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum

Langkah–langkah ini sesuai denan karakterilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagi ilmu terapan, ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah tersebut dapat diterapkan baik terhadap penelitian untuk kebutuhan praktis maupun yang untuk kajian akademis

 

 

BAB II

LANDASAN TEORI

  1. Teori Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum adalah suatu penerapan hukum oleh petugas penegak hukum atau aparatur negara yang mempunyai tugas dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang berlaku. Pengertian penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Secara konseptual, inti dari penegakan hukum terletak pad kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagi rangkaian penjabarn nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut sehinga akan tampak lebih konkrit.[14]

Manusia di dalam pergaulan hidup pada dasarnya mempunyai pandangan terentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pendangan-padangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya ada pasangan dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi dan seterusnya. Dalam penegkan hukum pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan. Pasangan nilai yang diserasikan tersebut memerlukan secar konkrit karena nilai lazimnya berbentuk abstrak. Penjabaran konkrit terjadi dalam bentuk kaidah hukum, yang mungkin berisi suruhan larangan atau kebolehan. Kaidah tersebut menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas atau yang seharusnya.[15]

Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-undang yang dirumuskan dalam peraturn hukum. Perumusan pemikiran pembuat hukum dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaiana penegakan hukum itu dijalankan[16]. Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanan hukum dapt berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalm hal ini hukum yang telah dilanggar harus ditegakan. Melalui penegakan hukum inilah hukumitu menjadi kenyataan. Dalam menegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu[17] ;

  1. Kepastian Hukum (rechtssicherheit)

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkan hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang ; fiat justicia et pereat mundus (meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakan). Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu

  1. Kemanfaatan Hukum (zweckmassigkeit)

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegekan hukum. Huum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegekan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru hukumnya dilaksanakan atau ditegakan tetapi timbul keresahan didalam masyarakat

  1. Keadilan Hukum (gerechtigkeit)

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan keadilan diprhatikan. Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa yang mencuri harus dihukum ; siapa yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakn siapa yang mencuri. Sebaliknya, keadilan berifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

  1. Teori Efektifitas Hukum

Istilah teori efektifitas hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu effectiveness of the Legal Theory, bahasa Belanda disebut dengan Effectivitiet van de Juridische Theorie, bahasa Jerman yaitu Wirksamkeit der Rechtlichen Theorie. Hans Kelsen menyajikan definisi tentang efektifitas hukum, efektifitas hukum adalah apakah orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancam oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi.[18]

Konsep efektifitas dalam definisi Hans Kelsen difokuskan pada subjek dan sanksi. Sujek yang melaksanakannya yaitu orang atau badan hukum. Orang-orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan bunyi dari norma hukum. Bagi yang dikenai sanksi maka sanksi hukum tersebut benar dilaksanakan atau tidak.

Hukum diartikan norma hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Norma hukum tertulis merupakan norma hukum yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Sedangkan norma hukum tidak tertulis merupakan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat.

Teori efektifitas hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Ada tiga kajian teori efektifitas hukum yang meliputi ;

  1. Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum
  2. Kegagalan dalam pelaksanaannya
  3. Faktor yang mempengaruhinya

Keberhasilan  dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa hukum yang dibuat itu telah tercapai maksudnya. Maksud dari norma hukum adalah mengatur kepentingan manusia. Apabila norma hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun penegak hukum maka pelaksanaan hukum itu dikatakan efektif dalam implementasinya.

Kegagalan dalam pelaksanaan hukum adalah bahwa ketentuan hukum yang telah ditetapkan tidak mencapai maksudnya atau tidak berhasil dalam implementasinya. Faktor yang mempengaruhi adalah hal yang menyebabkan atau berpengaruh dalam pelaksanaan dan penerapan hukum tersebut. Faktor yang mempengaruhi dapat dikaji dari Aspek keberhasilannya dan Aspek kegagalannya.

  1. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan itu meliputi substansi hukum, struktur hukum kultur hukum, dan fasilitasnya. Norma hukum dikatakan berhasil apabila norma tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum itu sendiri.

Faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam pelaksanaan adalah norma hukum yang kabur atau tidak jelas aparatur yang korup atau masyarakat yang tidak dasar atau taat norma hukum tersebut. Fasilitas yang mendukung norma hukum tersebut sangat minim sehingga sulit untuk terciptanya keefektifan hukum tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto[19] penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, terdapat faktor yang mempengaruhinya yaitu :

  1. Faktor hukumnya sendiri
  2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
  3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum
  4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum itu berlaku atau diterapkan
  5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergumulan hidup.

Apabila kelima faktor tersebut dijadikan parameter dalam penegakan hukum maka untuk melihat apa saja faktor penghambat dan pendorong didalam pelaksanaan tugasnya, dapat diuraian sebagai berikut ;

  1. Faktor Hukum

Praktek penyelenggaraan penegak hukum dilapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu dikarenaan konsensi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup “Law Enforcement” saja akan tetapi juga “Peace Maintenance” karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola prilaku nyata yang tujuan untuk kedamaian. Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

Hukum menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mendapatkan saksi yang tegas dan nyata[20]. Sumber hukum lain menyebutkan bahwa hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang fungsinya mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman masyarakat.[21] Hukum mempunyai jangkauan universal karena dengan hukum bisa menemukan beberapa teori yang berbeda dari setiap individu[22]. Contoh ketika beberapa hakim mendengar tentang kasus pembunuhan, dari sekian banyak hakim pasti memiliki pemikiran yang berbeda-beda (ditikam, dibakar, dibuang kesungai, dll) sebelum melihat berkas tentang kasus pembunuhan tersebut. Artinya, hukum memiliki jangkauan yang sangat luas untuk masing-masing orang, tergantung bagaimana cara seseorang tersebut menyikapi hukum yang dihadapinya.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adalah suatu peraturan tertulis yang dibuat oleh pihak yang berwewenang yang sifatnya memaksa untuk mengatur kehidupan yang damai ditengah masyarakat. Hukum yang telah dibuat memiliki fungsi guna membantu peranan berjalanannya Undang-undang seperti penerbitan peraturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sehingga dapat mengiring masyarakat berkembang. Secara garis besar fungsi hukum dapat dikualifir dalam tiga tahap yaitu[23] ;

  1. Fungsi Hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berprilaku didalam masyarakat. Mununjukan mana yang baik dan mana yang buruk melalui norma-normanya.
  2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan bhatin. Hukum dengan ifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis.
  3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu daya mengikat dan memaksa dari hukum, juga dapat dimanfaatkan atau didayagunakan untuk menggerakan pembangunan. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat karah yang lebih maju.
  4. Faktor Penegak Hukum

Salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum, dengan mengutip pedapat J.E Sahetapy yang menyatakan bahwa dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegekan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusia) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan,  harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan[24]

  1. Faktor Masyarakat

Bentuk masyarakat dapat dibedakan menjadi dua tingkat kedalaman yang berbeda. Pertama, masyarakat yang langsung dan spontan sedangkan yang kedua adalah masyarakat yang terorganisir dan merefleksikan. Masyarakat dengan pola spontan dinilai kreatif baik secara pemikiran maupun pola tingkah laku sedangkan masyarakat yang terorganisisr memiliki pola pikir yang baku dan banyak perencanaan yang disengaja.[25] Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi kepatuhan hukumnya.

Dari sekian banyak pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasinya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan percerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.

Masyarakat sebagai warga Negara yang memerlukan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum dan perundang-undangan. Undang-undang yang bagus tidak memberikan garansi terlaksananya hukum apabila kesadaran dan kepatuhan hukum warga Negara tidak mendukung pelaksanaan udang-undang tersebut[26].

Masalah kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat bukanlah semata-mata objek sosiologi. Kesadaran hukum masyarakat itu tidak hanya ditemukan melalui penelitian hukum semata-mata

  1. Faktor Budaya

Berdasarkan analisis konsepsional terhadap berbagai jenis kebudyaan apabila dilihat dari perkembangannya dan ruang lingkupnya di indonesia, adanya super-culture, culter, subculture, dan counter-culture. Variasi kebudayaan yang demikian banyaknya, dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan huum, variasi-variasi kebudayaan sangat sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat, misalnya penegakan hukum di Papua akan berbeda dengan Jakarta.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan, karena merupakan hal pokok dalam penegakan hukum, serta merupakan ukuran untuk mengetahui efektifitas dalam penegakan hukum.

