Oleh : Indra Setiawan, SH

  1. PENDAHULUAN

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan Pemlihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar“. Makna dari kedaulatan ditangan Rakyat ini ialah rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mejemuk dan berwawasan kebangsaan, Partai Politik adalah merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin, baik untuk tingkat nasional maupun daerah dan rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara, oleh karena itu peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik, dan selain itu untuk mengakomodasi aspirasi ke-anekaragaman daerah maka dibentuk Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan bersamaan dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Dalam perkembangan politik di Indonesia saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah era reformasi, semangat untuk menenggelamkan praktik-praktik berpolitik yang dianggap penuh rekayasa, manipulatif, tidak adil dan represif telah memberikan energi besar kepada semua komponen bangsa untuk menciptakan suasana politik yang lebih terbuka, transparan, jujur dan adil.

Pasca reformasi 1998 telah menyebabkan kesadaran pada rakyat untuk menuntut kepada pemerintah agar dapat melaksanakan sebuah proses demokrasi yang baik melalui pemilihan umum yang berkualitas, sehingga sejak pemilu 1999 pemerintah telah melakukan penataan format pemilu menjadi sebuah pemilu yang lebih adil dan demokratis, sangat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu di era orede baru yang penuh rekayasa, manipulatif dan cenderung hanya merupakan formalitas saja karena pemilu sudah bercampur dengan pengaruh dan kepentingan penguasa , maka agar pemilu dapat berjalan dengan lebih demokratis, sejak pemilu tahun 1999 telah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara pemilu yaitu sebuah badan yang secara khusus bertugas untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemilu yang bernama Komisi Pemilihan Umum atau disebut (KPU). Menurut Pasal 1 ayat (8) UU 7/2017 Tentang Pemilu, yang dimaksud Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu.

Di dalam sistem ketatanegaraan modern, model pembagian kekuasaan menjadi tiga bidang (Trias Politica, Montesque), yakni legeslatif, eksekutif dan yudikatif, sesungguhnya tidaklah memadai lagi karena kehidupan politik kenegaraan sudah sedemikian kompleks, sehingga tiga lembaga yang membidangi legeslatif, eksekutif dan yudikatif tidak mampu lagi menjalankan semua tugas kenegaraan. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya lembaga-lembaga tambahan atau The Auxilliary State Agency. Kehadiran lembaga negara tambahan independent menjadi semakin penting dalam rangka menjaga proses demokratisasi yang tengah dikembangkan oleh Negara yang baru saja melepaskan diri dari sistem authoritarian. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diposisikan, yakni sebagai penggerak proses demokratisasi lewat kegiatan pemilu (Supriyanto, Didik. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perludem, DRSP, dan USAID. 2007. hal 127 ).

Pemilihan Umum merupakan sebuah sarana demokrasi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara saat ini, karena dalam pemilihan umumlah kita dapat melihat perwujudan nyata terdapatnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itulah pemilu seringkali dijadikan tolak ukur sejauh mana suatu negara benar-benar telah melaksanakan demokrasi ( Renstra KPU Tahun 2002-2005). Penyelenggaraan pemilu secara berkala merupakan suatu keharusan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legimitasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyatlah yang akan melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang merakyat. Pemerintahan berdasarkan asas kerakyatan juga mengandung arti kontrol rakyat terhadap penyelengaraan pemerintahan.

Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional, yang menjadi tolak ukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional yang menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. Indikator dari standar tersebut meliputi 15 aspek yaitu antara lain ; (Nur Hidayat Sardini, Penegakan hukum pemilu: Praktik Pemilu 2004, kajian pemilu 2009-2014, Jakarta: NH Sardini, 2007, hal 2)

  1. Penyusunan kerangka hukum
  2. Pemilihan sistem pemilu
  3. Penetapan daerah pemiihan
  4. Hak untuk memilih dan dipilih
  5. Badan penyelenggara pemilu
  6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih
  7. Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat
  8. Kampanye pemilu yang demokratis
  9. Akses ke media dan kebebasan berekspresi
  10. Pembiayaan dan pengeluaran
  11. Pemungutan suara
  12. Peranan wakil partai dan kandidat
  13. Pemantauan pemilu
  14. Penataan peraturan pemilu
  15. Penegakan peraturan pemilu Kelima belas

Aspek tersebut saling terkait dan secara bersama sama menjadi faktor penentu terselenggaranya pemilu yang demokratis, artinya apabila terdapat satu aspek yang berjalan kurang baik, maka hal itu akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain, sehingga secara keseluruhan akan berdampak pada kualitas pemilu. Pemilu harus dilakukan secara jujur, adil dan demokratis. Agar pemilu dapat mencapai derajat tersebut maka diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang mendukungnya. Syarat-syarat tersebut dipergunakan untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas sehingga mendapatkan pejabat publik yang legitimate. Syarat minimal dari pemilu adalah free dan fair. Indikator tersebut digunakan untuk menilai apakah sistem pemilu tersebut cocok bagi sebuah negara atau tidak. Indikator tersebut adalah: akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliabel, numerical (CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm.256)

  1. PEMBAHASAN

Sepanjang sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019. Namun sejak pemilu tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang berbeda dari pemilihan umum sebelumnya, karena sejak pemilu tahun 2004 pemilu yang dilaksanakan merupakan pemilihan umum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena pemilihan umum yang dilaksanakan telah menggunakan sistem yang berbeda dari pemilihan umum yang sebelumnya.

Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur dan memungkinkan warga negara memilih para wakil rakyat di antara mereka sendiri. Dalam pemilu tersebut warga negara berhak untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di jabatan publik. Dalam menggunakan suaranya tersebut tentu saja haruslah didukung kondisi yang memungkinkan

warga negara memilih secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Ada dua elemen utama dari Pemilu. Kedua elemen tersebut ialah:

  1. Elemen Electoral Law yaitu aturan main berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang harus ditaati oleh setiap kontestan pemilu. Electoral law terdiri dari dua jenis, yaitu Plural Majority dan Proportional Representation.
  2. Elemen Electoral Process ialah metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi di lembaga perwakilan. Electoral process meliputi D‟Hont, St. League, Electoral Threshold, dan Parliamentary

Pemilihan Umum Menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni:

  • Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).
  • Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  • Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik

Sistem pemilu memiliki dimensi yang sangat kompleks. Beberapa dimensi tersebut antara lain adalah (Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009) :

  • Penyuaraan (balloting). Penyuaraan adalah tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaraan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kategorikal (pemilih hanya memilih satu partai atau calon) dan ordinal (pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya.
  • Besaran distrik (district magnitude). Besaran distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik dapat dibagi menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Besaran distrik berpengaruh terhadap tingkat kompetisi partai dalam memperebutkan kursi. Semakin besar magnitude sebuah distrik maka semakin rendah kompetisi partai untuk memperebutkan kursi. Sebaliknya, semakin kecil magnitude sebuah distrik maka semakin ketat kompetisi partai untuk memperebutkan kursi.
  • Pembuatan batas-batas representasi (pendistrikan). Cara penentuan distrik merupakan hal yang krusial di dalam pemilu. Ada dua hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan batas-batas pendistrikan, yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara
  • Formula pemilihan (electoral formula). Formula pemilihan adalah membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Secara umum formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang.
  • Ambang batas (threshold). Threshold yaitu tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh sebuah partai untuk mendapatkan perwakilan. Batas minimal itu biasanya diwujudkan dalam prosentase dari hasil pemilu.
  • Jumlah kursi legislatif. Berapakah jumlah kursi legislatif yang ideal adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Belum diketahui mengapa suatu negara menetapkan jumlah kursi di parlemen beserta alasannya.

Sistem pemilu di dunia terbagi ke dalam 4 (empat) keluarga besar, yaitu sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem di luar ketiga sistem utama. Secara rinci keluarga sistem pemilu tersebut dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini (Bintan R. Saragih, Hukum Tata Negara, Bandung: C.V. Utomo, 2006, hlm.178)

  • Sistem Distrik Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya didasarkan atas jumlah penduduk. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian block vote dan party block vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil semua suara yang didapatnya. Sistem ini terbagi atas first past the post, alternative vote, two round system, block vote.
  • Sistem proporsional Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut. Dalam sistem ini dikenal istilah district magnitude. Variasi dari sistem ini adalah proportional representation dan single transferable vote. Pada sistem proporsional ada sejumlah mekanisme yang digunakan untuk menentukan perolehan kursi. Secara garis besar teknik penghitungan suara dipilah menjadi dua, yaitu teknik kuota dan divisor. Teknik kuota atau dikenal juga dengan suara sisa terbesar (the largest remainder) terdapat beberapa varian di antaranya varian Hare dan Droop.
  • Ciri umum dari teknik kuota adalah adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap, tergantung pada jumlah pemilih. Teknik divisor atau dikenal juga dengan perhitungan rata-rata angka tertinggi (the higest average) muncul berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada teknik kuota. Beberapa varian dari teknik divisor adalah D’Hondt, Saint Lague. 4) Sistem campuran Sistem pemilu campuran merupakan perpaduan penerapan secara bersama-sama sistem distrik dengan sistem proporsional dalam suatu negara. Sistem ini meliputi sistem parallel dan mixed member proportional. d. Sistem pemilu di luar ketiga sistem utama Sistem ini merupakan campuran antara sistem distrik dan proporsional. Varian dari sistem ini adalah single non-transferable vote, limited vote, dan borda count. Setiap sistem pemilu mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing yang berimplikasi pada pembangunan politik.

Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun
pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, dan terjadi pembaharuan politik hukum pemilu dan pemilukada baik dalam revisi atas regulasi politik yang sudah ada, maupun aturan main dalam undang-undang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Pilkada serentak pertama kali yang telah diselenggarakan pada tahun 2015 memberikan banyak pembelajaran dan dinamika pemikiran baru kepemiluan lokal. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan sejumlah aktivis pemilu dan calon peserta pemilu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu norma dalam UU Pilkada yang dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya. Selanjutnya, pasca pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 hingga gugatan MK terdapat pembelajaran yang tidak kalah pentingnya, mulai dari syarat selisih suara yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada untuk dapat diajukan gugatan penyelesaian perselisihan hasil pilkada, hingga syarat calon perseorangan. Dinamika tersebut pada akhirnya berlanjut pembahasan-pembahasan di DPR & KPU sebagai evaluasi, koordinasi dan konsolidasi.

Perubahan paradigma berkonstitusi dalam memahami makna pemilu didalam UUD 1945 membawa angin segar bagi praktik ketatanegaraan Indonesia melalui putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 antara lain mempertimbangkan: “Apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pilpres adalah dilakukan serentak dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.

Begitu pula pada pemilu tahun 2019 yang baru saja dilaksanakan pada 17 April 2009 yang lalu, sesungguhnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa indonesia karena pada pemilu kali ini digunakan sistem proporsional daftar terbuka dengan penggunaan suara terbanyak. Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2009 didasarkan pada Undang-Undang RI No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPR, DPD dan DPRD ), Presiden dan wakil presiden.

