A. Latar Belakang Masalah
Bulan Desember 2019 hingga saat ini dipenghujung tahun 2020, berbagai Negara dibelahan dunia termasuk Negara Indonesia dilanda wabah virus corona atau Corona Virus Dieases 2019 (Covid-19). Wabah ini diketahui bermula dari kota Wuhan, Tiongkok yangmenyebar keberbagai Negara secara cepat dan dalam waktu bersamaan yang menular dari manusia ke manusia yang selanjutnya pada tanggal 14 Maret 2020 oleh World Health Organization ditetapkan sebagai Pandemi Global[1].Pandemi adalah sebuah epidemic yang menyebar ke beberapa Negara atau wilayah yang lebih luas dan umumnya menular dan menyebabkan infeksi secara bersamaan. Sebagaian besar orang yang terinfeksi covid-19 akan mengalami penyakit pernafasan ringan hingga sedang dan dapat sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Hingga sampai saat ini 21 April 2020 pukul 17.17 wib, WHO mencatat terdapat61.036.793 kasus positif covid-19 dengan angka kematian mencapai 1.433.316 dari 220 Negara[2], sedangkan di Negara Indonesia sendiri terdapat 527.999 kasus positif Covid-19 dengan angka kematian 16.646 dan sembuh 441.983.[3]
Upaya pemerintah Indonesia dalam memutus mata rantai penyebaran covid-19, yaitu dengan membentuk Tim Gugus Tugas Nasional yang dipimpin oleh Ketua Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Tim Gugus Tugas Daerah dipimpin oleh Kepala Daerah. Kepala BNPB sendiri telah mengeluarkan SK Kepala BNPB nomor 9.A Tahun 2020 tanggal 28 Januari dan SK Kepala BNPB 13.A Tahun 2020 tanggal 29 Maret 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.
Mengingat penyebaran covid-19 yang terus meningkat secara signifikan, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan beberapa kebijakan yakni;
- Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 31 Maret 2020.
- Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, tanggal 13 April 2020
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Virus Corona 2019 Disease (Covid19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseas 2019 (Covid19).
Pandemi covid-19 menjadi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dengan alasan adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Sementara Undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-undang yang ada, kondisi kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk didiselesaikan oleh karenanya dengan alasan tersebut Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penangana Pandemi Corona Virus Dieases 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadpi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sejak Pandemi Covid-19 mulai mewabah hampir menyebar diseluruh wilayah Indonesia dan berdampak disemua aspek kehidupan manusia, salah satu upaya penanggulangan yang dilakukan pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-19 yaitu dengan menerapkansocial distancing maupun physical distancing dengan tujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan kemudian kebijakan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 Tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat Di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Diesease 2019 (2019) yang diterbitkan tanggal 19 Juni 2020, dalam Kepmenkes tersebut menerangkan untuk menjaga jarak aman minimal 1 meter dengan orang .
Dampak Pandemi Covid-19 tidak hanya melumpuhkan perekonomian Negara, pendidikan, dan kesehatan, melainkan juga berdampak praktik hukum terutama dalam proses peradilan pidana. Mengingat penerapan social distancing bagian dari upaya pencegahan penyebaran dan pengendalian Covid-19, pelaksanan peradilan pidana tidak dimungkinkan untuk mengadakan persidangan sesuai dengan standar Undang Undang Republik Indonesia Nomot 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena akan menimbulkan kerumunan dan berpotensi menyebabkan resiko penyebaran Covid-19 semakin tinggi. Akan tetapi disisi lain proses peradilan pidana tetap harus berjalan guna menjamin pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Tersangka/Terdakwa yang ditahan untuk segera dihadapkan dipersidangan dengan batasan waktu menurut hukum yang berlaku.
Mengingat hal ini institusi Peradilan harus menggantungkan diri pada teknologi untuk menunjang keberlangsungan pelayanan hukum kepada pencari keadilan. Pemanfaatan secara maksimal sistem e-court yang telah ada sebelumnya berdasar Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2019 hanya terbatas pada perkara perdata sedangkan untuk perkara pidana (e-litigasi)didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya tanggal 23 Maret 202 yang kemudian diikuti dengan Perjanjian Kerjasama Nomor ; 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor ; Kep-17/E/Ejp/04/2020, Nomor; PAS-08.HH.05.05 tanggal 13 April 2020 antara Institusi peradilan yakni Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconfrence.
