By : Indra Setiawan, S.H
Apa yang dimaksud dengan leasing ?
Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease, yang berarti sewa
menyewa, karena pada dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut sebagai lease saja, dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan.
Dalam surat keputusan bersama tersebut, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan leasing adalah : Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barangbarang modal untuk digunakan oleh Suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Sedangkan Kieso and Weygandt mendefinisikan leasing sebagai berikut : ”Lease adalah perjanjian kontraktual antara lessor dan lessee yang memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan properti tertentu, yang dimiliki oleh lessor, selama periode waktu tertentu dengan membayar sejumlah uang (sewa) yang sudah ditentukan, yang umumnya dilakukan secara periodik.”
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan leasing adalah suatu perjanjian antara dua belah pihak yang biasa disebut dengan lessee (penyewa barang modal) dan lessor (pemilik barang modal) dimana perjanjian tersebut mempunyai jangka waktu atau durasi yang bervariasi dan juga pembayaran sewa yang dilakukan secara bertahap. Pada umumnya jumlah sewa ditetapkan sedemikian rupa sehingga lessor dapat menutup biaya aktiva yang dileasing ditambah pengembalian yang wajar selama masa lease
Apa yang dimaksud dengan konsumen ?
Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan konsumen adalah Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Apakah Yang Dimaksud Dengan Fidusia ?
Menurut UU RI No. 42 tahun 1999 (42/1999) Tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor (leasing) kepada debitor (konsumen) yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor, maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Selanjutnya kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia, maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia, menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat dihadapan notaris,sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja.
Apa saja syarat-syarat perjanjian kredit?
Untuk membuat suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian tersebut diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu :
- Sepakat mereka yang mengingatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu hal tertentu
- Suatu sebab yang halal
Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan perjanjian merupakan “undang-undang” bagi setiap pihak yang mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut atau istilah latinnya facta sun servanda sebagaimana diatur dalam 1338 KUHPerdata. Perlu diketahui juga bahwa perjanjian bersifat memaksa. Kata “memaksa” di sini berarti setiap orang yang mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian wajib menjalankan seluruh isi perjanjian.
Asas pacta
sun servanda sering disebut dengan asas mengikatnya suatu perjanjian. Asas
ini merupakan wujud dari kepastian hukum bagi para pihak yang
membuat perjanjian. Asas pacta sun servanda mempunyai arti bahwa para
pihak
terikat oleh kesepakatan pada perjanjian yang dibuat, seperti undang-undang.
Hal ini seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi ”Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya”. Berdasarkan pasal tersebut diketahui bahwa para pihak
yang telah membuat perjanjian yang sah berarti pula telah membuat undang-undang
bagi para pihak itu sendiri.
Hal ini mengakibatkan para pihak terikat pada perjanjian dan pihak ketiga termasuk hakim tidak boleh mencampuri isi perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum dan juga telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, oleh karena sifatnya yang demikian, maka asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Namun demikian asas kepastian hukum ini dapat dipertahankan apabila dalam perjanjian telah dipenuhi dua syarat, yaitu:
- Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang.
- Para pihak dalam perjanjian
cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Sebagai akibatnya sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata para
pihak tidak dapat melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian yang telah dibuatnya, tanpa kesepakatan kedua belah pihak dan menghendaki apa yang diperjanjikan tersebut harus dipenuhi.
Bagaimana prosedur hukum yang benar membuat perjanjian kredit dengan pembebanan fidusia?
- 1320 KUHPerdata
Untuk membuat suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian tersebut diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu :
- Sepakat mereka yang mengingatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu hal tertentu
- Suatu sebab yang halal
- Akta Notaris
Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) huruf b UU No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia mensyaratkan bahwa pendaftaran jaminan fidusia berisi tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia. Maka dalam membuat perjanjian kredit yang disertai dengan pembebanan jaminan fidusia harus terlebih dahulu perjanjian kredit tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik dihadapan notaris. Namun dalam praktiknya, demi efisiensi waktu proses permohonan kredit yang diajukan oleh debitur, calon debitur memberikan kuasa kepada kreditur dengan format yang dibuat oleh kreditur untuk merubah perjanjian kredit dibawah tangan menjadi akta otentik dihadapan notaris.