Sistem pemilihan umum yang baru pasca reformasi ditandai dengan :

  1. Dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat langsung memilih tokoh-tokoh yang dipercaya mampu mewakilinya dalam lembaga legislatif.
  2. Adanya lembaga yang memiliki tugas dan kewajiban dalam melaksanakan pemilihan umum ( KPU).
  3. Terdapat pula sebuah lembaga atau badan/ panitia yang bertugas mengawasi jalannya pemilihan umum agar dapat berlangsung secara jujur dan adil (BAWASLU).

Berdasarkan Pasal 3 UU No 7/2017 tentang Pemilu, asas penyelengaraan pemilu harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu :

  1. Mandiri
  2. Jujur
  3. Adil
  4. Kepastian hukum
  5. Tertib penyelenggaraan pemilu
  6. Kepentingan umum
  7. Keterbukaan
  8. Proporsionalitas
  9. Profesionalitas
  10. Akuntabilitas
  11. Efesiensi
  12. Efektivitas

Pemilihan umum tahun 2019 dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan pemilihan umum masa sebelumnya. Perbedaan ini dilakukan mengikuti perubahan-perubahan terhadap undang-undang mengenai pemilihan umum. Agar pemilihan umum dapat terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, edukatif dan akuntabel, maka menurut Chairullah Gultom ( 2005: 7 ) terdapat beberapa aspek / komponen yang harus dipersiapkan dengan baik yaitu :

  1. Komponen yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum.
  2. Kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum pada semua tingkatan baik pada tingkat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
  3. Kesiapan masyarakat sebagai pemilih dan partai politik sebagai peserta pemilu.
  4. Sumber daya ( waktu, dana, sumber daya manusia, peralatan/ perlengkapan ) untuk melaksakannya.

Seiring dengan menguatnya tuntutan dan keinginan dari sebagian besar rakyat agar proses pelaksanaan pemilu pada setiap periode dilaksanakan dengan lebih baik, jujur dan adil maka pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019, pemerintah melalui DPR telah melakukan amandemen terhadap pemilihan umum, diantaranya adalah

  1. Yaitu mulai diterapkanya sistem mencoblos atau melobangi pada kertas suara dalam pemilu 2019, hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menggunakan cara pencontrengan atau penandaan gambar partai politik ataupun caleg pada kertas suara
  2. Pemilu 2019 menerapkan penggunaan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih yang akan duduk dikursi legeslatif, hal ini berbeda dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang masih menggunakan sistem nomor urut dalam menentukan siapakah wakil partai yang akan duduk di kursi legeslatif Perubahan tata cara dari mencoblos menjadi mencontreng dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi rakyat dalam proses pemungutan suara, karena dengan cara mencontreng dianggap lebih mudah dan efisien dalam hal pengehematan waktu, sehingga masyarakat pada saat pelaksanaan pemilu tidak lagi melakukan antrian yang lama di TPS-TPS, dengan mencontereng diharapkan pelaksanaan waktu pemilihan umum yang dilangsungkan hanya satu hari saja sejak pukul 8.00 – 13.00 dapat lebih efektif bagi masyarakat.

Perubahan dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak dalam menentukan calon anggota legeslatif yang akan duduk baik itu di DPR dan DPRD Kabupaten/ Kota, sesungguhnya telah membuka peluang yang lebih terbuka, lebih sehat dan lebih demokratis bagi setiap caleg untuk dapat bersaing karena masing-masing caleg memiliki peluang yang sama besarnya untuk dapat duduk di kursi legislatif. Namun seiring dengan hal itu pula maka pelaksanaan pemilu juga dituntut untuk dapat menyiapkan perangkat dan kesiapan dengan lebih baik lagi karena semakin maju dan modernnya sebuah sistem demokrasi yang digunakan pada suatu negara maka harus pula diimbangi dengan adanya perangkat penyelenggara pemilu yang juga modern dan mampu bekerja secara optimal dan efektif dalam mensosialisasikan segala perubahan dan informasi mengenai pemilu agar pelaksanaan pemilu mampu berjalan dengan baik dan menuai hasil yang positif tidak hanya bagi pemerintah dan lembaga legislatif akan tetapi juga bagi rakyat.

KESIMPULAN

Penulis memberikan simpulan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di Indonesia akan berjalan dengan baik dan menuju ke arah demokrasi yang substansial, apabila semua perangkat penyelenggara pemilu pusat maupun daerah, peserta pemilu, maupun masyarakat memiliki konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk taat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari ketaatan warga negara terhadap UUD 1945. Selain itu, diperhatikan pula perangkat aturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan, mekanisme dan prosedur yang rinci serta sanksi beserta penegakan hukum yang baik dari sisi kepastian hukum maupun dari sisi budaya hukum masyarakat. Aspek kepastian hukum dan aspek budaya hukum sangat penting dipenuhi agar tujuan pemilu dan pemilukada dapat mencapai sasaran yang diidealkan

SISTEM PEMILU DAN PEMILUKADA PASCA REFORMASI

Oleh : Indra Setiawan, SH

  1. PENDAHULUAN

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan Pemlihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar“. Makna dari kedaulatan ditangan Rakyat ini ialah rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mejemuk dan berwawasan kebangsaan, Partai Politik adalah merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin, baik untuk tingkat nasional maupun daerah dan rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara, oleh karena itu peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik, dan selain itu untuk mengakomodasi aspirasi ke-anekaragaman daerah maka dibentuk Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan bersamaan dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Dalam perkembangan politik di Indonesia saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah era reformasi, semangat untuk menenggelamkan praktik-praktik berpolitik yang dianggap penuh rekayasa, manipulatif, tidak adil dan represif telah memberikan energi besar kepada semua komponen bangsa untuk menciptakan suasana politik yang lebih terbuka, transparan, jujur dan adil.