Berkaitan dengan Persidangan Elektronik melalui Teleconfrence, sebagai dasar pijakan hukum Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Namun terhadap persidangan secara elekronik ini menimbukan polemik dikalangan praktisi hukum karena dianggap menimbulkan masalah yuridis dan dalam pelaksanaannya berpotensi bertentangan dengan hukum acara Pidana (KUHAP). Menurut Juniver Girsang[4]dalam persidangan elektronik menimbulkan permasalahan teknis yaitu diantaranya kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, terutama Penasihat Hukum yang tidak berada berdampingan dengan terdakwa; kendala teknis dari sisi infrastruktur ; belum ada regulasi pedoman hukum acara atau mekanisme hukum acara yang terpaksa berubah ; keterbatasan ketersediaan penguasaan dan sarana teknologi, dan permasalahan yuridis yaitu benturan dengan Pasal 153 KUHAP yang pada prinsipnya sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, Pasal 154 ayat (1) jo Pasal 196 KUHAP jo Pasal 11 ayat (4); Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada prinsipnya mengharuskan menghadirkan Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum untuk hadir dalam persidangan, Pasal 159 jo Pasal 160 jo Pasal 167 KUHAP yang pada prisipnya mengharuskan saksi hadir secara langsung diruang persidangan, Pasal 181 KUHAP yang pada prinsipya hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti, Pasal 227 ayat (2) KUHAP yang pada prinsipnya Petugas yang melaksanakan panggilan dan pemberitahuan harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan yang memangil, Pasal 230 KUHAP yang pada prinsipnya sidang pengadilan dilangsungkan digedung Pengadilan dalam ruang sidang, dengan atributnya masing-masing, Pasal 184 KUHAP yang tidak mengenal alat bukti melalui teleconference atau dengan kata lain alat bukti melalui teleconference tidak termasuk alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, Pasal 26 Jo Pasal 27 Jo Pasal 28 Jo Pasal 29 KUHAP yang jangka waktu penahanan dikaitkan dengan penundaan sidang dimasa Pandemi.
Senada dengan Juniver Girsang, Sugeng Teguh Santoso[5] berpendapat bahwa kendala utama persidangan virtual antara lain sinyal internet yang terputus. Ini karena pemeriksaan terhadap Terdakwa maupun Saksi dilakukan dilokasi yang berbeda. Untuk Terdakwa dilakukan pemeriksaan dari rumah tahanan (rutan) dan saksi dikantor Kejaksaan. Karena sidang elektronik terhambat sinyal sehingga ada dialog-dialog yang tidak bisa ditangkap, mis-komunikasi, tidak lengkap. Pemeriksaan saksi-saksi jadi tidak leluasa secara detail dan cermat. Saksi juga bisa jadi dipengaruhi jaksa atau dalam keadaan tidak bebas. Karena kalau pemeriksaan saksi didepan Hakim, kondisi psikologis Saksi tidak bisa bohong. Belum lagi banyak kritik terhadap persoalan penerapan dilapangan, pemeriksaan alat bukti salah satunya, dinilai sulit untuk dilakukan.
Masalah lainnya yaitu berkaitan asas lex superiori derogat legi inferiori. Meskipun saat ini telah terdapat payung hukum persidangan secara elektronik yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA 04 Tahun 2020), namun menurut hirarki peraturan perundang-undangan, PERMA 04 Tahun 2020 tersebut kedudukannya jauh berada dibawah Undang-undang yang barang tentu kontradiktif dengan asas lex superiori derogat legi inferiori yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang –Undangan.
Menurut Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin[6] mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah mempercepat proses migrasi dari system peradilan konvensional ke sistem peradilan elektronik. Penerbitan kebijakan terkait persidangan elektronik tersebut bertujuan untuk melindungi aparatur peradilan dan para pencari keadilan dari penyebaran wabah Covid-19 ketika sedang menjalankan tugas di lingkungan peradilan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Penelitian ini secara khusus akan mengkaji bagaimana kedudukan hukum tentang Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana dan apa dampak yang ditimbulkan dalam Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana?
B. Rumusan Masalah
Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat rumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;
- Bagaimana Kedudukan Hukum Tentang Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia?
- Apa dampak yang ditimbulkan dalam Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
- Untuk mengetahui dan menganalisa kedudukan Hukum Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
- Untuk menganalisis Dampak Yang Ditimbulkan Dalam Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai titik tolak dalam penelitian hukum selanjutnya yang berhubungan dengan masalah aturan tentang ganti kerugian pengadaan tanah untuk kepentingan pertambangan minyak dan gas bumi menurut perundang-undangan di Indonesia.
- Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau masukan dalam pengambilan keputusan bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi masalah ganti rugi pengadan tanah untuk kepentingan pertambangan minyak dan gas bumi.
D. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Penyelenggaraaan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, pununtuan, dan pemeriksaan pengadilan, dan pelaksanaan pidana, yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Sebelum membahas mengenai Sistem Peradilan Pidana, terlebih dahulu akan dibahas makna “sistem” dalam Sistem Peradilan Pidana tersebut. Makna sistem, menurut Satjipto Rahardjo[7] adalah sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Menurut Soebekti[8], yang dimaksud sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun melalui suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai tujuan. Sistem bergerak berdasarkan tujuan yang sudah ada terlebih dahulu agar segala tindakan berdasarkan tujuan yang sudah dibuat.
Soerjono Soekanto[9] mengatakan bahwa suatu sistem merupakan keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur, bagian, konsistensi, kelengkapan dan konsepsi atau penertian dasarnya. Menurut Lili Rasjidi, cirri suatu sistem yaitu
- Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam suatu kesatuan interaksi (proses)
- Masing-masing elemen erikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling berhubungan (interdepence of its parts)
- Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts)
- Keseluruhan itu menetukan cirri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts)
- Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole)
- Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis, secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu
Sedangkan pengertian Sistem Peradilan Pidana, memiliki makna yang sangat luas dan beragam pengertian dari perspektif yang berbeda-beda. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat, sehingga hal-hal yang berdampak berlebihan tidak akan terjadi, tujuan dari semua ini adalah untuk meminimalisir kejahatan sistematis.[10]
Menurut Remington dan Ohlin[11], bahwa yang dimaksud dengan criminal justice sistem adalah sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku social.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”. Oleh karena itu, sistem Peradilan Pidana ataua Sistem Penegakan Hukum Pidana hakikatnya juga identik dengan Sistem Kekuasaan Kehakiman dibidang Hukum Pidana.[12]
Sistem Peradilan Pidana yang merupakan terjemahan dari Criminal Justice System secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem hukum dalam penegakan hukum pidana berupaya untuk menaggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas dalam batas-batas toleransi masyarakat. Komponen-komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan dapat bekerjasama sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang dikenal dengan integrated crimnal justice sytem[13]
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interfence (interaksi, interkoneksi, dan interpedensi) dalam lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat ; ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsistem criminal justice sistem)
Sistem Peradilan Pidana sangatlah berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku disebuah negara. Hal ini dikarenakan sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu subsistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama, namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya, dan politik yang dianut. Secara sederhana sistem pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana.[14]
Sistem Peradilan Pidana yang dianut oleh KUHAP terdiri dari subsistem yang merupakan tahapan proses jalannya penyelesaian perkara, subsistem penyidikan dilaksanakan oleh kepolisian, subsistem penuntutan dilaksanakan oleh kejaksaan, subsistem pemeriksaan disidang pengadilan dilaksanakan oleh pengadilan, dan subsistem putusan pengadilan dilaksanakan oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan.
Maka demikian dapat dikatakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia adalah pengaturan penegakan hukum pidana materil kedalam hukum pidana formil yang mekanismenya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan-ketentuan lain diluar KUHAP yang secara keseluruhan menjadi satu sistem kaidah.
2. Pengertian Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19
Sejak wabah virus corona atau yang disebut juga Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) pada awal pertengahan Maret 2020. Pandemi menurut WHO adalah penyebaran penyakit baru keseluruh dunia. Namun tidak ada definisi yang dapat diterima tentang istilah pandemi secara rinci dan lengkap beberapa pakar mempertimbangkan definisi berdasarkan penyakit dan mencoba mempelajari penyakit dengan memeriksa kesamaan dan perbedaannya. Penyakit dipilih secara empiris untuk mencerminkan spectrum etiologi, mekanisme penyebaran, dan era kegawatdaruratannya, beberapa penyakit yang pernah menjadi pandemi antara lain; acute hemorrgagic conjuntvitis (AHC), AIDS, Kolera, Demam Berdarah, Influenza, dan SARS[15]. Pendemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah wabah yang berjangkit serempat dimana-mana, meliputi daerah geografi yang luas.[16]
Pandemi Covid-19 mulai mewabah hampir menyebar diseluruh wilayah Indonesia dan berdampak disemua aspek kehidupan manusia, termasuk dampak terhadap dunia peradilan yang harus dihadapi Mahkamah Agung dalam mengeluarkan kebijakan terkait dengan penyesuaian pola kerja dan pelayanan pada lembaga peradilan.