Mengenai kekuatan sebuah akta otentik, menurut Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H., dalam buku “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek”, akta otentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yakni:
- kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudahmenerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut;
- kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
- Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Peranan akta otentik dalam pemberian kredit sangat penting, karena mempunyai daya pembuktian kepada pihak ketiga, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam akta di bawah tangan dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu.
Terkait tentang kewajiban kreditur mendaftarkan barang jaminan kendaraan bermotor dikantor fidusia juga tertuang dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No.130/PMK.010/2012. Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:
- Pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah;
- dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
Dengan keluarnya peraturan ini, maka seluruh perusahaan pembiayaan harus mendaftarkan fidusia untuk setiap transaksi pembiayaannya. Oleh sebab itu pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012, menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
Jika Perusahaan Pembiayaan belum memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia (sebagai hasil dari pendaftaran jaminan fidusia tersebut), maka menurut Pasal 3 PMK No. 130/PMK.010/2012, Perusahaan Pembiayaan tersebut dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut dan bila perusahaan multifinance tersebut melanggar kewajibannya, maka menurut Pasal 4 PMK No. 130/PMK.010/2012 perusahaan multifinance yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa:
- peringatan;
- pembekuan kegiatan usaha; atau
- pencabutan izin usaha.
- Larangan menggunakan klausula baku
Bahwa berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf d menyatakan bahwa :
- Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: huruf (d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
- Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
- Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
- Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
Maka Perjanjian Pembiayaan Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia yang menggunakan form standar dimana didalamnya berisi syarat dan ketentuan yang menggunakan klausula baku bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen sehingga dapat menyebabbkan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Bahwa merupakan persoalan hukum bagi masyarakat selaku pengguna jasa pembiayaan apabila didapati bidang-bidang usaha yang bergerak disektor jasa pembiyaan tersebut secara massive menerapkan bentuk-bentuk efisiensi dan efektifitas terhadap waktu dan tranksaksi atau dengan kata lain hal tersebut merupakan kebutuhan mendesak dalam praktik –praktik usaha yang demikian. Namun pada kenyataannya bentuk-bentuk efisiensi dan efektifitas yang diterapkan oleh Lembaga Pembiayaan Non Bank/ Finance berupa form perjanjian pembiayaan dengan penyerahan hak milik secara fidusia yang menggunakan klausula baku secara yuridis formal bertentangan Pasal 18 ayat (1) jo Pasal 62 ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
- Mendaftarkan objek fidusia di Kantor Fidusia Kemenkum dan Ham
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Objek fidusia yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham sesuai wilayah domisili pemberi fidusia. Jaminan fidusia wajib didaftarkan (Pasal 11 UU Fidusia). Dengan didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, maka Kantor Pendaftaran Fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada penerima jaminan fidusia (Pasal 14 ayat [1] UU Fidusia). Jaminan fidusia ini lahir setelah dilakukan pendaftaran (Pasal 14 ayat [3] UU Fidusia).
Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu No. 130/2012”), bahwa perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
Lebih lanjut, dalam Pasal 3 Permenkeu No. 130/2012 dikatakan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan. Jika perusahaan pembiayaan tersebut tidak mendaftarkan perjanjian jaminan fidusia, maka perusahaan pembiayaan tersebut tidak dilindungi hak-haknya oleh UU Fidusia. Ini berarti perusahaan pembiayaan tersebut tidak memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur-kreditur lain untuk mendapatkan pelunasan utang debitur dari benda yang dijadikan jaminan fidusia tersebut (Pasal 27 UU Fidusia).
Jadi, perjanjian jaminan fidusia tersebut belum lahir karena tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Akan tetapi, perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian accessoir, ini juga berarti bahwa perjanjian pokoknya sendiri (perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor) tidak bergantung pada lahir atau hapusnya perjanjian jaminan fidusia. Walaupun perjanjian fidusia tersebut tidak lahir, tetapi perjanjian pokoknya tetap ada. Dengan adanya perjanjian pokok tersebut, perusahaan pembiayaan tetap dapat meminta pelunasan angsuran.
Bagaimana penyelesaian perjanjian kredit yang bermasalah ?