  1. Faktor Sarana dan Fasilitas

Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan keras. Salah satu perangkat lunask adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional. Sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan dalam tugasnya antara lain pengetahuan tentang kejahatan Korupsi, yang merupakan tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini karena secara teknis yuridis kepolisian dianggap belum mampun dan siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh pihak kepolisian begitu luas dan begitu banyak.

Dari beberapa faktor tersebut diatas, Ahmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektifitas hukum tersebut untuk ditaati yaitu faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran dari para penegak hukum baik dalam menjalankan tugas dan menjalankan isi dari Undang-undang tersebut.[27]

Syarat agar hukum dapat berjalan dengan efektif adalah dengan melihat undang-undangnya yang berlaku dimasyarakat, adanya pelaksanaan hukum, kondisi sosio-ekonomi masyarakat, undang-undang yang dibuat harus dirancang dengan baik dan substansinya yang meliputi isi dari peraturan tersebut haru bersifat melarang, mengandung sanksi dan moralitas. Pelaksanaan hukum adalah aparat yang melaksanakan hukum itu sendiri, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Pelaksanaan hukum ini harus dilakukan dengan baik. Efektifitas hukum harus dilihat dari kondisi sosio-ekonomi masyarakat. Semakin baik ekonomi masyarakat maka semakin efektif undang-undang yang berlaku. Hal ini disebabkan karena tidak adanya masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Semakin rendah ekonomi masyarakat semakin banyak terjadi pelanggaran hukum. Hal ini dilihat semakin banyaknya pencurian yang berlatar belakang alasan ekonomi.

 

BAB III

PEMBAHASAN

Penetapan PSBB dalam rangka pencegahan Covid-19 menimbulkan konsekuensi hukum lain yaitu dapat diterapkannya penegakan hukum pidana atau dengan kata lain setiap orang yang melanggar atau menghalagi jalannya pelaksanaan PSBB dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini berbeda dengan situasi ketika social distancing masih bersifat himbauan dari Pemerintah, atau dengan kata lain Kebijakan PSBB belum diterapkan disuatu wilayah tertentu karena belum memiliki landasan hukum pelaksanaan. Oleh karena belum adanya aturan hukum yang mengatur tentang PSBB maka penerapan saksi pidana tidak dapat diterapkan. Hal ini karena negara Indonesia menganut asas legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada[28].

Sebagaimana diketahui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mulai menggunakan istilah physical distancing atau jarak fisik sebagai cara untuk menghindari penyebaran virus corona. WHO juga meminta semua Negara yang terjangkit Covid-19 untuk meningkatkan tanggap darurat dan memberitahukan kepada warganya agar dapat melindungi dirinya sendiri. Selain itu para pejabat kesehatan juga diintruksikan untuk menemukan, mengisolasi, menguji, dan menangani setiap kasus covid19, mempersiapkan Rumah Sakit dan memastikan perlindungan pada petugas kesehatan untuk menangani virus corona baru.

Berbagai kebijakan dilakukan oleh setiap negara yang mengkonfirmasi Covid-19 di negaranya, mulai dari penutupan bandara hingga pemberlakuan pembatasan terhadap pergerakan warganya. Begitu juga yang terjadi di Negara Indonesia, Presiden Joko Widodo menghimbau kepada warganya untuk menerapkan social distancing yang kemudian istilah tersebut diganti dengan physical distancing dengan cara menerapkan kebijakan bekerja dirumah, belajar dirumah, dan beribadah dirumah.

Bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah dinyatakan oleh WHO sebagai pandemic, sehingga untuk mengurangi terjadi peningkatan kasus perlu dilakukan upaya penanggulangan dan pencegahan penyebarluasan Covid-19. Berdasarkan undang-undang, bentuk penanggulangan penyebaran Covid-19 adalah diselenggarakannya Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan). Bahwa salah satu bentuk penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar[29] (PSBB). Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran atau kontaminasi[30]. Pemberlakuan PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum[31], untuk ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria PSBB diatur oleh Peraturan Pemerintah sedangkan Penetapan Status dan Pedoman pelaksanaan PSBB diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020[32]

PSBB secara spesifik diatur dalam dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Dieases 2019 (PP No 21 Tahun 2020) menyatakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disase 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disase 2019 (Covid-19)[33]. Bahwa bentuk PSBB menurut Peraturan Pemerintah ini meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum[34]. Begitu juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseas (Permenkes No 9 Tahun 2020)  menyatakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disase 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disase 2019 (Covid-19)[35]. Dalam Permenkes No 9 Tahun 200 ini mengatur bentuk PSBB yaitu meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya,  pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.[36]

Bahwa tujuan pembatasan PSBB ini yaitu untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau faktor resiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, mencegah dan menangkal penyakit dan/atau faktor resiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional dibidang kesehatan masyarakat, dan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.

