Terhadap pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku  berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan  Kompilasi Hukum Islam (“Inpres 1/1991”).

Sebelum membahas kepada pokok permasalahan perceraian, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa suami memiliki kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 80 KHI sebagai berikut:

  1. Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
  2. Suami wajib melidungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
  4. sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
    1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
    2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;
    3. biaya pendididkan bagi anak.
  5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
  6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
  7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Kembali kepada pokok permasalahan, perceraian menurut hukum Islam, dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI, yaitu:Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Selain karena talak, perceraian dapat terjadi juga berdasarkan gugatan perceraian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

Perceraian di Pasal 116 KHI dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. Suami melanggar taklik talak;
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Memang tidak disebutkan secara eksplisit alasan perceraian menurut KHI atas dasar pasangan bermain game online sehingga lupa waktu, bahkan sampai tidak menafkahi. Namun, perlu dilihat dampak dari perilaku yang dilakukan suami Anda. Jika akibat dari perilaku suami Anda mengakibatkan terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga, maka hal tersebut sesuai dengan Pasal 116 huruf f KHI.

Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf f KHI, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut.

Perlu dipahami bahwa dalam Pasal 115 KHI disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 143 KHI mengamanatkan agar dalam pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Namun jika tidak dicapai perdamaian, maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Nantinya berdasarkan Pasal Pasal 146 ayat (1) KHI, putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Dalam perkara gugatan cerai, kami mengambil contoh dalam perkara yang saya tangani  di Pengadilan Agama Muara Bungo . Penggugat dan Tergugat dalam kasus ini adalah suami istri yang telah menikah secara sah. Dalam rumah tangga pasangan tersebut, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran serta telah terbukti pula bahwa penyebabnya adalah karena sejak menikah, sang suami tidak mampu melayani nafsu sexualitas istri sehingga terjadi perselisihan terus menerus.