Dalam upaya penyelamatan kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu :
- Penjadwalan kembali, yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktunya
- Persyaratan kembali, yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit.
- Penataan kembali, yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana ldari lembaga pembiayaan, konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi kredit baru, dan atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi pernyataan dalam perusahaan, yang disertai dengan pernjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali
Penyelesaian Perjanjian Kredit Bermasalah Melalui Lembaga Hukum dapat ditempuh melalui beberapa lembaga sebagai berikut :
- Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)
- Melalui Badan Peradilan
- Melalui Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Upaya hukum
terakhir yang ditempuh pihak leasing dalam menghadapi
kredit yang macet adalah dengan melakukan penarikan kendaraan. Setelah
kendaraan ditarik, pihak konsumen diminta membayar sisa angsuran dan biaya
penarikan kendaraan. Jika lessee tidak mau menyelesaikan biaya leasing-nya
maka dilakukan eksekusi terhadap kendaraan yang telah ditarik tersebut.
Semuanya
akan berjalan lancar jika pihak konsumen bersifat kooperatif. Tetapi
jika konsumen tidak kooperatif, maka eksekusi tidak mudah dilakukan, karena
penyelesaiannya harus lewat pengadilan, dan dengan memakai prosedur biasa yang
sangat tidak efisien dari segi waktu dan biaya dengan keputusannya yang tidak
predictable.
Mengingat
adanya kesulitan dalam hal eksekusi objek fidusia, khususnya
jika pihak konsumen tidak kooperatif, maka banyak perusahaan leasing mencoba
menggunakan unsur kepolisian, hal ini dibenarkan dengan adanya Perkapolri No 10
Tahun 2011. Alternatif lain yang sering juga diambil dalam praktek yaitu dengan
menyerahkan kasus pada juru-juru tagih (debt collector), amatir maupun
profesional.
Hanya saja, jika para juru tagih ini menggunakan cara-cara intimidasi atau
kekerasan, yang biasanya dilakukan oleh juru tagih “tukang pukul”,
terlebih lagi debt colletor yang ditugaskna oleh pihak leasing tidak dilengkapi
dokumen-dokumen pendukung seperti surat kuasa penarikan dan lain-lain,
maka tindakan-tindakan penarikan dapat dikualifikasi tindakan pidana
perampasan.
Apakah perjanjian kredit bisa dialihkan ke pihak ke tiga?
Aspek Perdata
Berdasarkan ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata telah ditegaskan bahwa salah satu peristiwa yang menyebabkan perikatan-perikatan hapus adalah karena terjadinya Pembaharuan Utang. Bahwa berdasarkan Pasal 1413 KUH Perdata ditegaskan mengenai pelaksanaan Pembaharuan Utang (Novasi), yaitu :
” Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang :
- apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya;
- apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
- apabila, sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. ”
Dalam KUHPerdata, secara umum dikenal 2 macam cara untuk melakukan pengalihan suatu hutang dari debitur lama kepada debitur baru, yaitu sbb :
- Perpindahan melalui cara Delegasi (pemindahan)
Secara umum adalah pemindahan hutang dari debitur lama kepada debitur baru yang ditegaskan dalam suatu akta delegasi, namun pihak debitur lama masih terikat untuk menjamin pelunasan utang yang dialihkan kepada debitur baru tersebut. Sedangkan dari pihak kreditur tidak secara tegas menyatakan membebaskan pihak debitur lama dari kewajiban pembayaran hutang yang dialihkan tersebut.
Pasal 1417 KUH Perdata :
”Delegasi atau pemindahan, dengan mana seorang berutang memberikan kepada orang yang mengutangkan padanya seorang berutang baru mengikatkan dirinya kepada si berpiutang, tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpiutang tidak secara tegas menyatakan bahwa ia bermaksud membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan itu, dari perikatannya. ”
- Perpindahan melalui cara Novasi Subyektif Pasif (pembaharuan utang)
Secara umum adalah pemindahan hutang dari debitur lama kepada debitur baru yang disertai dengan pernyataan pembebasan hutang yang dialihkan tersebut dari kreditur kepada debitur lama, cfm. Pasal 1413 KUH Perdata tersebut di atas.