Pasca reformasi 1998 telah menyebabkan kesadaran pada rakyat untuk menuntut kepada pemerintah agar dapat melaksanakan sebuah proses demokrasi yang baik melalui pemilihan umum yang berkualitas, sehingga sejak pemilu 1999 pemerintah telah melakukan penataan format pemilu menjadi sebuah pemilu yang lebih adil dan demokratis, sangat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu di era orede baru yang penuh rekayasa, manipulatif dan cenderung hanya merupakan formalitas saja karena pemilu sudah bercampur dengan pengaruh dan kepentingan penguasa , maka agar pemilu dapat berjalan dengan lebih demokratis, sejak pemilu tahun 1999 telah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara pemilu yaitu sebuah badan yang secara khusus bertugas untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemilu yang bernama Komisi Pemilihan Umum atau disebut (KPU). Menurut Pasal 1 ayat (8) UU 7/2017 Tentang Pemilu, yang dimaksud Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu.

Di dalam sistem ketatanegaraan modern, model pembagian kekuasaan menjadi tiga bidang (Trias Politica, Montesque), yakni legeslatif, eksekutif dan yudikatif, sesungguhnya tidaklah memadai lagi karena kehidupan politik kenegaraan sudah sedemikian kompleks, sehingga tiga lembaga yang membidangi legeslatif, eksekutif dan yudikatif tidak mampu lagi menjalankan semua tugas kenegaraan. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya lembaga-lembaga tambahan atau The Auxilliary State Agency. Kehadiran lembaga negara tambahan independent menjadi semakin penting dalam rangka menjaga proses demokratisasi yang tengah dikembangkan oleh Negara yang baru saja melepaskan diri dari sistem authoritarian. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diposisikan, yakni sebagai penggerak proses demokratisasi lewat kegiatan pemilu (Supriyanto, Didik. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perludem, DRSP, dan USAID. 2007. hal 127 ).

Pemilihan Umum merupakan sebuah sarana demokrasi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara saat ini, karena dalam pemilihan umumlah kita dapat melihat perwujudan nyata terdapatnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itulah pemilu seringkali dijadikan tolak ukur sejauh mana suatu negara benar-benar telah melaksanakan demokrasi ( Renstra KPU Tahun 2002-2005). Penyelenggaraan pemilu secara berkala merupakan suatu keharusan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legimitasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyatlah yang akan melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang merakyat. Pemerintahan berdasarkan asas kerakyatan juga mengandung arti kontrol rakyat terhadap penyelengaraan pemerintahan.

Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional, yang menjadi tolak ukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional yang menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. Indikator dari standar tersebut meliputi 15 aspek yaitu antara lain ; (Nur Hidayat Sardini, Penegakan hukum pemilu: Praktik Pemilu 2004, kajian pemilu 2009-2014, Jakarta: NH Sardini, 2007, hal 2)

  1. Penyusunan kerangka hukum
  2. Pemilihan sistem pemilu
  3. Penetapan daerah pemiihan
  4. Hak untuk memilih dan dipilih
  5. Badan penyelenggara pemilu
  6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih
  7. Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat
  8. Kampanye pemilu yang demokratis
  9. Akses ke media dan kebebasan berekspresi
  10. Pembiayaan dan pengeluaran
  11. Pemungutan suara
  12. Peranan wakil partai dan kandidat
  13. Pemantauan pemilu
  14. Penataan peraturan pemilu
  15. Penegakan peraturan pemilu Kelima belas

Aspek tersebut saling terkait dan secara bersama sama menjadi faktor penentu terselenggaranya pemilu yang demokratis, artinya apabila terdapat satu aspek yang berjalan kurang baik, maka hal itu akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain, sehingga secara keseluruhan akan berdampak pada kualitas pemilu. Pemilu harus dilakukan secara jujur, adil dan demokratis. Agar pemilu dapat mencapai derajat tersebut maka diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang mendukungnya. Syarat-syarat tersebut dipergunakan untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas sehingga mendapatkan pejabat publik yang legitimate. Syarat minimal dari pemilu adalah free dan fair. Indikator tersebut digunakan untuk menilai apakah sistem pemilu tersebut cocok bagi sebuah negara atau tidak. Indikator tersebut adalah: akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliabel, numerical (CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm.256)

  1. PEMBAHASAN

Sepanjang sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019. Namun sejak pemilu tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang berbeda dari pemilihan umum sebelumnya, karena sejak pemilu tahun 2004 pemilu yang dilaksanakan merupakan pemilihan umum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena pemilihan umum yang dilaksanakan telah menggunakan sistem yang berbeda dari pemilihan umum yang sebelumnya.

Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur dan memungkinkan warga negara memilih para wakil rakyat di antara mereka sendiri. Dalam pemilu tersebut warga negara berhak untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di jabatan publik. Dalam menggunakan suaranya tersebut tentu saja haruslah didukung kondisi yang memungkinkan

warga negara memilih secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Ada dua elemen utama dari Pemilu. Kedua elemen tersebut ialah:

  1. Elemen Electoral Law yaitu aturan main berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang harus ditaati oleh setiap kontestan pemilu. Electoral law terdiri dari dua jenis, yaitu Plural Majority dan Proportional Representation.
  2. Elemen Electoral Process ialah metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi di lembaga perwakilan. Electoral process meliputi D‟Hont, St. League, Electoral Threshold, dan Parliamentary

Pemilihan Umum Menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni:

  • Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).
  • Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  • Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik

Sistem pemilu memiliki dimensi yang sangat kompleks. Beberapa dimensi tersebut antara lain adalah (Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009) :