Maka demikian guna memutus mata rantai penyebaran covid-19, diharapkan bagi masyarakat untuk mentaati kebijakan maupun himbauan Pemerintah yang telah diberlakukan agar tidak melakukan kegiatan keramaian/kerumunan masa ditempat atau fasilitas umum. Namun demikian meskipun kebijakan pembatasan telah diberlakukan, tidak sedikit masyarakat yang kurang mengindahkan kebijakan atau tidak mematuhi aturan yang telah dikeluarkan.

Sebagaimana telah disampaikan dimuka bahwa hukum adalah suatu peraturan tertulis yang dibuat oleh pihak yang berwewenang yang sifatnya memaksa untuk mengatur kehidupan yang damai ditengah masyarakat. Sehingga apabila melanggar hukum akan mendapatkan sanksih hukum dari pihak yang berwenang.

Demikian pula dalam penerapan kebijakan PSBB, bagi yang melanggar atau sengaja menyebabkan kedaruratan kesehatan dapat kenakan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 39 yang menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atu pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Selain itu, pelanggaran terhadap kebijakan PSBB dapat  dikenakan pasal 212 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu rupiah.

 Pasal 216 ayat (1) yang menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana ; demikian pula barang siapa mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah

Dari kedua ketentuan pidana tersebut, dapat diartikan bahwa bagi siapa saja yang melawan perintah atau menghalangi petugas yang sedang melakukan penertiban pembatasan sosial dan/atau upaya pencegahan penyebaran dan penanggulangan covid-19 dapat dikenakan sanksi pidana termasuk kepada pasien positif covid-19 maupun keluarganya yang menolak untuk dikarantina/isolasi.

Selanjutnya dalam konteks pelanggaran terhadap pembatasan kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial lainya yang menggunakan tempat atau fasilitas umum yang menimbulkan kerumunan dapat diterapkan Pasal  218 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara  paling lama 4  (empat) bulan 2 (dua) minggu tentang kerumunan masa. Terhadap unsur kerumunan dalam pasal ini dapat diartikan bahwa kerumunan ditengah situasi pandemi akan berpotensi meningkatkan penyebaran covid-19 semakin cepat dan meluas sehingga akan menyebabkan kedaruratan kesehatan.

Bahwa penerapan sanksi hukum dalam kebijakan PSBB ini tidak lain adalah bertujuan untuk dua hal yaitu preventif dan deterrence. Sebagaimana telah dikemukakan oleh tokoh aliran klasik Jeremy Bethan yang dikutip oleh M. Sholehuddin[37] yaitu mencegah semua pelanggaran, mencegah pelanggaran yang paling jahat, menekan kejahatan, menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.

Bahwa kajian selanjutnya yaitu bagaimana cara agar penegakan hukum atas kebijakan PSBB dapat berlaku efektif dimasyarakat, untuk mencapai hal itu maka perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat mendukung efektifitas penerapan hukumnya. Adapun faktor-faktor agar pelaksanaan kebijakan PSBB  dapat berjalan dengan efektif yaitu dapat dilihat dari aturan hukum yang berlaku dimasyarakat, adanya pelaksana hukum, kondisi sosio-ekonomi masyarakat, dan hukum yang dibuat harus dirancang dengan baik dan substansinya yang meliputi isi dari peraturan tersebut harus bersifat melarang, mengandung sanksi dan moralitas.

