Oleh ; MUHSYI ALIM RITONGA
- PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 sedang melanda negara seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kasus Covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo dengan data pasien adalah seorang ibu (64 tahun) dan putrinya (31 Tahun) yang terpapar Covid-19 disebabkan interaksi dari warga Negara jepang saat latihan dansa bersama[1]. Warga Negara Jepang tersebut terdeteksi Corona setelah meninggalkan Indonesia dan tiba di Malaysia.
Penyebaran Covid-19 sangat cepat dan massif, semua orang bisa terpapar karena Covid-19 ini tidak mengenal usia, pekerjaan dan status sosial. Untuk mencegah penyebaran Covid-19, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, pertama Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kedua Keppres Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, ketiga Perpres Nomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan COVID-19 atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, keempat Inpres Nomor 4 tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, kelima PP Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, keenam Keppres Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, ketujuh Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020, kedelapan Keppres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk melawan Virus Covid-19 tersebut terdapat satu aturan yang menjadi polemik yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal yang menjadi perdebatan adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 yang dinilai mengesampingkan arti penting persetujuan DPR. Pasal 2 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk :
- menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
- melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
- sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
- penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
Ketentuan diatas, jelas berbeda dengan kesepakatan antara pemerintah bersama DPR tentang angka defisit anggaran yaitu dibawah 3% seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Pengaturan dalam pasal ini dicurigai sebagai landasan dan legitimasi pemerintah untuk menutup defisit anggaran dengan melakukan pinjaman utang luar negeri sebagai jalan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19.
Disisi lain, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) memiliki persyaratan khusus dalam pembentukannya, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan disinyalir tidak memenuhi kriteia dalam pembentukannya. Karena saat ini sudah ada Pasal 27 ayat (3), (4), dan ayat (5) Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara telah mengatur mekanisme yang bisa ditempuh pemerintah dalam situasi darurat.
Selanjutnya Pasal yang menjadi persoalan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 adalah Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3), Pasal ini menyatakan sebagai berikut :
- Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
- Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Pasal 27 ayat (1) dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini berpotensi terjadi abuse of money (penyalahgunaan keuangan negara) atau dikenal dengan perbuatan tindak pidan korupsi, karena semua biaya yang dikeluarkan selama wabah Covid-19 bukan merupakan keuangan negara. Dalam ayat (2) dan (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini mengatur tentang imunitas atau kekebalan hukum bagi pejabat negara. Kedua ayat ini memberikan keistimewaan kepada suatu pihak dihadapan hukum, sehingga melanggar prinsip hukum yaitu equality before the law.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka fokus masalah dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimana potensial tindak pidana korupsi dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ?
- Apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memenuhi kriteria “keadaan mendesak” dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ?
- Apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengabaikan Prinsip Equality Before The Law ?
- LANDASAN TEORI
- Tindak Pidana Korupsi
- Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Andreae, kata Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi[2].
Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata ”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”, maka yang diartikan ”corruptio” dalam bahasa Latin ialah ”corrupter” atau ”seducer”. ”Bribery” dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sementara ”seduction” berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng[3].
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain[4].
Menurut Transparency Internasional korupsi adalah perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka[5].
- Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi
Syed Husen Alatas menyatakan bahwa korupsi itu dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bentuk, sebagai berikut :
- Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan pribadi masing-masing pihak dan kedua pihak sama-sama aktif melakukan usaha untuk mencapai keuntungan tersebut.
- Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana terdapat unsur paksaan, yaitu pihak pemberi dipaksa untuk melakukan penyuapan guna mencegah terjadinya kerugian bagi dirinya, kepentingannya,orang-orang, atau hal-hal yang penting baginya.
- Korupsi Nepotistik (Perkerabatan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat untuk memegang suatu jabatan publik, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara bertentangan dengan norma atau ketentuan yang berlaku.
- Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud pemberian barang atau jasa tanpa ada keterkaitan langsung dengan keuntungan tertentu, melainkan mengharapkan suatu keuntungan yang akan diperoleh di masa depan.
- Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berbentuk upaya penciptaan suasana yang dapat melanggengkan, melindungi dan memperkuat korupsi yang sedang dijalankan.
- Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan secara individual untuk mendapatkan keuntungan karena memahami dan mengetahui serta mempunyai peluang terhadap obyek korupsi yang tidak diketahui oleh orang lain.
- Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan oleh korban korupsi dalam rangka mempertahankan diri terhadap upaya pemerasan terhadap dirinya[6].
- Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Pasal 2 ayat (1) adalah :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu miliar rupiah)”.
Unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) adalah :
- Melawan Hukum.
Yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil. Sikap melawan hukum formal artinya semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi, maka perbuatan itu telah dianggap melawan hukum[7]. Sedangkan sifat melawan hukum dalam materil artinya melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu[8].
Pengertian ‘melawan hukum’ dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang awalnya mencakup dalam arti formil maupun materil akhirnya berubah menjadi pengertian melawan hukum dalam arti formil saja setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.
- Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam undang-undang ini harus dapat dibuktikan penambahan atau perolehan kekayaan itu harus nyata ada.
- Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Dalam menganalisis unsur ketiga dari pasal 2 ayat (1) UU PTPK, perlu diuraikan beberapa pengertian, yaitu :
- Kerugian Negara
Kerugian Negara/Daerah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Kemudian, dalam pasal 59 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 ditentukan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku dapat dikenakan sanksi untuk mengembalikan ganti kerugian dan juga tidak menutup kemungkinan untuk dituntut pidana.
- Keuangan Negara
Pengertian Keuangan negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Penjelasan Umum Undang-Undang tindak tindak pidana korupsi telah memberikan penafsiran otentik terhadap pengertian keuangan negara yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
- Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah
- Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
- Perekonomian Negara
Berkenaan dengan pengertian perekonomian Negara, Penjelasan Umum Undang-Undang tindak tindak pidana korupsi menjelaskan sebagai berikut: “Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaar, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat”.
Unsur-unsur Pasal 3 adalah :
- Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
Unsur ini merupakan unsur subyektif yang melekat pada batin pembuat. Unsur ini merupakan tujuan dari pembuat dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yaitu untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi[9].
P.A.F. Lamintang mengartikan “memperoleh” keuntungan atau menguntungkan adalah memperoleh atau menambah kekayaan dari yang sudah ada. Perolehan keuntungan atau bertambahnya kekayaan pelaku (diri sendiri), orang lain, atau suatu korporasi secara materiel harus terjadi. Yang dimaksud dengan kekayaan adalah tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Dari rumusan tersebut mengandung arti bahwa dengan menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengakibatkan keuangan negara atau perekonomian negara dirugikan dan pelaku, orang lain, atau korporasi memperoleh keuntungan atau kekayaannya bertambah
Bertambahnya keuntungan atau kekayaan itu harus benar- benar terjadi atau secara materiel kekayaan dari pejabat atau pegawai negeri, orang lain, atau korporasi itu menjadi bertambah dengan adanya penyalahgunaan wewenang[10].
- Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Pengertian “Penyalahgunaan Wewenang” menurut Jean Rivero dan Waline, yang diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu[11] :
- Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan
- Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan- peraturan lain.
- Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana
- Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Merudikan keuangan Negara ini sama dengan penjelasan yang ada dalam Pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi.
- Perpu sebagai produk hukum Presiden
Peraturan pemerintah perganti undang-undang adalah salah satu jenis peraturan yang diakui dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undanga. Pasal 7 ayat (1) merumuskan jenis dan hirarki perundang-undangan sebagai berikut :
- Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketujuh jenis peraturan tersebut diatas, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (selanjutnya disebut Perpu) adalah satu-satunya peraturan yang memerlukan unsur hal ikhwal kegentingan yang memaksa dalam pembentukannya. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) pada Pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
Ketentuan lebih lanjut terkait dengan pembentukan Perpu dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 4 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (Selanjutnya disebut UU Nomor 12 Tahun 2011), dimana di dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. UU Nomor 12 Tahun 2011 menempatkan Perpu sebagai peraturan perundangundangan yang sejajar dengan undang-undang. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang. Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 11 Februari 2014 menyatakan materi muatan Perpu adalah materi muatan undang-undang, mempunyai daya berlaku seperti undang-undang dan mengikat umum sejak diundangkan[12].