  • Penyuaraan (balloting). Penyuaraan adalah tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaraan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kategorikal (pemilih hanya memilih satu partai atau calon) dan ordinal (pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya.
  • Besaran distrik (district magnitude). Besaran distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik dapat dibagi menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Besaran distrik berpengaruh terhadap tingkat kompetisi partai dalam memperebutkan kursi. Semakin besar magnitude sebuah distrik maka semakin rendah kompetisi partai untuk memperebutkan kursi. Sebaliknya, semakin kecil magnitude sebuah distrik maka semakin ketat kompetisi partai untuk memperebutkan kursi.
  • Pembuatan batas-batas representasi (pendistrikan). Cara penentuan distrik merupakan hal yang krusial di dalam pemilu. Ada dua hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan batas-batas pendistrikan, yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara
  • Formula pemilihan (electoral formula). Formula pemilihan adalah membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Secara umum formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang.
  • Ambang batas (threshold). Threshold yaitu tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh sebuah partai untuk mendapatkan perwakilan. Batas minimal itu biasanya diwujudkan dalam prosentase dari hasil pemilu.
  • Jumlah kursi legislatif. Berapakah jumlah kursi legislatif yang ideal adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Belum diketahui mengapa suatu negara menetapkan jumlah kursi di parlemen beserta alasannya.

Sistem pemilu di dunia terbagi ke dalam 4 (empat) keluarga besar, yaitu sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem di luar ketiga sistem utama. Secara rinci keluarga sistem pemilu tersebut dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini (Bintan R. Saragih, Hukum Tata Negara, Bandung: C.V. Utomo, 2006, hlm.178)

  • Sistem Distrik Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya didasarkan atas jumlah penduduk. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian block vote dan party block vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil semua suara yang didapatnya. Sistem ini terbagi atas first past the post, alternative vote, two round system, block vote.
  • Sistem proporsional Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut. Dalam sistem ini dikenal istilah district magnitude. Variasi dari sistem ini adalah proportional representation dan single transferable vote. Pada sistem proporsional ada sejumlah mekanisme yang digunakan untuk menentukan perolehan kursi. Secara garis besar teknik penghitungan suara dipilah menjadi dua, yaitu teknik kuota dan divisor. Teknik kuota atau dikenal juga dengan suara sisa terbesar (the largest remainder) terdapat beberapa varian di antaranya varian Hare dan Droop.
  • Ciri umum dari teknik kuota adalah adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap, tergantung pada jumlah pemilih. Teknik divisor atau dikenal juga dengan perhitungan rata-rata angka tertinggi (the higest average) muncul berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada teknik kuota. Beberapa varian dari teknik divisor adalah D’Hondt, Saint Lague. 4) Sistem campuran Sistem pemilu campuran merupakan perpaduan penerapan secara bersama-sama sistem distrik dengan sistem proporsional dalam suatu negara. Sistem ini meliputi sistem parallel dan mixed member proportional. d. Sistem pemilu di luar ketiga sistem utama Sistem ini merupakan campuran antara sistem distrik dan proporsional. Varian dari sistem ini adalah single non-transferable vote, limited vote, dan borda count. Setiap sistem pemilu mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing yang berimplikasi pada pembangunan politik.

Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun
pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, dan terjadi pembaharuan politik hukum pemilu dan pemilukada baik dalam revisi atas regulasi politik yang sudah ada, maupun aturan main dalam undang-undang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Pilkada serentak pertama kali yang telah diselenggarakan pada tahun 2015 memberikan banyak pembelajaran dan dinamika pemikiran baru kepemiluan lokal. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan sejumlah aktivis pemilu dan calon peserta pemilu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu norma dalam UU Pilkada yang dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya. Selanjutnya, pasca pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 hingga gugatan MK terdapat pembelajaran yang tidak kalah pentingnya, mulai dari syarat selisih suara yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada untuk dapat diajukan gugatan penyelesaian perselisihan hasil pilkada, hingga syarat calon perseorangan. Dinamika tersebut pada akhirnya berlanjut pembahasan-pembahasan di DPR & KPU sebagai evaluasi, koordinasi dan konsolidasi.

Perubahan paradigma berkonstitusi dalam memahami makna pemilu didalam UUD 1945 membawa angin segar bagi praktik ketatanegaraan Indonesia melalui putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 antara lain mempertimbangkan: “Apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pilpres adalah dilakukan serentak dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.

Begitu pula pada pemilu tahun 2019 yang baru saja dilaksanakan pada 17 April 2009 yang lalu, sesungguhnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa indonesia karena pada pemilu kali ini digunakan sistem proporsional daftar terbuka dengan penggunaan suara terbanyak. Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2009 didasarkan pada Undang-Undang RI No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPR, DPD dan DPRD ), Presiden dan wakil presiden.

Sistem pemilihan umum yang baru pasca reformasi ditandai dengan :

  1. Dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat langsung memilih tokoh-tokoh yang dipercaya mampu mewakilinya dalam lembaga legislatif.
  2. Adanya lembaga yang memiliki tugas dan kewajiban dalam melaksanakan pemilihan umum ( KPU).
  3. Terdapat pula sebuah lembaga atau badan/ panitia yang bertugas mengawasi jalannya pemilihan umum agar dapat berlangsung secara jujur dan adil (BAWASLU).

Berdasarkan Pasal 3 UU No 7/2017 tentang Pemilu, asas penyelengaraan pemilu harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu :

  1. Mandiri
  2. Jujur
  3. Adil
  4. Kepastian hukum
  5. Tertib penyelenggaraan pemilu
  6. Kepentingan umum
  7. Keterbukaan
  8. Proporsionalitas
  9. Profesionalitas
  10. Akuntabilitas
  11. Efesiensi
  12. Efektivitas

Pemilihan umum tahun 2019 dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan pemilihan umum masa sebelumnya. Perbedaan ini dilakukan mengikuti perubahan-perubahan terhadap undang-undang mengenai pemilihan umum. Agar pemilihan umum dapat terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, edukatif dan akuntabel, maka menurut Chairullah Gultom ( 2005: 7 ) terdapat beberapa aspek / komponen yang harus dipersiapkan dengan baik yaitu :

  1. Komponen yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum.
  2. Kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum pada semua tingkatan baik pada tingkat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
  3. Kesiapan masyarakat sebagai pemilih dan partai politik sebagai peserta pemilu.
  4. Sumber daya ( waktu, dana, sumber daya manusia, peralatan/ perlengkapan ) untuk melaksakannya.