Dalam hal ini aturan kebijakan PSBB adalah UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantiaan Kesehatan, PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, sedangkan pelaksana penegakan hukum PSBB terdiri dari BNPB, dan beranggotakan dari Unsur Kementerian Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Unsur Kementerian Kesehatan, Unsur Kementerian Dalam Negeri, Unsur Kementerian Luar Negeri, Unsur Kementerian Perhubungan, Unsur Kementerian Komunikasi dan Informatika, Unsur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Unsur Kementerian Agama, Unsur Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Unsur Tentara Nasional Indonesia, Unsur Kepolisian, dan Unsur Kantor Staff Presiden.[38]

Subtansi dari peraturan PSBB yakni sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah pusat maupun daerah untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penakit menular dan/atau beresiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Sebagaimana diketahui penyebaran Covid-19 di Indonesia saat ini sudah semakin meningkat dan meluas lintas wilayah yang diiringi dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian. Peningkatan terebut berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarkat, sehingga diperlukan percepatan penangana Covid-19 dalam bentuk tindakan PSBB.

Sedangkan terhadap pelaksanaan Kebijakan PSBB agar dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka untuk mencapai kepatuhan dan ketertiban dimasyarakat, pemberlakuan kebijakan PSBB berisi sanksi dan moralitas yang diantaranya berupa sanksi pidana yaitu sebagaiman dimaksud dalam pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Bahwa selain faktor yang mendukung efektifitas penegakan hukum tersebut diatas, perlu dukungan infrastruktur lainya seperti  memberikan edukasi dan sosialisasi berkaitan dengan pencegahan covid-19 maupun memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang terkena dampak covid-19. Selain itu, penegakan hukum terhadap kebijakan PSBB juga harus didukung oleh aspek lainnya seperti misalnya sarana dan prasarana, ketersediaan dana, dan sumber daya manusia. Anggaran yang memadai merupakan salah satu jaminan terlaksananya penerapan kebijakan, sebab tanpa anggaran yang cukup, kebijakan PSBB tidak akan berjalan dengan efektif.

Efektifitas penegakan hukum terhadap kebijakan PSBB tidak hanya dilihat dari instrumen hukum yang berlaku, substansi, dan pelaksana, melainkan harus dilihat juga faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, tetapi terdapat faktor yang mempengaruhinya yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, faktor budaya.

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Kebijakan PSBB melalui UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantiaan Kesehatan, PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, adalah suatu bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi hak atas kesehatan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia[39] dengan cara melakukan upaya percepatan pencegahan dan penanggulangan covid-19. Substansi penegakan kebijakan PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi maupun ada yang belum terdeteksi, atau sedang dalam masa inkubasi, maka untuk mencegah meluasnya penyebaran disuatu wilayah melalui kontak perorangan perlu adanya pembatasan kegiatan sosial berskala besar diwilayah tersebut. Pembatasan kegiatan tertentu yang dimaksud adalah membatasi berkumpulnya orang dalam jumlah yang banyak pada suatu lokasi tertentu. Kegiatan yang dimaksud seperti sekolah, kerja kantoran dan pabrikan keagamaan, pertemuan, pesta perkawinan, rekreasi, hiburan, festival, pertandingan olah raga dan kegiatan berkumpul lainnya yang menggunakan fasilitas umum atau pribadi.

Namun demikian penerapan sanksi pidana bagi pelanggar kebijakan PSBB yang berujung pada pemidanaan diperlukan pertimbangan yang matang dan penuh kehati-hatian agar pemidanaan yang dilakukan tidak terkesan kontras dengan kebijakan Pemerintah yang telah mengeluarkan puluhan ribu narapidana melalui Kepmenkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Sangat tidak diharapkan jika penerapan sanksi pidana yang dimaksudkan untuk menahan laju penyebaran Covid-19 tetapi justru berujung pada tindakan yang menempatkan orang di situasi rentan terpapar Covid-19. Pendekatan represif dan menggunakan pemidanaan bukanlah parameter utama mencapai keberhasilan penyelesaian persoalan kesehatan publik.

Faktor selanjutnya yaitu faktor Penegak Hukum, pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam proses penegakan hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, peradilan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi keberhasialan usaha penegakan hukum dalam masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum kebijakan PSBB ini yang menjadi pelaksana kebijakan adalah Gugus Tugas yang terdiri Unsur Kementerian Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Unsur Kementerian Kesehatan, Unsur Kementerian Dalam Negeri, Unsur Kementerian Luar Negeri, Unsur Kementerian Perhubungan, Unsur Kementerian Komunikasi dan Informatika, Unsur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Unsur Kementerian Agama, Unsur Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Unsur Tentara Nasional Indonesia, Unsur Kepolisian, dan Unsur Kantor Staff Presiden[40]. Para pelaksana kebijakan juga melakukan berbagai upaya untuk mentracking dan memutus mata penyebaran covid-19 dengan cara pemeriksaan dan monitoring terhadap lalu lintas perjalanan penduduk disuatu wilayah yang akan keluar dan masuk wilayah yang menerapkan kebijakan PSBB.

Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana dan fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan memiliki skill yang memadai, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, anggaran yang cukup, dan seterusnya. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, penegakan hukum akan sulit mencapai tujuannya. Dalam hal penegakan hukum kebijakan PSBB, dari aspek kesehatan, tenaga medis  merupakan hal prioritas posisinya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan jumlah tenaga medis, pemerintah membuka pendaftaran bagi dokter, perawat, dan mahasiswa menjadi bagian dari tim relawan dibawah kordinasi dan standar kerja Tim Gugus Tugas. Peralatan penunjang seperti  Alat Pelindung Diri (ADP) bagi tenaga medis juga tidak kalah penting mengingat penyebaran covid dapat terjadi melalui kontak fisik dengan pasien. Bahkan demi menutupi kekurangan kebutuhan APD, masyarakat memberikan dana sumbangan untuk pengadaan APD bagi tenaga medis. Kemudian dari aspek hukum, aparat penegak hukum ditugaskan untuk menertibkan pembatasan sosial dengan cara mensosialisasikan kebijakan, membubarkan keramaian ditempat atau fasilitas umum, tempat hiburan, toko, dan lain-lain termasuk melakukan penyemprotan disinfektan dijalanan, perkantoran, toko, tempat ibadah, dan tempat-tempat yang strategis keramaian.

Keberhasilan implementasi kebijakan adalah adanya  kesadaran masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Kesadaran hukum antara lain meliputi pengetahuan hukum, penghayatan hukum, ketaatan hukum. Dalam konteks kebijakan PSBB ini, ada saja masyarakat yang namun tidak dipungkiri, dalam penerapan kebijakan PSBB tidak sedikit masyarakat yang melanggar aturan yang telah ditetapkan diantara yaitu ;

  1. Masih adanya pasien positif covid-19 yang tidak tertib[41] menjalani isolasi mandiri[42] selama 14 (empat belas) hari.
  2. Pasien positif covid-19 melarikan dari isolasi rumah sakit[43]
  3. Tidak menerapkan physical distancing dan tidak menggunakan masker[44]
  4. Masih adanya pabrik yang memperkerjakan karyawannya[45]
  5. Sengaja melanggar pembatasan sosial dengan alasan pekerjaan dan kebutuhan ekonomi[46].
  6. pada umumnya menganggap remeh penyakit covid-19[47]

Padahal keberhasilan kebijakan PSBB tergantung dari dukungan masyarakat. Semakin tinggi dukungan masyarakat akan membawa keberhasilan dalam mencapai tujuan kebijakan. Namun sebaliknya apabila kebijakan PSBB kurang didukung oleh masyarakat maka akan semakin sulit bagi pemerintah menegakan aturan yang dalam hal ini bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Faktor budaya, sebagaimana telah disampaikan dimuka bahwa semakin banyak persesuaian antara peraturan perundang-undangan dan kebudayan masyarakat, maka akan semakin mudah untuk menegakan hukum. artinya bahwa budaya berhukum masyarakat dapat ditingkatkan dengan upaya sosialisasi yang baik kepada masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah yang ditetapkan PSBB. Seiring meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap aturan PSBB, kultur berhukum masyarakat diharapkan akan semakin baik karena meningkatnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri.