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, Perpu merupakan peraturan yang setingkat dengan undang-undang, dibuat dalam kegentingan yang memaksa, dibentuk oleh Presiden, dan mempunyai fungsi yang sama dengan undangundang. Oleh karenanya, materi muatan Perpu sama dengan materi muatan undang-undang[13].
Meskipun kedudukannya sejajar dengan undang-undang, Perpu memiliki kekhususan tertentu, yakni tidak dibentuk melalui mekanisme pembahasan dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR) dan Presiden, melainkan dibentuk atas dasar kewenangan mutlak Presiden. Kekhususan lain dalam pembentukan Perpu yakni adanya syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam pembentukannya. Kegentingan yang memaksa sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi abnormal yang membutuhkan upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera mengakhiri kondisi tersebut. Dalam sejarah bangsa Indonesia seringkali terjadi peristiwa dan kondisikondisi yang bersifat abnormal, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam, dan sebagainya, dimana instrumen hukum positif yang ada seringkali tidak mampu berperan sebagai solusi. Dalam kondisi abnormal itu diperlukan adanya norma-norma hukum yang juga bersifat khusus, baik dari segi substansinya maupun proses pembentukannya, sehingga dalam kondisi-kondisi seperti itulah Perpu menjadi sangat diperlukan sebagai instrumen hukum laksana undang-undang yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat[14].
Penafsiran terkait hal ikhwal kegentingan yang memaksa tersebut dari sudut pandang Presiden sendiri dapat bersifat sepihak dan subjektif. Lebih jelasnya penafsiran terkait hal ikhwal kegentingan yang memaksa dapat dilihat dalam dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. Dalam putusan tersebut MK memberikan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 tersebut, yaitu:
- adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau undang-undang terkait yang ada tetapi tidak memadai; dan
- kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Penilaian mengenai hal ikhwal kegentingan yang memaksa itu baru menjadi objektif setelah hal itu dinilai dan dibenarkan adanya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945[15]. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa Perpu selanjutnya harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut.
- Prinsip equality before the law
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari Ketentuan dalam pembukaan , Batang tubuh , dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.
Dalam Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termasuk dalam Pasal 27 ayat ( 1 ) yang menyatakan bahwa : Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan semua warganegara dalam hukum dan pemerintahan.
Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kalau dapat disebutkan asas equality before the law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (gelijkheid van ieder voor de wet)[16]. Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum.
- PEMBAHASAN
- Potensial tindak pidana korupsi dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Law as a tool of crime as a perfect crime, hukum merupakan alat kejahatan sebagai kejahatan yang sempurna. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime. Pelaku tindak pidana korupsi dengan berbagai modus operandi yang diatur sesempurna mungkin agar tidak tersentuh hukum. Padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur sedemikian rupa dengan perluasan makna korupsi agar perbuatan tersebut bisa dijerat hukum.
Akan tetapi semangat pemberantasan tindak korupsi mulai meredup akhir-akhir ini, pertama diawali dengan proses pemilihan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang disinyalir penuh dengan unsur kepentingan,kedua dengan dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menambahkan adanya Dewan Pengawas yang dinilai menjadi penghambat dalam melakukan operasi tangkap tangan atau OTT.
Dengan keadaan seperti ini saja, sudah memperlihatkan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi berada diujung tanduk, apalagi jika ada peraturan perundang-undangan yang memberikan ruang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Peraturan tersebut adalah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Hal yang menjadi ruang bagi tindak pidana korupsi adalah Pasal 27 ayat (1) merumuskan “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian Negara”.