Seiring dengan menguatnya tuntutan dan keinginan dari sebagian besar rakyat agar proses pelaksanaan pemilu pada setiap periode dilaksanakan dengan lebih baik, jujur dan adil maka pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019, pemerintah melalui DPR telah melakukan amandemen terhadap pemilihan umum, diantaranya adalah

  1. Yaitu mulai diterapkanya sistem mencoblos atau melobangi pada kertas suara dalam pemilu 2019, hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menggunakan cara pencontrengan atau penandaan gambar partai politik ataupun caleg pada kertas suara
  2. Pemilu 2019 menerapkan penggunaan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih yang akan duduk dikursi legeslatif, hal ini berbeda dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang masih menggunakan sistem nomor urut dalam menentukan siapakah wakil partai yang akan duduk di kursi legeslatif Perubahan tata cara dari mencoblos menjadi mencontreng dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi rakyat dalam proses pemungutan suara, karena dengan cara mencontreng dianggap lebih mudah dan efisien dalam hal pengehematan waktu, sehingga masyarakat pada saat pelaksanaan pemilu tidak lagi melakukan antrian yang lama di TPS-TPS, dengan mencontereng diharapkan pelaksanaan waktu pemilihan umum yang dilangsungkan hanya satu hari saja sejak pukul 8.00 – 13.00 dapat lebih efektif bagi masyarakat.

Perubahan dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak dalam menentukan calon anggota legeslatif yang akan duduk baik itu di DPR dan DPRD Kabupaten/ Kota, sesungguhnya telah membuka peluang yang lebih terbuka, lebih sehat dan lebih demokratis bagi setiap caleg untuk dapat bersaing karena masing-masing caleg memiliki peluang yang sama besarnya untuk dapat duduk di kursi legislatif. Namun seiring dengan hal itu pula maka pelaksanaan pemilu juga dituntut untuk dapat menyiapkan perangkat dan kesiapan dengan lebih baik lagi karena semakin maju dan modernnya sebuah sistem demokrasi yang digunakan pada suatu negara maka harus pula diimbangi dengan adanya perangkat penyelenggara pemilu yang juga modern dan mampu bekerja secara optimal dan efektif dalam mensosialisasikan segala perubahan dan informasi mengenai pemilu agar pelaksanaan pemilu mampu berjalan dengan baik dan menuai hasil yang positif tidak hanya bagi pemerintah dan lembaga legislatif akan tetapi juga bagi rakyat.

KESIMPULAN

Penulis memberikan simpulan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di Indonesia akan berjalan dengan baik dan menuju ke arah demokrasi yang substansial, apabila semua perangkat penyelenggara pemilu pusat maupun daerah, peserta pemilu, maupun masyarakat memiliki konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk taat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari ketaatan warga negara terhadap UUD 1945. Selain itu, diperhatikan pula perangkat aturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan, mekanisme dan prosedur yang rinci serta sanksi beserta penegakan hukum yang baik dari sisi kepastian hukum maupun dari sisi budaya hukum masyarakat. Aspek kepastian hukum dan aspek budaya hukum sangat penting dipenuhi agar tujuan pemilu dan pemilukada dapat mencapai sasaran yang diidealkan

SISTEM PEMILU DAN PEMILUKADA PASCA REFORMASI

Oleh : Indra Setiawan, SH

  1. PENDAHULUAN

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan Pemlihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar“. Makna dari kedaulatan ditangan Rakyat ini ialah rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mejemuk dan berwawasan kebangsaan, Partai Politik adalah merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin, baik untuk tingkat nasional maupun daerah dan rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara, oleh karena itu peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik, dan selain itu untuk mengakomodasi aspirasi ke-anekaragaman daerah maka dibentuk Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan bersamaan dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Dalam perkembangan politik di Indonesia saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah era reformasi, semangat untuk menenggelamkan praktik-praktik berpolitik yang dianggap penuh rekayasa, manipulatif, tidak adil dan represif telah memberikan energi besar kepada semua komponen bangsa untuk menciptakan suasana politik yang lebih terbuka, transparan, jujur dan adil.

Pasca reformasi 1998 telah menyebabkan kesadaran pada rakyat untuk menuntut kepada pemerintah agar dapat melaksanakan sebuah proses demokrasi yang baik melalui pemilihan umum yang berkualitas, sehingga sejak pemilu 1999 pemerintah telah melakukan penataan format pemilu menjadi sebuah pemilu yang lebih adil dan demokratis, sangat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu di era orede baru yang penuh rekayasa, manipulatif dan cenderung hanya merupakan formalitas saja karena pemilu sudah bercampur dengan pengaruh dan kepentingan penguasa , maka agar pemilu dapat berjalan dengan lebih demokratis, sejak pemilu tahun 1999 telah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara pemilu yaitu sebuah badan yang secara khusus bertugas untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemilu yang bernama Komisi Pemilihan Umum atau disebut (KPU). Menurut Pasal 1 ayat (8) UU 7/2017 Tentang Pemilu, yang dimaksud Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu.