Pembatasan interaksi social menyebabkan sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk bagi Hakim dan Apratur Peradilan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia harus bekerja atau melaksanakan tugas kedinasan dari rumah (Work frm Home/WFH) secara bergantian. Dengan kondisi seperti ini Mahkamah Agung harus mengeluarkan kebijakan terkait dengan penyesuaian pola persidangan dipengadilan, terutama untuk perkara pidana yang sebelumnya persidangan digelar secara konvensional atau tatap muka harus dilakukan secara online dengan menggunakan sarana elektronik. Kebijakan Mahkamah Agung ini dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Dieseas 2019 (Covid-19) di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan yang Berada Di Bawahnya tanggal 23 Maret 2020. Surat ini mengevaluasi sekaligus mencabut Surat Edaran Sekertaris Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2020 tanggal 17 Maret 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan di Bawahnya.
SEMA RI Nomor 01 Tahun 2020 mengatur tentang kegiatan melaksanakan tugas kedinasan termasuk administrasi persidangan yang memanfaatkan aplikasi e-Court, dan pelaksanaan persidangan dengan menggunakan aplikasi e-Litigationselama Pandemi Covid-19.Namun tidak semua persidangan dapat dilaksanakan dengan menggunakan aplikasi e-litigation. Persidangan perkara pidana di Pengadilan Negeri, pidana militer di Pengadilan Militer, dan Jinayat di Pengadilan Agama tetap dilaksanakan secara khusus apabila dalam perkara tersebut Terdakwa sedang ditahan, sebab masa penahanannya tidak dimungkinkan untuk diperpanjang lagi selama masa Pandemi. Khusus mengenai perkara-perkara yang dibatasi jangka waktu pemeriksaannya oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Hakim diberi kewenangan oleh SEMA RI Nomor 01 Tahun 2020 untuk dapat menunda sidang pemeriksaannya meskipun telah melampaui tenggang waktu pemeriksaan yang diatur oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.[17]
Berdasarkan SE MA RI Nomor 01 Tahun 2020, Aplikasi e-Litigation hanya ditujukan pada persidangan perkara Perdata di Pengadilan Negeri, Perdata Agama di Pengadilan Agama dan Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan dalam perkara-perkara tersebut tidak melibatkan terdakwa yang sedang ditahan. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak menerapakan e-Litigation pada perkara-perkara pidana, karena melibatkan terdakwa yang sedang dalam masa penahanan. Perkara pidana tetap digelar secara konvensional dengan menghadirkan para pihak diruang persidangan sesuai dengan prosedur protocol kesehatan pencegahan Covid-19.[18]
Persidangan secara elektronik menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA No.01 Tahun 2019), Pasal 1 angka 7 adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh Pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Selanjutnya pada tanggal 25 September 2020, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA No.04 Tahun 2020). Dalam PERMA No 04 Tahun 2020 Pasal 1 angka 12 menyebutkan persidangan secara elektonik adalah serangkaian proses memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Terdakwa oleh Pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, audio visual dan sarana elektronik lainnya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA No.04 Tahun 2020), merupakan manifestasi dari Nota Kesepahaman antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference tanggal pada 13 April 2020.
Menurut PERMA No.04 Tahun 2020 ini, persidangan perkara pidana dapat dilaksanakan secara online baik sejak awal persidangan maupun saat sidang sudah berjalan atas permintaan penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum dan ditetapkan hakim/majelis hakim[19]. Maka demikian Perma ini sejatinya tidak dimaksudkan persidangan harus dilaksanakan secara online, tetapi sebatas memberi landasan hukum dan pedoman kapan persidangan dapat dilaksanakan secara online, dan bagaimana tata caranya.
PERMA No.04 Tahun 2020 ini mengatur, Hakim/Majelis Hakim, Panitera Pengganti, Penuntut, bersidang di ruang sidang Pengadilan. Sementara Terdakwa mengikuti sidang dari Rutan tempat terdakwa ditahan dengan didampingi/tanpa didampingi Penasihat Hukum. Atau Hakim/Majelis Hakim, Panitera Pengganti bersidang di ruang sidang Pengadilan, sedangkan Penuntut Umum mengikuti sidang dari kantor Penuntut Umum, Terdakwa dengan didampingi/tanpa didampingi Penasihat Hukumnya mengikuti sidang dari Rutan tempat Terdakwa.
