Salah satu elemen dasar demokrasi adalah partisipasi publik. Pelembagaan Negara, check and balances, supremasi hukum, dan kedaulatan rakyat adalah merupakan indikator Negara demokrasi. Peran serta publik sebagai konstituen dan representee dalam penyelenggaraan demokrasi prosedural yang diformulasikan dalam bentuk pemilihan umum adalah merupakan implementasi dari demokrasi itu sendiri. Prinsip partisipasi meniscayakan adanya kesempatan yang terbuka dan merata bagi keterlibatan setiap anggota masyarakat atau negara. Keterlibatan sukarela warga negara atau masyarakat akan memberikan legitimasi politik bagi pemerintahan termasuk pemerintah daerah. Patisipasi politik yang ideal didasarkan pada political literacy dan tidak dikoersi oleh paksaan yang hard (seperti tekanan fisik dan intimidasi) maupun paksaan yag soft (semisal mobilisasi dengan politik uang).
Prinsip-prinsip praktek politik demokratis dapat dimulai dari kehidupan politik di daerah. Unsur-unsur esensial demokrasi dapat diterjemahkan dalam pranata kehidupan politik di level pemerintahan. Menurut Robert Dahl, terdapat tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni; 1) kompetisi, 2) partisipasi, dan 3) kebebasan politik dan sipil (Sorensen, 2003: 19).
Parameter keberhasilan pemilihan umum dapat dilihat dari pelaksanaan pemilihan umum ditingkat didaerah. Hal ini dilandasai pemikiran bahwa daerah adalah satuan pemerintahan yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat dan merupakan wadah partisipasi rakyat secara komprehensif integral dalam aktivitas politik dan pemerintahan, dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu Negara.
Kebosanan dalam melaksanakan demokrasi prosedural masyarakat bermula dengan tidak sehatnya dinamika politik di Indonesia, baik oleh karena tidak berjalannya fungsi-fungsi ideal kepartaian politik dan ketidakmampuan elit didalamnya maupun adanya sikap inkonsistensi terhadap janji-janji politik yang tak kunjung terealisasi. Ekspektasi masyarakat atas sehatnya Pilkada sebagai wahana demokratisasi atau konsolidasi demokrasi sangat besar. Namun salah satu tantangan terbesar yang dihadapai demokratisasi adalah maraknya politik uang (money politics).
Budaya politik uang masih menjadi permasalahan klasik pada setiap pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Tidak terkecuali pada tahapan gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar secara serentak pada penghujung tahun 2015 ini.
Pengertian Politik Uang
Istilah politik uang yang dalam bahasa Inggris money politic mungkin istilah yang sudah sangat sering didengar di masyarakat. Namun kosakata baru tersebut dalam praktik perpolitikan Indonesia yang jika dirujuk secara verbatim dalam nomenklatur kamus politik mana pun tidak akan ditemukan definisi yang baku.
Ketidakjelasan definisi politik uang menjadikan proses penegakan hukum terkadang sulit terjangkau. Kalau penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai Politik uang, maka tidak ada Calon Kepala Daerah atau Partai Politik yang bersih dari politik uang. Hal ini disebabkan dengan adanya penggunaan uang dalam mengadakan suatu acara seperti pertemuan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan dan memperlancar urusan. Karena itulah belum ada konklusi tegas mengenai Politik uang. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit.
Garis demarkasi antara Politik uang (politik uang) dan political financing (pembiayaan politik) masih sangat kabur. Dalam paradigma konvensional, politik uang biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan Politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.
Belum adanya definisi politik uang yang bisa dijadikan acuan seringkali membingungkan dalam mengkategorikan sebuah peristiwa apakah tergolong Politik uang atau bukan. Implikasinya, beberapa pihak dapat secara leluasa melakukan tindakan yang sebenarnya sudah menjurus pada Politik uang, tanpa bersedia dikatakan melakukan praktik Politik uang. Namun publik memahami Politik uang adalah suatu praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual, untuk mendapatkan keuntungan politis (political gain).
Faktor Penyebab
Hadirnya poltik uang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ; Pertama, kurangnya pendidikan masyarakat terhadap politik. Faktor ini sangat krusial dalam pemahaman terhadap dimensi kriminalitas praktik suap dan politik uang. Untuk mengatasi demoralisasi yang diakibatkan langkanya pemahaman ini, perlu diluncurkan suatu gelombang political education yang mampu menanamkan kesadaran political will. Kedua Adanya sikap pesimitis masyarakat terhadap politik, psyco-sosial ini merupakan bentuk luapan ekspresi masyarakat yang disebabkan oleh rasa kekecewaan atas janji-janji politik yang tak kunjung terealisasi sehingga pada akhirnya masyarakat cenderung bersikap apatis dan bahkan memilih untuk mengkomersilkan hak suaranya. Ketiga, danya motivasi pragmatis dalam jangka lebih panjang, antara lain; agar yang bersangkutan beserta keluarganya dimudahkan dalam urusan-urusan formal di pemerintah daerah seperti pengurusan kontrak, akta-akta, dan terkait perijinan. Lebih jauh lagi, mereka juga merapat ke lingkaran dalam Calon Kepala Daerah agar mendapatkan keuntungan-keuntungan (benefits) dalam jangka lebih panjang, seperti keterlibatan dalam proyek-proyek daerah (pembuatan baru, pengaspalan, dan lain-lain). Keempat, demoralisasi, hal demikian ini terjadi karena tidak adanya komitmen pejabat, pegawai, atau sebagaian masyarakat dalam memegang nilai-nilai moral misalnya: jujur, berkata benar, dan sebagainya. Kelima, Obsesi dan ambisi yang tinggi Calon Pemimpin untuk memperoleh jabatan atau cara yang ekstrem untuk mempertahankan kekuasaan.