Di dalam sistem ketatanegaraan modern, model pembagian kekuasaan menjadi tiga bidang (Trias Politica, Montesque), yakni legeslatif, eksekutif dan yudikatif, sesungguhnya tidaklah memadai lagi karena kehidupan politik kenegaraan sudah sedemikian kompleks, sehingga tiga lembaga yang membidangi legeslatif, eksekutif dan yudikatif tidak mampu lagi menjalankan semua tugas kenegaraan. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya lembaga-lembaga tambahan atau The Auxilliary State Agency. Kehadiran lembaga negara tambahan independent menjadi semakin penting dalam rangka menjaga proses demokratisasi yang tengah dikembangkan oleh Negara yang baru saja melepaskan diri dari sistem authoritarian. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diposisikan, yakni sebagai penggerak proses demokratisasi lewat kegiatan pemilu (Supriyanto, Didik. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perludem, DRSP, dan USAID. 2007. hal 127 ).

Pemilihan Umum merupakan sebuah sarana demokrasi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara saat ini, karena dalam pemilihan umumlah kita dapat melihat perwujudan nyata terdapatnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itulah pemilu seringkali dijadikan tolak ukur sejauh mana suatu negara benar-benar telah melaksanakan demokrasi ( Renstra KPU Tahun 2002-2005). Penyelenggaraan pemilu secara berkala merupakan suatu keharusan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legimitasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyatlah yang akan melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang merakyat. Pemerintahan berdasarkan asas kerakyatan juga mengandung arti kontrol rakyat terhadap penyelengaraan pemerintahan.

Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional, yang menjadi tolak ukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional yang menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. Indikator dari standar tersebut meliputi 15 aspek yaitu antara lain ; (Nur Hidayat Sardini, Penegakan hukum pemilu: Praktik Pemilu 2004, kajian pemilu 2009-2014, Jakarta: NH Sardini, 2007, hal 2)

  1. Penyusunan kerangka hukum
  2. Pemilihan sistem pemilu
  3. Penetapan daerah pemiihan
  4. Hak untuk memilih dan dipilih
  5. Badan penyelenggara pemilu
  6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih
  7. Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat
  8. Kampanye pemilu yang demokratis
  9. Akses ke media dan kebebasan berekspresi
  10. Pembiayaan dan pengeluaran
  11. Pemungutan suara
  12. Peranan wakil partai dan kandidat
  13. Pemantauan pemilu
  14. Penataan peraturan pemilu
  15. Penegakan peraturan pemilu Kelima belas

Aspek tersebut saling terkait dan secara bersama sama menjadi faktor penentu terselenggaranya pemilu yang demokratis, artinya apabila terdapat satu aspek yang berjalan kurang baik, maka hal itu akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain, sehingga secara keseluruhan akan berdampak pada kualitas pemilu. Pemilu harus dilakukan secara jujur, adil dan demokratis. Agar pemilu dapat mencapai derajat tersebut maka diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang mendukungnya. Syarat-syarat tersebut dipergunakan untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas sehingga mendapatkan pejabat publik yang legitimate. Syarat minimal dari pemilu adalah free dan fair. Indikator tersebut digunakan untuk menilai apakah sistem pemilu tersebut cocok bagi sebuah negara atau tidak. Indikator tersebut adalah: akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliabel, numerical (CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm.256)

  1. PEMBAHASAN

Sepanjang sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019. Namun sejak pemilu tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang berbeda dari pemilihan umum sebelumnya, karena sejak pemilu tahun 2004 pemilu yang dilaksanakan merupakan pemilihan umum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena pemilihan umum yang dilaksanakan telah menggunakan sistem yang berbeda dari pemilihan umum yang sebelumnya.

Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur dan memungkinkan warga negara memilih para wakil rakyat di antara mereka sendiri. Dalam pemilu tersebut warga negara berhak untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di jabatan publik. Dalam menggunakan suaranya tersebut tentu saja haruslah didukung kondisi yang memungkinkan

warga negara memilih secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Ada dua elemen utama dari Pemilu. Kedua elemen tersebut ialah:

  1. Elemen Electoral Law yaitu aturan main berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang harus ditaati oleh setiap kontestan pemilu. Electoral law terdiri dari dua jenis, yaitu Plural Majority dan Proportional Representation.
  2. Elemen Electoral Process ialah metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi di lembaga perwakilan. Electoral process meliputi D‟Hont, St. League, Electoral Threshold, dan Parliamentary

Pemilihan Umum Menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni:

  • Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).
  • Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  • Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik

Sistem pemilu memiliki dimensi yang sangat kompleks. Beberapa dimensi tersebut antara lain adalah (Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009) :

  • Penyuaraan (balloting). Penyuaraan adalah tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaraan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kategorikal (pemilih hanya memilih satu partai atau calon) dan ordinal (pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya.
  • Besaran distrik (district magnitude). Besaran distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik dapat dibagi menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Besaran distrik berpengaruh terhadap tingkat kompetisi partai dalam memperebutkan kursi. Semakin besar magnitude sebuah distrik maka semakin rendah kompetisi partai untuk memperebutkan kursi. Sebaliknya, semakin kecil magnitude sebuah distrik maka semakin ketat kompetisi partai untuk memperebutkan kursi.
  • Pembuatan batas-batas representasi (pendistrikan). Cara penentuan distrik merupakan hal yang krusial di dalam pemilu. Ada dua hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan batas-batas pendistrikan, yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara
  • Formula pemilihan (electoral formula). Formula pemilihan adalah membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Secara umum formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang.
  • Ambang batas (threshold). Threshold yaitu tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh sebuah partai untuk mendapatkan perwakilan. Batas minimal itu biasanya diwujudkan dalam prosentase dari hasil pemilu.
  • Jumlah kursi legislatif. Berapakah jumlah kursi legislatif yang ideal adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Belum diketahui mengapa suatu negara menetapkan jumlah kursi di parlemen beserta alasannya.