Terhadap adanya dua macam bentuk pengalihan hutang yang diatur dalam KUH Perdata tersebut di atas, lalu bagaimana dengan perjanjian accessoirnya? mengenai perjanjian accessoir yang mengikuti perjanjian pokok atas hutang, diatur dalam Pasal 1422 KUH Perdata sebagai berikut : ”Apabila pembaharuan utang diterbitkan dengan penunjukan seorang berutang baru yang menggantikan orang berutang lama, maka hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang dari semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang si berutang baru. ”
Bahwa selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, diatur bahwa Hak Tanggungan menjadi hapus karena peristiwa-peristiwa sebagai berikut :
- hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
- dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan;
- pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
- hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Apabila bunyi Pasal 1422 KUH Perdata dan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan tersebut dikaitkan dengan 2 macam bentuk pengalihan hutang dari debitur lama kepada debitur baru, maka terhadap bentuk Delegasi secara yuridis perjanjian accessoirnya (antara lain perjanjian pengikatan jaminannya) masih tetap dipertahankan dan tetap mengikat para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini berarti perjanjian accessoirnya tetap exist karena perjanjian pokoknya tetap berlaku. Namun sebaliknya, terhadap bentuk Novasi Subyektif Pasif, maka perjanjian accessoirnya tidak dapat dipertahankan lagi, mengingat perjanjian pokoknya telah hapus dengan adanya pembebasan utang dari kreditur kepada debitur lama.
Perbuatan pengalihan utang melalui Delegasi atau Pemindahan tersebut harus didudukkan dalam suatu Akta Delegasi tersendiri dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Perjanjian Kredit awalnya beserta perubahan-perubahannya. Dengan hapusnya Perikatan Pokok awal (Perjanjian Kredit awal), maka terhadap seluruh Perjanjian Tambahan / Perjanjian ikutan / accessoirnya menyebabkan menjadi hapus / berakhir pula, dimana hal tersebut sesuai dengan Pasal 1422 KUH Perdata
Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa dalam aspek hukum perdata, peralihan perjanjian kredit termasuk pengikatan jaminan fidussia antara debitur dan kreditur sepanjang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, dapat dilakukan sesuai dengan ketetentuan KUHPerdata.
Aspek Pidana
Dalam konsepsi hukum pidana, apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan dan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari kreditur dapat dikualifikasi melanggar Pasal 372 KUHPidana yang menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Bagaimana jika objek fidusia hilang karena pencurian ?
Menurut undang-undang, perikatan antara konsumen dan pihak leasing telah hapus karena mobil sebagai objek fidusia telah hilang karena pencurian diluar kesalahan Anda. Berdasarkan Pasal 1381 KUH Perdata yang mengatur tentang hapusnya perikatan, mengatur bahwa: “Perikatan hapus karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dan karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”
Mengenai, musnahnya barang yang terutang menurut Pasal 1444 KUH Perdata, yaitu: “Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga.”
Terkait dengan permasalahan objek fidusia hilang karena pencurian, jika berkaca pada ketentuan hukum yang berlaku dalam KUH Perdata, maka jika terjadi kehilangan karena pencurian terhadap objek sengketa, maka debitur tidak diwajibkan untuk menyelesaikan pembayaran terhadap cicilan barang tersebut.
Namun, jika dilihat dari segi keadilan akan sangat merugikan pihak leasing karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa dari hilangnya barang tersebut, sehingga saat ini telah berkembang pemikiran untuk mengasuransikan risiko kerugian melalui perusahaan Asuransi. Perusahaan Asuransi yang nantinya akan melakukan penanggungan risiko atas kejadian-kejadian yang diperjanjikan untuk ditanggung.
Bagaimana jika debitur yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian kredit meninggal dunia?
Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.
Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata).
Kembali pada perjanjian kredit antara debitur dengan perusahaan pembiayaan. Pada intinya, pada perjanjian kredit atau utang piutang tersebut berlaku hal yang sama sebagaimana telah kami kemukakan di atas. Jadi terhadap utang, debitur maupun ahli warisnya tetap harus berusaha untuk melunasinya dan apabila tidak melunasinya atau terjadi wanprestasi maka pihak kreditur berhak mengeksekusi barang jaminan yang dibebani hak fidusia.