Dari Pasal 27 ayat (1) tersebut merupakan pasal yang sangat luar biasa, karena semua biaya yang dikeluarkan dalam menangani Covid-19 baik yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah bukan merupakan kerugian Negara, padahal potensial tindak pidana korupsi itu ada seiring dengan adanya uang Negara. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, salah satu elemen penting adalah “keruguan Negara”. Sehingga jika suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi akan tetapi ada sebuah aturan yang melegetimasi perbuatan itu bukan merupakan kerugian Negara maka disitulah letak kesalahan dasar dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020.
Tindak pidana korupsi merupakan hal yang sangat besar dampaknya, sehingga tidak bisa kita memastikan bahwa setiap orang akan berniat baik terhadapa keuangan Negara untuk pelaksanaan sebauh kebijakan. Sehingga setiap aturan yang dibauat oleh lembaga yang berwenang harus mempersempit ruang bagi tindak pidana korupsi bukan memberikan ruang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Disisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juga sudah mengatur bahwa suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan pada saat bencana akan dijatuhi ancaman hukuman mati. Hal ini juga memperjelas bahwa Perpu Nomor 1 tahun 2020 sudah memberikan ruang itu, sehingga potensial tindak pidana korupsi sangat besar jika Perpu Nomor 1 Tahun 2020 disahkan oleh DPR menjadi sebuah Undang-Undang.
- Apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memenuhi kriteria “keadaan mendesak” dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu memiliki kriteria khusus dalam pembentukannya, karena harus ada “kegentingannya yang memaksa” barulah salah satu jenis peraturan perundang-undangan ini bisa dikelurakan oleh Presiden sebagai pemegang kuasa atas Perpu. Akan tetapi, belum ada satupun peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur kriteria “kegentingan yang memaksa tersebut”.
Dalam konteks Hukum Tata Negara Darurat, Perpu merupakan cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Dalam hal ini juga dikenal adanya hukum keadaan darurat subyektif atau bisa dimaknai dengan hak Negara unutuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang dan bahkan apabila diperlukan menyimpang dari Undang-Undang Dasar.
Putusan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut MK) Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. Dalam putusan tersebut MK memberikan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD Tahun 1945 tersebut, yaitu:
- adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
- undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau undang-undang terkait yang ada tetapi tidak memadai; dan
- kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Walaupun sudah diatfsirkan oleh Mahkamah Konstitusi, pemaknaan 3 poin kegentingan yang memaksa tersebut tetap diberikan tafsirannya lebih lanjut kepada Presiden untuk menafsirkannya. Selanjutnya apakah Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memenuhi kriteria kegentingan yang memaksa. Oleh karena itu perlu kita rinci satu persatu pemaknaan yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Poin pertama yaitu ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum yang mendesak, keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang mendesak yaitu menyelesaikan masalah wabah Covid-19 yang secara massif menyebar yang menimbulkan kerugian berbagai sisi, salah satunya adalah masalah ekonomi. Poin kedua, yaitu belum adanya undang-undang atau yang ada belum memadai, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan keuangan Negara dan stabilitas keuangan Negara, padahal telah ada undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang lengkap mengatur keuangan bahkan dalam keadaan darurat. Poin ketiga yaitu adanya kekosongan hukum, pada poin ini jelas Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak memenuhi unsur kekosongan hukum. Akan tetapi pemaknaan kegentingan yang memaksa tersebut cukup memenuhi salah satu dari tiga poin yang telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Berdasarkan penjelasan diatas, pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 apakah memenuhi makna kegentingan yang memaksa atau tidak masih bisa diperdebatkan, karena belum adanya batasan yang jelas mengenai makna kegentingan yang memaksa karena kewenangan tafsirannya diberikan kepada Presiden.