Instrumen Hukum
Bahwa larangan politik uang di pemilukada secara yuridis formal diatur dalam ketentuan Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada melarang adanya politik uang
- Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih.
- Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun ironinya larangan tersebut tidak spesifik menyebutkan adanya ketentuan sanksi pidana terhadap pelaku politik uang. Namun demikian bukan berarti politik uang dilegalkan begitu saja. Pelaku bisa saja dikenakan sangsi Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu :
Pasal 149 KUHP, yang menyatakan bahwa “
- Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.
- Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.
Selain ketentuan legal formal tersebut diatas, dalam perspektif hukum islam, dalam memberikan sesuatu untuk memperoleh sesuatu secara tidak benar/pantas dikelompokkan perbuatan arrisywah. Unsur-unsur yang terdapat dalam ar-risywah ditemukan dalam tindakan politik uang. Unsur-unsur dimaksud mencakup adanya orang yang memberikan sesuatu (ar-raasyii), adanya orang yang menerima sesuatu (almurtasyii), ada target yang diinginkan dari pemberian itu. Dengan demikian sebagaimana halnya ar-risywah praktik politik uang pun dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilaknat Allah SWT.
Dampak
Praktik politik uang telah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat, mulai dari tingkat bawah hingga atas. Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya politik uang, prinsip kedaulatan rakyat dalam tatanan demokrasi dengan mudah “digengam” oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan modal, rakyat tidak lagi sebagai subyek kedaulatan namun telah bergeser esensialitasnya sebagai obyek eksploitasi politik dan kekuasaan.
Berikut beberapa dampak yang ditimbulkan oleh adanya praktek politik uang :Pertama, Korupsi, Penggunaan uang negara merupakan salah satu cara bagi Calon Pemimpin untuk memperoleh atau menambah modal pembiayaan politik termasuk tidak terbatas pada Calon yang terpilih tidak menggunakan uang negara namun dalam pemerintahannya kedepan akan melakukan hal yang serupa demi mengembalikan biaya-biaya politik kepada partai pengusung dan donaturnya. Kedua, Pilkada tidak lagi berdasarkan prinsip dan asas demokrasi, Pemberian uang kepada rakyat dengan motif dan tujuan tertentu telah mereduksi idealisme demokrasi sejati. Dengan adanya politik uang ditengah dinamika sistem politik indonesia secara empiris sudah tidak lagi beralaskan pada prinsip-prinsip demokrasi seperti bebas, jujur, dan adil. Meskipun secara sadar mengetahui bahwa praktik politik uang cukup beresiko terhadap keutuhan tatanan kehidupan demokrasi yang baik namun sebagian masyarakat merasa nyaman terhadap keuntungan yang diperoleh dari praktik politik uang dan justru mengamini politik uang sebagai kultur politik yang saling menguntungkan. Stigma mutualisme ini cenderung menjadi wacana prioritas masyarakat ketimbang idealisme demokrasi yang dianggap utopis.
Pencegahan
Beberapa hal sebagai bentuk solusi alternatif dalam upaya preventif dan kuratif dalam pemberantasan praktek politik uang adalah diantaranya yaitu Menanamkan nilai-nilai keimanan Ketuhan Yang Maha Esa, dengan meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan YME yang dilandasi pemahaman dan kesadaran bahwa politik uang adalah tindakan curang dan berdosa yang dilaknat oleh Tuhan YME. Maka melalui pendekatan religius, politik uang dapat diyakini dapat berkurang. Kedua, Hukuman yang tegas bagi pelaku politik uang, Tidak dipungkiri lagi bahwa penegakan hukum di Indonesia terkait politik uang sangat lemah. Pemerintah dan penegak hukum seakan ikut terjebak dalam arus pandangan bahwa politik uang adalah suatu hal yang lumrah dalam dunia politik terutama dalam pelaksanaan pemilihan umum serta beranggapan politik uang bukanlah suatu bentuk pelanggaran serius sehingga terkesan apatis dan lamban dalam penangananya. Oleh karena itu perlu adanya sikap konsisten dan konsekuen dalam upaya pemberantasan politik uang dengan menindak secara tegas dan memberikan hukuman yang berat bagi pelaku politik uang.
Kesimpulan
Dari deskripsi singkat tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa politik uang adalah persoalan krusial dalam pemilukada yang berberimplikasi pada tatanan kehidupan demokrasi. Untuk itu diperlukan adanya sikap koperatif dan sinergis dari semua steakholder yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilukada termasuk tidak terbatas pada pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.
[1] Managing Partners Pada Kantor Advokat/Pengacara Indra Setiawan & Partners – ISP Law Office