Penyelenggaraan sidang perkara pidana secara online atau teleconference ditengah pandemi global Covid-19 seperti sekarang ini merupakan bentuk terobosan yang paling tepat dan harus disempurnakan oleh Mahkamah Agung, sebab lambatnya pembaharuan hukum di Indonesia (Expired Law) akan melanggar pemenuhan hak hukum setiap individu yang sedang berhadapan dengan hukum. Selain itu, mekanisme persidangan secara online juga perlu diatur secara lebih terperinci dan permanen dengan paying hukum lebih tinggi, agar proses persidangan tersebut benar-benar ideal dan tidak sampai merugikan hak terdakwa dalam mengajukan pembelaannya dalam mengajukan pembelaannya.[20]
E. Landasan Teori
- Asas Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Mengendalilkan diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat[21]. Pada asasnya, tujuan sistem peradilan pidana berorientasi kepada aspek-aspek ;
- Mencegah masyarakat menjadi objek/korban kejahatan
- Dapat menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana,dan.
- Sebagai terapi prevensi agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya.[22]
Tujuan utama Sistem Peradilan Pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak, dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian dan mencakup semua batas-batas konstitusional yang berakhir pada proses pemeriksaan di Pengadilan
Sistem Peradilan Pidana (SPP) memiliki dasar (Ground Norm maupun Ground Program), tujuan utamanya yaitu untuk menciptakan tatanan yang kondusif dan berjalan sesuai koridor secara konsisten. Adapaun asas-asas yang menjadi landasan dalam mekanisme atau bekerjanya Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai berikut[23] :
- Asas Legalitas (Legality Principle)
Yaitu asas yang mendasari beroperasinya sistem peradilan pidana dan sebagai jaminan bahwa sistem peradilan pidana tidak akan bekerja tanpa landasan hukum tertulis. Asas ini berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat diafsirkan sebagai kepentingan tata tertib hukum. Dengan asas ini sistem peradilan pidana hanya dapat menyentuh dan mengelindingkan suatu perkara jika terdapat aturan-aturan hukum yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilanggar.
- Asas Kelayakan atau Kegunaan (Expediency Principle)
Yaitu asas yang menghendakibahwa dalam beroperasi sistem peradilan pidana menyeimbangkan antar hasil yang diharapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Bekerjanya sistem peradilan pidana dimulai dengan memperhitungkan bahwa apakah yang dilakukan itu sebuah aktifitas yang layak dan berguna untuk dilakukan sehingga terkesan lebih memberikan kemanfaatan ketimbang kerugian.
- Asas prioritas (Priority Principle)
Yaitu asas yang menghendaki sistem peradilan pidana mempertimbangkan aktivitas-aktivitas yang perlu didahulukan, misalnya menyelesaikan perkara-perkara yang dinilai membahayakan masyarakat atau menjadi kebutuhan yang mendesak. Asas ini didasarkan pada semakin beratnya sistem peradilan pidana, sementara kondisi kejahatan cenderung semakin meninggi. Prioritas disini tidak hanya berkaitan dengan berbagai kategori tindak pidana, tetapi bisa juga berbagai tindak pidana dalam kategori yang sama dan juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan kepada pelaku.
- Asas Proporsionalitas (Proporsionalitas Principle)
Yaitu asas yang menghendaki agr sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum pidana hendaknya mendasarkan pada proporsinal antara kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, dan kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban. Dengan asas ini maka sistem peradilan pidana bukan sekedar menjalankan dan melaksanakan hukum melainkan seberapa jauh penerapan hukum cukup beralasan dan memenuhi sasaran-sasaran yang diinginkan.
- Asas Subsidair (Subsidairity Principle)
Yaitu asas yang menerangkan bahwa penerapan hukum pidana yang utama dalam menangulangi kejahatan tapi sanksi hanya merupakan alternative kedua. Dengan asas ini berarti Sistem Peradilan Pidana dapat berbuat menerapkan hukum pidana jika hal itu sudah tidak ada pilihan lain, namun jika ada saran lainnyayang dapat digunakan menanggulangi kejahatan maka sarana hukum pidana sedapat mungkin dihindari.
- Asas Kesaman di Depan Hukum (Equality Before The Law)
Yaitu asas yang menerpakan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dimuka hukum, tidak ada pilih kasih semuanya mendapat perlakuan danhak yang sama. Dengan asas ini sitem peradilan pidana selalu mengedepankan kesamaan sehingga siapapun dan bagaimanapun kondisi setiap subjek hukum yang menghendaki pelayanan dalam menyelesaikan permasalahan hukum harus dipadang sama dengan perlakuan yang sama
- Asas-Asas Hukum Peradilan Pidana
Hukum Pidana/Hukum Acara Pidana di Indonesia secara normatif berdasarkan Undang-UndangNomor 08 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam proses peradilan di Indonesia, termasuk standar operasional prosedur dalam proses persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyebutkan “Undag-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”. KUHAP dibentuk dengan tujuan ; 1) Perlindungan aas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa), 2) Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan, 3) Kodefikasi dan Unifikasi hukm acara pidana, 4) Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.[24]
Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut maka dalam proses peradilan pidana di Indonesia dalam pelaksanaanya harus berdasarkan pada asas.Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etika kelompok manusia, dan sebagian yang berasal dari pemikiran dibalik peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi.Adapun asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana yaitu;
- Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas Peradilan Cepat Sederhana, dan Biaya Ringan adalah suatu asas dimana proses perailan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan sederhana sehingga biaya apapun menjadi ringan, tidak menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan para pihak yang berperkara.