Keberlakuan Perpu hanya bersifat sementara, karena secara teorinya DPR lah yang akan menentukan apakah Perpu tersebut sah atau tidak menjadi Undang-Undang. Jika tidak disetujui oleh DPR maka, Perpu tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga undang-undang sebelum dikeluarkannya Perpu akan berlaku kembali.
- Prinsip Equality Before the Law
Prinsip Equality Before the Law bermakna bahwa setiap orang sama dihadapan hukum, hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat ( 1 ) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan semua warganegara dalam hukum dan pemerintahan. Konsekuensi dari pasal ini adalah siapapun baik itu warga Negara biasa, polisi, tentara, bupati, gubernur, menteri dan bahkan presiden sekalipun bisa dituntut dihadapan hukum baik secara perdata dan pidana, serta keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat sebagai objek gugatan dalam peradilan tata usaha Negara.
Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 27 ayat (2) dan (3) merumuskan bahwa :
- Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndangundangan.
- Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Pasal ini merumuskan imunitas terhadap pejabat Negara bahwa apapun tindakan yang akan diambil selama mengatawi wabah Covid-19 bukanlah sebuah kesalahan sekalipun salah. Oleh karena itu pasal ini sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law yang jelas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Dengan dikeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sangat berpotensi menimbulkan permasalah dikemudian hari, akan tetapi hal ini bisa saja tidak terjadi jika DPR menolak Perpu Nomor 1 Tahun 2020 untuk menjadi Undang-undang.
- PENUTUP
- Kesimpulan
- Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sangat berpotensi timbulnya tindak pidana korupsi karena meniadakan kerugian Negara didalamnya.
- Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan /atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan telah memenuhi unsure dalam pembentukanya yaitu adanya kegentingan yang memaksa yang sudah terpenuhi karena kewenangan tafsirannya ada pada Presiden
- Saran
- Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undngan hendaknya memperahtikan potensial tindak pidana korupsi didalamnya. Sehingga peraturan tersebut bisa memberikan arah kepada tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.
- Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang memenuhi persyaratan dalam pembentukannya dan tidak mengesamping prinsip-prinsip hukum dimana salah satunya adalah equality before the law.
DAFTAR PUSTAKA
- BUKU
Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
Hamzah, Andi , Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi :Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Indarti,Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (1), Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2007
Chaerudin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung, 2008
Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi Pahami Dulu Baru Lawan, KPK, Jakarta, 2009
Mulyadi,lilik , Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007.
- JURNAL
Monika Suhayati, Kontroversi Perppu Pilkada Dan Perppu Pemda, Jurnal Singkat Hukum Vol. VI No.20/II/P3DI/Oktober/2014
Nur Rohim, Kontroversi Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan Yang Memaksa, Jurnal Cita Hukum, Vol. I Nomor 1 Juni 2014
- INTERNET
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak- pidana/#ixzz32Qu090CV
[1]https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia. Diakses pada 24 April 2020. Pukul 20.30 WIB.
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Hlm 4.
[3]http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak- pidana/#ixzz32Qu090CV
[4] Chaerudin DKK, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, Hlm 2.
[5] Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Panduan Kamu Buat Ngelawan Korupsi Pahami Dulu Baru Lawan, KPK, Jakarta, 2009, Hlm. 7.
[6] Chaerudin DKK, Op.Cit Hlm 39.
[7] Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, Hlm 152.
[8] Ibid. Hlm 152.
[9] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi :Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hlm. 28-29.
[10] Amiruddin, Op.Cit, Hlm 214.
[11] Ibid, Hlm. 202.
[12] Monika Suhayati, Kontroversi Perppu Pilkada Dan Perppu Pemda, Jurnal Singkat Hukum Vol. VI No.20/II/P3DI/Oktober/2014, Hlm. 2.
[13] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (1), Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2007, Hlm., 243.
[14] Nur Rohim, Kontroversi Pembentukan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi Dalam Ranah Kegentingan Yang Memaksa, Jurnal Cita Hukum, Vol. I Nomor 1 Juni 2014, Hlm. 128-129.
[15] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, Hlm.
[16] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, Hlm. 20.