Bagaimana jika kolektor yang mengeksekusi objek fidusia secara paksa bisa dilaporkan pidana perampasan?
Bilamana kreditur baik dalam melakukan eksekusi terhadap barang jaminan menggunakan cara-cara kekerasan terlebih tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung seperti surat tugas, surat kuasa, sertifikat fidusia, dan lain lain. Maka tindakan yang dilakukan oleh kreditur dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana Pasal 368 KUHPidana yang menyatakan : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bagaimana jika konsumen melakukan perlawanan dengan kekarasan saat dilakukan eksekusi objek fidusia ?
Dalam melaksanakan eksekusi jaminan fidusia secara aman, tertib, lancar, dan dapat dipertanggungjawabkan; melindungi keselamatan Penerima Jaminan Fidusia, Pemberi Jaminan Fidusia, dan/ atau masyarakat dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian harta benda dan/ atau berujung pada tindakan-tindakan yang mengarah pada tindak pidana. Maka debitur dapat meminta permohonan bantuan pendampingan eksekusi sesuai Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Fidusia.
Mengenai proses pengamanan eksekusi atas jaminan fidusia ini tercantum dalam pasal 7 Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2011, dimana permohonan pengamanan eksekusi tersebut harus diajukan secara tertulis oleh penerima jaminan fidusia atau kuasa hukumnya kepada Kapolda atau Kapolres tempat eksekusi dilaksanakan. Pemohon wajib melampirkan surat kuasa dari penerima jaminan fidusia bila permohonan diajukan oleh kuasa hukum penerima jaminan fidusia. Hal ini semata-mata untuk menghindari kekerasan fisik yang merugikan kreditur maupun debitur dalam melakukan eksekusi objek fidusia. Namun apabila terjadi kontak fisik, dan telah terjadi tindak pidana kekerasan, maka baik debitur maupun kreditur dapat saja di atas dugaaan tindak pidana yang terjadi baik penganiayaan, perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, dan lain sebagaimananya.
Bagaimana jika debitur mengalihkan barang jaminan tanpa sepengetahuan kreditur ?
Perbuatan wanprestasi yang sering dilakukan oleh debitur adalah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan , yaitu dengan mengalihkan objek Jaminan Fidusia yang bukan merupakan benda persediaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari kreditur. Apabila debitur tidak memenuhi kewajiban atau melakukan wanprestasi, kreditur dapat menarik benda Jaminan Fidusia untuk dijual guna menutupi utang debitur. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang bertentangan dengan UUJF bahkan debitur mempunyai kewajiban untuk menyerahkan benda Jaminan Fidusia tersebut kepada kreditur untuk dapat dijual.
Dalam pemberian kredit oleh Finance, kreditur memperbolehkan atau mempercayakan kepada debitur untuk tetap bisa menggunakan barang jaminan untuk dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Namun selama mempergunakan barang jaminan tersebut, debitur diwajibkan untuk dapat memelihara dengan sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan salah satu asas yang dianut dalam UUJF yaitu asas itikad baik. Dalam asas ini bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik (te goeder troow, in good faith). Asas itikad baik disini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum perjanjian. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi Jaminan Fidusia wajib memelihara benda jaminan , tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain (Tan Kamello, 2003:170).
Selain itu, dalam UUJF jelas diatur bahwa debitur juga dilarang untuk mengalihkan objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kepada pihak ketiga tanpa ada persetujuan dari kreditur. Menurut UUJF dalam Pasal 23 ayat (2), bahwa pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan,atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek Jaminan Fidusa yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Apabila debitur mengalihkan objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis maka akibat hukum yang ditimbulkan yaitu berupa perbuatan wanprestasi serta sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UUJF yang menyatakan bahwa “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”
Dalam prakteknya, seringkali debitur tetap melakukan mengalihkan objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kreditur. Faktor yang menyebabkan salah satunya karena debitur membutuhkan dana untuk membayar angsuran kredit setiap bulannya. Akibat hukum yang timbul terkait dengan beralihnya objek Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit Bank tidak terlepas dari memperhatikan sifat-sifat dari Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang diatur dalam UUJF. Hak kebendan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofyan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Adapun ciri-ciri hak kebendaan dan hak perorangan adalah:
- Hak kebendaan merupakan hak mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga 2.