 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Karantina Wilayah dan PSBB ditetapkan sebagai upaya membatasi penyebaran penyakit yang menimbulkan darurat kesehatan. Namun demikian dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan PSBB, harus tetap memperhatikan hak asasi manusia. Penghormatan terhadap HAM telah tertuang dalam konsideran huruf c UU  No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang menyatakan bahwa “sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi Internasional dibidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal” selain itu, dalam Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia”. Namun dengan adanya Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.”, menjadi legitimasi pemerintah dalam penertiban pembatasan sosial bukanlah suatu pelanggaran HAM tetapi tidak diperlukan tindakan yang berlebihan dan melakukan upaya paksa yang berlebihan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

Bahwa tujuan pembatasan PSBB ini yaitu untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau faktor resiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, mencegah dan menangkal penyakit dan/atau faktor resiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Pelanggaran terhadap kebijakan PSBB dapat kenakan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 39 Junto pasal 212 KUHP  junto Pasal 216 ayat (1) KUHP. Ketentuan  pidana tersebut, dapat diartikan bahwa bagi siapa saja yang melawan perintah atau menghalangi petugas yang sedang melakukan penertiban pembatasan sosial dan/atau upaya pencegahan penyebaran dan penanggulangan covid-19 dapat dikenakan sanksi pidana termasuk kepada pasien positif covid-19 maupun keluarganya yang menolak untuk dikarantina/isolasi.

 Kebijakan PSBB adalah suatu bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi hak atas kesehatan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dengan cara melakukan upaya percepatan pencegahan dan penanggulangan covid-19. Tim Gugus Tugas sebagai pelaksana hukum memiliki peranan penting dalam  penegakan hukum kebijakan PSBB. Kemudian agar kebijakan PSBB dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan harus didukung oleh sarana dan fasilitas yang mencakup tenaga medis, pengorganisasian yang baik, dan anggaran yang memadai disamping dukungan  masyarakat terhadap kebijakan PSBB  dan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah yang ditetapkan PSBB akan semakin meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan PSBB.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

  • Ali, Achmad. 2020. Menguak Teori Hukum dan Teori Keadilan. Jakarta. Kencana
  • Hutabarat, 1985. Persamaam Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia
  • Johnson, Alvin S. Sosiologi Hukum. Jakarta. Rineka Cipta.
  • Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Bandung. Nusa Media. Bandung
  • Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitan Hukum. Jakarta. Kencana Media Group.
  • Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta
  • Masriani, Yulies Tina. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika
  • Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2007. Ilmu Hukum dan Filsafat hukum. Yogyakrta. Pustaka Pelajar.
  • Raharjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Penerbit Alumni
  • Raharjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Sebagai Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta. Genta Publishing
  • Ratnawati, Erna Tri Rusmala. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Yogyakrta. Laboratorium Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
  • Sahetapy, J.E. 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung. Eresco
  • Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia Press
  • ——————————. 1983. Faktor faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

  • Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
  • Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Dieases 2019
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseas

INTERNET

  • https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 19.00
  • https://www.covid19.go.id/ diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 19.00 wib
  • https://jateng.tribunnews.com/2020/03/20/harusnya-isolasi-mandiri-ibu-di-solo-ini-malah-rewang-dan-ke-pasar-kini-17-rumah-diisolasi, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 20.00 wib
  • Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Isolasi diri sendir yaitu ketika seseorang yang sakit (demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/gejala penyakit pernafasan lainnya), namun tidak memiliki resiko penyakit penyerta lainnya (diabetes, penyakit jantung, kanker, penyakit paru kronik, AIDS, penyakit autoimun, dll), maka secara sukarela atau berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan, tinggal dirumah dan tidak pergi berkerja, sekolah, atau ke tempat-tempat umum.
  • https://www.merdeka.com/peristiwa/disorot-jokowi-ini-deretan-kasus-pasien-covid-19-kabur-dari-rumah-sakit.html, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 20.30 wib
  • https://www.merdeka.com/peristiwa/mulai-hari-ini-warga-medan-tak-pakai-masker-akan-disita-ktp.html, 21 April 2020 pukul 21.00 wib
  • https://jabar.idntimes.com/news/jabar/debbie-sutrisno/4502-perusahaan-di-jabar-masih-beroperasi-di-tengah-pandemik-corona/full, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 21.30 wib
  • https://health.grid.id/read/352129719/tetap-kerja-setelah-positif-covid-19-pegawai-minimarket-di-bandung-kena-batunya?page=all, 21 April 2020 pukul 22.00 wib
  • https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52185123, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 22.30 wib

SUMBER LAIN

  • Materi Kuliah Sejarah Hukum Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi tanggal 19 Oktober 2020

[1]     https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 19.00

[2]     https://www.covid19.go.id/ diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 19.00 wib