Pencantuman peradilan cepat didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-undang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Begitu pula dalam peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang dikedepankan dalam undang-undang tersebut.
Dalam Penjelasan umum butir 3 huruf e KUHAP menjelaskan bahwa “peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat pengadilan”
Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak Pasal dalam KUHAP, antara lain sebagai berikut[25] :
- Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), dan Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam Pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum, dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.
- Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaaan
- Pasal 102 ayat (1) menyatakan penyidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan
- Pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a
- Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik yang semuanya disertai dengan kata segera. Begitu pula Pasal 138
- Pasal 140 ayat (1) menyatakan bahwa : dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan
Menurut Yahya Harahap[26], asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut ;
- Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa
- Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan
- Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata memberikan makna menyerderhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik tumpang tindih atau overlapping dan saling bertentangan.
- Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of Innocence )
Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of Innocence) adalah asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini disebut dalam Pasal 8 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga penjelasan Umum butir 3 huruf c, yang merumuskan ; “Setiap orang yang disanka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
- Asas Oportunitas
Asas oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada Kejaksaan. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 6 huruf a dan b, Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP
A.Z Abidin Farid[27] memberikan perumusan tentang asas oportunitas dengan rumusan sebagai berikut ; “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum”
- Asas Terbuka Untuk Umum
Proses pemeriksaan suatu perkara dalam persidangan pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka. Hal ini tertuang didalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Persidangan terbuka untuk umum dimaksudkan agar proses persidangan dapat diikuti oleh publik sehingga hakim dalam memutus perkara akan objektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang dikemukakan dipersidangan[28]
Hakikatnya persidangan adalah terbuka untuk umum, keculai dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP menyatakan sebagai berikut “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang, membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”
Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP). Namun ada pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalan ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Andi Hamzah[29], berpendapat mengenai hal ini bahwa ;“seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sdang dinyatakan seluruhnya atau sebagainya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan dibelakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diberikan kepada Hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus pemerkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”
- Asas Persamaan Dihadapan Hukum (Equality Before The Law)
Dalam Amandemen Undang-undang Dasar, teori equality before the law tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya. Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan semua warganegara dalam hukum dan pemerintahan.
Konsep equality before the law menjadi dasar perlindungan bagiwarga Negara agar diperlakukan sama dihdapan hukum dan pemerintahan, hal ini dimaksudkan agar semua orang diperlakukan sama didepan hukum.
Asas Equality before the law adalah asas terpenting dalam hukum dan merupakan sendi doktrin Rule of law yang juga menyebar pada Negara berkembang seperti Indonesia. Asas ini merupakan manifestasi dari Negara Hukum (rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang didepan hukum[30]
Asas Equality before the law merupakan asas dimana terdapat suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian. Dalam hukum acara pidana, Asas ini dapat dilihat di Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan umum butir 3 huruf a Pasal 5 yat 1 KUHAP merumuskan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”
- Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh Hakim karena jabaannya dan bersifat tetap. Haki-hakim tersebut diangkat oleh Kepala Negara secara tetap. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Asas Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum (Legal Assistance)
Pasal 54 KUHAP menyatakan “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkatan pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam udang-undang ini”
- Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatior dan Inquisitor)
Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan terdakwa sebagai subjek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai objek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa dipandang sebagai objek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan pengakuan tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun penganiayaan.
