Berita palsu atau yang lebih sering kita dengar dengan Hoax adalah merupakan kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi. Dimana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat tidak hanya memberikan manfaat yang positif tetapi juga memberikan dampak yang negatif. Lalu lintas informasi begitu cepat dimana setiap orang dengan sangat mudah memproduksi informasi, melalui beberapa jenis media sosial seperti Facebook, Twitter, Short Message Service (SMS), Whatsapp, Instagram, Youtube, Path dan lain sebagainya. Saking cepatnya, filter atas muatan konten komunikasi seringkali terabaikan.
Informasi melalui media sosial dan elektronik sangat berpengaruh terhadap emosi, perasaan, pikiran bahkan tindakan seseorang atau kelompok dalam masyarakat. Apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang tidak akurat bahkan informasi bohong/berita palsu (Hoax) serta dengan judul yang sangat provokatif akan mengiring pembaca atau penerima kepada pikiran dan opini yang negatif. Opini negatif inilah yang dapat merubah pola pikir, bisa berupa fitnah, ujaran kebencian (Hate Speech) dan hal-hal lain yang tidak benar dan merugikan orang lain. Kemungkinan akibat lain yang akan terjadi adalah penyerangan oleh satu pihak kepada pihak lainnya dan membuat orang menjadi ketakutan, terancam dan merugikan pihak yang diberitakan, sehingga selain akan merusak reputasi juga dapat menimbulkan kerugian materi.
Bentuk tanggung jawab itu dapat berupa pertanggung jawaban hukum pidana (Vide Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP) sebagai bagian penyelesaian represif, bisa juga perusahaan penyedia media sosial diberi tanggung jawab pencegahan melalui aplikasi yang berfungsi sebagai sensor.
Peraturan-peraturan yang ada terkait berita palsu (Hoax) sekarang ini telah mengatur tidak hanya pembuat berita palsu (Hoax) tersebut yang diberikan sanksi pidana akan tetapi juga bagi pelaku yang turut serta membagikan/mentransmisikan (share/forward) berita palsu (Hoax) tersebut. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur untuk menjerat pelaku pembuat dan penyebar hoax serta untuk mencegah meluasnya dampak negatif hoax, yaitu antara lain Pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 311 dan Pasal 378 KUHP, serta UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis.
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentangĀ Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE ada 3 jenis konten Hoax yang dapat dipidana penjara 4 s/d 6 Tahun dengan denda maksimal Rp 750 Juta hingga 1 Milyar, yaitu :
- Pencemaran nama baik atau fitnah. (Pasal 27 ayat (3)
- Penipuan untuk motif ekonomi yang merugikan konsumen. (Pasal 28 ayat (1)
- Provokasi terkait SARA. (Pasal 28 ayat (2)
Pembuat dan penyebar hoax yang tidak lengkap dapat dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sanksi/jerat hukum jika menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ini tidak tanggung-tanggung, ada yang bisa dikenakan sanksi 2 Tahun, 3 Tahun hingga 10 Tahun yang dikualifikasi dalam 3 bentuk pelanggaran, yaitu : Menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. (Pasal 14 ayat (1), Menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita itu bohong. (Pasal 14 ayat (2), dan Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran (Pasal 15).
Diantara pasal-pasal diatas, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana lebih mudah dikenakan terhadap penyebar hoax daripada menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE. Karena, pasal penyebaran berita palsu (Hoax) yang diatur dalam UU ITE sangatlah terbatas pada konteks yang menimbulkan kerugian konsumen dan ada juga yang sifatnya ujaran kebencian (Hate Speech) yang menimbulkan permusuhan sara. Sedangkan menggunakan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak diperlukan konteks lain, karena murni berita palsu (Hoax) atau Informasi bohong.
Dengan semakin maraknya penyebaran berita palsu (Hoax) yang ada sekarang ini tidak terlepas dari faktor masyarakat itu sendiri dalam menanggapi berita palsu (Hoax) tersebut. Penanganan pada langkah penutupan website atau pemblokiran situs sebagai tindakan hukum memang penting, namun belajar pada masyarakat dunia akan lebih efektif bahwa pencegahan Hoax ini akan berhasil dengan memperkuat masyarakat dengan kemampuan memfilter informasi hoax yang datang, sehingga masyarakat akan lebih santai menanggapi setiap berita hoax. Jadi, masyarakat haruslah pandai dalam menanggapi informasi yang dia terima juga turut serta dalam penegakan hukum bagi penyebar Hoax dan lebih aware dengan keadaan sekitar serta tidak menelan mentah-mentah berita/informasi yang didapat.