- Hak kebendaan itu mempunyai Zaaksgevolg atau Droit de suite (hak yang mengikuti), artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya. Sedangkan hak perseorangan tidak demikian, hak perseorangan hanya dapat melakukan (mempertahankan) hak tersebut terhadap seseorang, dengan adanya pemindahan hak atas benda tersebut maka lenyaplah, berhentilah hak perorangan tersebut.
- Sistem yang terdapat pada hak kebendaan adalah mana yang lebih dulu terjadi itu tingkatannya lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian itu sama tingkatannya, dalam hak perseorangan tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi.
- Hak kebendaan mempunyai Droit
de preference (hak terlebih dahulu),
vruchtgebruk nya dapat dilakukan terhadap siapapun, tidak dipengaruhi
Tidak demikian dengan hak perorangan, dalam hal jatuh pailit maka orang yang mempunyai hak perseorangan itu membagikan aktiva yang masih ada secara porsi masing-masing, seimbang besarnya hak perseorangannya. - Hak kebendaan gugatannya itu disebut gugatan kebendaan dan gugatan tersebut dapat dilaksanakan terhadap siapapun yang mengganggu haknya. Pada hak perorangan ini orang hanya dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lawannya (wederpartij) (Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, 1981:24).
Asas droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan Fidusia memiliki sifat droit de suite artinya Jaminan Fidusia mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun sifat ini dikecualikan untuk objek Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Sifat droit de suite dapat dicontohkan, benda objek Jaminan Fidusia berupa mobil, bus, atau truk yang oleh pemilik benda dijual kembali kepada pihak lain, maka dengan sifat droit de suite jika debitur cidera janji, kreditur sebagai penerima fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan mobil, truk atau bus meskipun oleh debitur telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain atau pihak ketiga.
Jadi penjualan objek Jaminan Fidusia oleh pemilik benda tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekuai objek Jaminan Fidusia. Pengakuan asas droit de suite bahwa hak jaminan fidusia mengikuti bendanya dalam tangan siapapun benda itu berada memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk memperoleh pelunasan hutang dari hasil penjualan objek Jaminan fidusia apabila debitur wanprestasi.
Jadi, kepastian hukum atas hak tersebut bukan saja ketika objek Jaminan Fidusia masih berada dalam kekuasan debitur tapi juga ketika objek Jaminan Fidusia tersebut telah beralih atau berada pada kekuasaan pihak ketiga. Jadi berdasarkan hak kebendaan yang melekat pada Jaminan Fidusia dan asas droit de suite dimana hak tersebut terus mengikuti bendanya ditangan siapapun benda tersebut berada, apabila debitur melakukan pengalihan objek Jaminan Fidusia kepada pihak ketiga maka akan timbul suatu akibat hukum dimana kreditur mempunyai hak atau daya paksa untuk menarik objek Jaminan fidusia tersebut dari pihak ketiga dengan melakukan eksekusi Eksekusi Jaminan Fidusia diatur dalam pasal 29-34 UUJF. Yang dimaksud dengan eksekusi Jaminan Fidusia adalah “penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dikarenakan debitur cedera janji atau tidak memenuhi prestasinya tepat waktu kepada kreditur”.
Berdasarkan pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJF yang menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengailan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk melakukan titel eksekutorial terhadap benda Jaminan Fidusia dengan menggunakan Sertifikat Jaminan Fidusia apabila debitur wanprestasi atau cidera janji dan kreditur juga mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas persetujuan pemberi fidusia atau dengan bantuan pengadilan negeri. Parate eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan tanpa melalui bantuan atau campur tangan dari pihak pengadilan sehingga prosedurnya lebih mudah dengan tujuan agar kreditur dapat memperoleh pelunasan piutangnya dengan lebih cepat. Hal ini juga berdasarkan pasal 15 ayat (3) UUJF yang menyatakan apabila debitur cidera janji kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”. Hak untuk menjual objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri merupakan perwujudan dari Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak untuk melaksanakan ketetapan tersebut.