Asas akusatoir ini telah diakomodasi dalam Pasal 54 KUHAP yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukumnya. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa “ Guna kepentingan pembelaan, tersangka/terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini” Kebebasan hak ini mencerminkan KUHAP menganut asas akusatoir
- Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Asas ini mengandung makna bahwa dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh Hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi. Ini beda dengan acara perdata dimana Penggugat ataupun Tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi secara lisan antara Hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2), 154, 155 KUHAP
F. Metode Penelitian
Metode, menurut Peter R. Senn adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemahaman tentang metode penelitian sebagai suatu aktivitas yang mengandung unsur tertentu dengan disusun secara sistematis, terarah dan teratur dalam penyusunan penelitian.[31]
1. Tipe penelitian
Tipe penelitian iniadalah yuridis normatif, yang artinya adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Metode Pendekatan
Penelitian dengan yuridis normatif pada hakikatnya menunjukan pada suatu ketentuan, pendekatan penelitian dilakukan agar peniliti mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk menemukan isu hukum yang akan dicari jawabannya. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu ;
- Pendekatan perundang-undangan (normative approach)
Pendekatan perundang-undangan atau pendekatan yuridis yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum[32]. Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan untuk menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti. Pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah kosistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan undang-undang lain.
- Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, pendekatan konseptual ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.[33]
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ilmu hukum normatif adalah pengkajian terhadap bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
- Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Pada penulisan penelitian ini peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu ;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 209 Tentang Kekuasaan Kehakiman
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik
- Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 31 Maret 2020.
- Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, tanggal 13 April 2020
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Virus Corona 2019 Disease (Covid19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan,
- Bahan hukum sekunder adalah yaitu terdiri dari buku-buku, perundang-undangan, yang berlaku dan berkaitan jurnal hukum, internet, artikel dan lain-lain yang dapat digunakan sebagai literatur ilmiah yang berkenaan dengan penulisan proposal ini.
- Bahan Hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus hukum bahasa Indonesia.
4. Analisa Bahan Hukum
Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
- Inventarisir berupa pengumpulan bahan-bahan hukum, norma hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
- Sistematisasi merupakan upaya mencari hubungan suatu norma hukum aturan perundang-undangan.
G. Sistematika Penulisan
Bab I Berisi tentang Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan dasar bagi bab-bab selanjutnya.
Bab II Berisi tentang Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan umum tentang persidangan secara elektronik dan sistem peradilan pidana
Bab III Berisi tentang pembahasan Kedudukan Hukum Persidangan Secara Elektronik Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
Bab IV Berisi tentang pembahasan Dampak Persidangan Secara Elektronik Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia
Bab V Bab Penutup. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dari uraian–uraian yang tertuang dalam bab pembahasan dan juga berisikan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam penulisan tesis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
A.Z. Abidin Farid. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia. Ujung Pandang : UNHAS.
Bagir Manan. 2004. Teori dan Politik Konstitusi. Cetakan Kedua. Yogyakrta : FH UII Press
Bahder Johan Nasution, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung :Mandar Maju.
Barda Nawawi Arief dan Muladi. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumi.
Lilik Mulyadi 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi. Jakarta : Djambatan.
—————–. 2007. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Citra Aditya Bakti.
- Yahya Harahap. 2001. Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid 1). Jakarta : Pustaka Kartini.
Mardjono Reksodiputro. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan. Buku Ketiga. Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana.
Rusli Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta : UII Press.
Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Jakarta : Bina Cipta.
Sudikno Mertokusumo. 2010. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Universitas Atmajaya.
Tolip Effendi. 2013. Sistem Peradilan Pidana ; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Jurnal/Makalah
Agus Raharjo. Januari 2008. Problematika Asas Retroaktif Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum Volume 8 Nomor 1.
Anggita Doramia Lumbanraja. Juli 2020. Perkembangan Regulasi dan Pelaksanaan Persidangan Online di Indonesia dan Amerika Serikat Selama Pandemi Covid-19. Jurnal Crepido Volume 02 Nomor 01.
Hafrida, Perekaman Proses Persidangan Pada Pengadilan Negeri Ditinjau Dari Aspek Hukum Acara Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 19
Juniver Girsang. 2020. “Sistem Peradilan Pidana di Masa Kahar”. Makalah Webinar, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi, Webinar, 13 Juli.
Nurfaqih Irfani. September 2020. Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior ; Pemaknaan, Problematika, dan Penggunaan Dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum, Jurnal Legislagi Indonesia, Volume 16, Nomor 3.
Rina Tri Handayani,dkk. Juli 2020. Pandemi Covid-19, Repon Imun Tubuh, Dan Herd Immunity, Jurnal Ilmiah Stikes Kendal, Volume 10 Nomor 03.
Sahuri Lasmadi, 2010, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 3
Wahyu Iswanto. Juni 2020. Persidangan Pidana Secara Online, Respon Cepat MA Hadapi Pandemi Covid-19, Jurnal Selisik Volume 6 Nomor 1.