[3] Lihat Pasal 59 ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan

[4] Lihat Pasal 6 ayat (1) dan (3) PP 21 Tahun 2020 dan Pasal 3 dan Pasal 5 Permenkes No 09/2020

[5] Lihat Pasal 6 ayat (2) PP 21 Tahun 2020

[6] Lihat Pasal 2 Permenkes No 9 Tahun 2020

[7] Lihat Pasal 4 Permenkes No 9 Tahun 2020

[8] Lihat Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan

[9] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, 2005, Jakarta, hal 194

[10] Ibid, hal 93

[11] Ibid, hal 108

[12] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, Hal 72

[13] Peter Mahud Marzuki, Op.Cit, hal 171

[14] Soerjon Soekanto, 1983, Faktor faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 1983. Hal 7

[15] Ibid, hal 6

[16] Satjipto Raharjo. Penegakan Hukum Sebagi Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. Yogyakarta. 2009. Hal 25

[17] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta. 1999. Hal 145

[18] Hans Kelsen. 2006. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Nusa Media. Bandung. Hal 39

[19] Soerjono Soekanto. 1983.  Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Radjawali.Jakarta.hal 5

[20] Yulies Tina Masriani. Pengantar Hukum Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2004. Hal 13

[21] Ibid, Hal 13

[22] Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum. Penerbit Alumni. Bandung. 1986. Hal 8

[23] Yulies Tina Masriani. Op.Cit. Hal 13

[24] J.E Sahetapy, 1995. Bunga Rampai Viktimisasi. Eresco. Hal 87

[25] Alvin S. Johnson. Sosiologi Hukum. Rineka Cipta. Jakarta . 2004. Hal 194

[26] Ramly Hutabarat. Persamaam Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985. Hal 78

[27] Achmad Ali. 2020. Menguak Teori Hukum dan Teori Keadilan. Jakarta. Kencana. Hal 375

[28] Pasal 1 ayat 1 KUHP

[29] Lihat Pasal 49 UU Kekarantinaan Kesehatan

[30] Lihat Pasal 1 angka 11 UU Kekarantinaan Kesehatan

[31] Lihat Pasal 59 ayat (3) UU K Kekarantinaan Kesehatan

[32] Lihat Pasal 49 ayat (3) UU K Kekarantinaan Kesehatan

[33] Lihat Pasal 1 PP No 21 Tahun 2020

[34] Lihat Pasal 4 PP No 21 Tahun 2020

[35] Lihat Pasal 1 angka 1 Permenkes No 9 Tahun 2020

[36] Lihat Pasal 13 ayat (1) Permenkes No 9 Tahun 2020

[37] M. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Rajawali Press. Jakarta. 2007.Hal 40

[38] Lihat Pasal 8 Keppres No 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas

[39] Lihat Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945

[40] Lihat Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas

[41] https://jateng.tribunnews.com/2020/03/20/harusnya-isolasi-mandiri-ibu-di-solo-ini-malah-rewang-dan-ke-pasar-kini-17-rumah-diisolasi, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 20.00 wib

[42] Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan. Isolasi diri sendir yaitu ketika seseorang yang sakit (demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/gejala penyakit pernafasan lainnya), namun tidak memiliki resiko penyakit penyerta lainnya (diabetes, penyakit jantung, kanker, penyakit paru kronik, AIDS, penyakit autoimun, dll), maka secara sukarela atau berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan, tinggal dirumah dan tidak pergi berkerja, sekolah, atau ke tempat-tempat umum.

[43] https://www.merdeka.com/peristiwa/disorot-jokowi-ini-deretan-kasus-pasien-covid-19-kabur-dari-rumah-sakit.html, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 20.30 wib

[44] https://www.merdeka.com/peristiwa/mulai-hari-ini-warga-medan-tak-pakai-masker-akan-disita-ktp.html, 21 April 2020 pukul 21.00 wib

[45] https://jabar.idntimes.com/news/jabar/debbie-sutrisno/4502-perusahaan-di-jabar-masih-beroperasi-di-tengah-pandemik-corona/full, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 21.30 wib

[46] https://health.grid.id/read/352129719/tetap-kerja-setelah-positif-covid-19-pegawai-minimarket-di-bandung-kena-batunya?page=all, 21 April 2020 pukul 22.00 wib

[47] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52185123, diakses pada tanggal 21 April 2020 pukul 22.30 wib