Surat Kabar/Internet
www.kompas.tv/ article/ 70893/ who-tetapkan- wabah-virus- corona-sebagai- pandemi-global diakses pada tanggal 28 November 2020 pada pukul 17.00 wib
www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 28 November 2020 pada pukul 17.00 wib
www.covid19.go.id diakses pada tanggal 28 November 2020 pukul 17.24 wib
www.bbc.com/indonesia/indonesia-53837738diakses pada tanggal tanggal 29 November 2020 pada pukul 17.00 wib
www.merdeka.com/peristiwa/ketua-ma-pandemi-covid-19- percepat-migrasi-peradilan- konvensional-ke- elektronik .html diakses pada tanggal 30 November 2020 pada pukul 19.00 wib
Eddy O.S Hiariej. Pengantar Hukum Acara Pidana, dalam situs http://repository.ut.ac.id/4124/1/HKUM4406-M1.pdf diakses pada tanggal 18 Januari 2020 pukul 2016 wib
www.kbbi.web.id/pandemi, diakses pada hari minggu tanggal 17 Januari 2021 pukul 21.51 wib
Peraturan Undang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 209 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik
Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19
Rujukan :
[1]https://www.kompas.tv/article/70893/who-tetapkan-wabah-virus-corona-sebagai-pandemi-global diakses pada tanggal 28 November 2020 pada pukul 17.00
[2] httpshttps://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019 diakses pada tanggal 28 November 2020 pada pukul 17.00
[3] www.covid19.go.id diakses pada tanggal 28 November 2020 pukul 17.24 wib
[4]Juniver Girsang. 2020.“Sistem Peradilan Pidana di Masa Kahar”. Makalah,Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi, Webinar, 13 Juli.
[5]https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53837738diakses pada tanggal tanggal 29 November 2020 pada pukul 17.00 wib
[6]https://www.merdeka.com/peristiwa/ketua-ma-pandemi-covid-19- percepat-migrasi-peradilan- konvensional-ke- elektronik .html diakses pada tanggal 30 November 2020 pada pukul 19.00 wib
[7]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm., 48
[8] Sebagaimana dikutip kembali oleh Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, UII Press, Yogyakarta, 2011, Hlm, 13
[9] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hlm., 2
[10] Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan. Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007,hlm., 84
[11]Tolip Effendi, Sistem Peradilan Pidana ; Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara,Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, hlm.,12
[12] Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,Alumi, Bandung, 1984, hlm.,34-35
[13]Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 3, 2010, Hlm. 34
[14]Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Acara Pidana, dalamsitushttp: //repository.ut.ac.id/4124/1/HKUM4406-M1.pdf diakses pada tanggal 18 Januari 2020 pukul 2016 wib
[15]D.M., Folkers Morens, G.K. and Fauci, A.S (2009) “What is a Pandemic” The Jurnal of Infectious Disease, 200(7), pp.1018-1021.doi;10.1086/644537, dalam Rina Tri Handayani, dkk, “Pandemi Covid-19, Repon Imun Tubuh, Dan Herd Immunity,”, Jurnal Ilmiah Stikes Kendal, Volume 10, Nomor 03, Juli 2020, hlm, 374
[16] https://kbbi.web.id/pandemi, diakses pada hari minggu tanggal 17 Januari 2021 pukul 21.51 wib
[17] Anggita Doramia Lumbanraja, “Perkembangan Regulasi dan Pelaksanaan Persidangan Online di Indonesia dan Amerika Serikat Selama Pandemi Covid-19”, Jurnal Crepido, Volume 02, Nomor 01, Juli 2020, hlm, 50
[18]Ibid
[19]Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Di Pengadilan Secara Elektronik
[20]Wahyu Iswanto, Persidangan Pidana Secara Online, Respn Cepat MA Hadapi Pandemi Covid-19, Jurnal Selisik, Volume 6, Nomor 1, Juni 2020, hlm 60
[21]Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi & Victimologi, Djambatan, 2003, hlm.,1
[22]Ibid, hlm., 8
[23]Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana,Op.Cit, Hlm 10-13
[24]Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Kompone dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum Indonesia, Widya Padjajaran, 2019, hal 17, dalam Hafrida, Perekaman Proses Persidangan Pada Pengadilan Negeri Ditinjau Dari AspekHukum AcaraPidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 19
[25] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 12
[26] M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid 1), Jakarta, 2001, hlm.54
[27] A.Z. Abidin Farid, sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang, UNHAS, 1981. Hlm. 12
[28] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Universitas Atma Jya, Jakarta, 2010, Hlm. 18
[29] Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 18
[30] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm. 20
[31] Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar maju, Bandung, 2008, hal. 3.
[32]Ibid, hlm. 92
[33]Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 93