Sistem pemilu di dunia terbagi ke dalam 4 (empat) keluarga besar, yaitu sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem di luar ketiga sistem utama. Secara rinci keluarga sistem pemilu tersebut dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini (Bintan R. Saragih, Hukum Tata Negara, Bandung: C.V. Utomo, 2006, hlm.178)

  • Sistem Distrik Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya didasarkan atas jumlah penduduk. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian block vote dan party block vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil semua suara yang didapatnya. Sistem ini terbagi atas first past the post, alternative vote, two round system, block vote.
  • Sistem proporsional Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut. Dalam sistem ini dikenal istilah district magnitude. Variasi dari sistem ini adalah proportional representation dan single transferable vote. Pada sistem proporsional ada sejumlah mekanisme yang digunakan untuk menentukan perolehan kursi. Secara garis besar teknik penghitungan suara dipilah menjadi dua, yaitu teknik kuota dan divisor. Teknik kuota atau dikenal juga dengan suara sisa terbesar (the largest remainder) terdapat beberapa varian di antaranya varian Hare dan Droop.
  • Ciri umum dari teknik kuota adalah adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap, tergantung pada jumlah pemilih. Teknik divisor atau dikenal juga dengan perhitungan rata-rata angka tertinggi (the higest average) muncul berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada teknik kuota. Beberapa varian dari teknik divisor adalah D’Hondt, Saint Lague. 4) Sistem campuran Sistem pemilu campuran merupakan perpaduan penerapan secara bersama-sama sistem distrik dengan sistem proporsional dalam suatu negara. Sistem ini meliputi sistem parallel dan mixed member proportional. d. Sistem pemilu di luar ketiga sistem utama Sistem ini merupakan campuran antara sistem distrik dan proporsional. Varian dari sistem ini adalah single non-transferable vote, limited vote, dan borda count. Setiap sistem pemilu mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing yang berimplikasi pada pembangunan politik.

Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun
pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, dan terjadi pembaharuan politik hukum pemilu dan pemilukada baik dalam revisi atas regulasi politik yang sudah ada, maupun aturan main dalam undang-undang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Pilkada serentak pertama kali yang telah diselenggarakan pada tahun 2015 memberikan banyak pembelajaran dan dinamika pemikiran baru kepemiluan lokal. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan sejumlah aktivis pemilu dan calon peserta pemilu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu norma dalam UU Pilkada yang dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya. Selanjutnya, pasca pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 hingga gugatan MK terdapat pembelajaran yang tidak kalah pentingnya, mulai dari syarat selisih suara yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada untuk dapat diajukan gugatan penyelesaian perselisihan hasil pilkada, hingga syarat calon perseorangan. Dinamika tersebut pada akhirnya berlanjut pembahasan-pembahasan di DPR & KPU sebagai evaluasi, koordinasi dan konsolidasi.

Perubahan paradigma berkonstitusi dalam memahami makna pemilu didalam UUD 1945 membawa angin segar bagi praktik ketatanegaraan Indonesia melalui putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 antara lain mempertimbangkan: “Apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pilpres adalah dilakukan serentak dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.

Begitu pula pada pemilu tahun 2019 yang baru saja dilaksanakan pada 17 April 2009 yang lalu, sesungguhnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa indonesia karena pada pemilu kali ini digunakan sistem proporsional daftar terbuka dengan penggunaan suara terbanyak. Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2009 didasarkan pada Undang-Undang RI No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPR, DPD dan DPRD ), Presiden dan wakil presiden.

Sistem pemilihan umum yang baru pasca reformasi ditandai dengan :

  1. Dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat langsung memilih tokoh-tokoh yang dipercaya mampu mewakilinya dalam lembaga legislatif.
  2. Adanya lembaga yang memiliki tugas dan kewajiban dalam melaksanakan pemilihan umum ( KPU).
  3. Terdapat pula sebuah lembaga atau badan/ panitia yang bertugas mengawasi jalannya pemilihan umum agar dapat berlangsung secara jujur dan adil (BAWASLU).

Berdasarkan Pasal 3 UU No 7/2017 tentang Pemilu, asas penyelengaraan pemilu harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu :

  1. Mandiri
  2. Jujur
  3. Adil
  4. Kepastian hukum
  5. Tertib penyelenggaraan pemilu
  6. Kepentingan umum
  7. Keterbukaan
  8. Proporsionalitas
  9. Profesionalitas
  10. Akuntabilitas
  11. Efesiensi
  12. Efektivitas

Pemilihan umum tahun 2019 dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan pemilihan umum masa sebelumnya. Perbedaan ini dilakukan mengikuti perubahan-perubahan terhadap undang-undang mengenai pemilihan umum. Agar pemilihan umum dapat terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, edukatif dan akuntabel, maka menurut Chairullah Gultom ( 2005: 7 ) terdapat beberapa aspek / komponen yang harus dipersiapkan dengan baik yaitu :

  1. Komponen yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum.
  2. Kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum pada semua tingkatan baik pada tingkat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
  3. Kesiapan masyarakat sebagai pemilih dan partai politik sebagai peserta pemilu.
  4. Sumber daya ( waktu, dana, sumber daya manusia, peralatan/ perlengkapan ) untuk melaksakannya.

Seiring dengan menguatnya tuntutan dan keinginan dari sebagian besar rakyat agar proses pelaksanaan pemilu pada setiap periode dilaksanakan dengan lebih baik, jujur dan adil maka pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019, pemerintah melalui DPR telah melakukan amandemen terhadap pemilihan umum, diantaranya adalah

  1. Yaitu mulai diterapkanya sistem mencoblos atau melobangi pada kertas suara dalam pemilu 2019, hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menggunakan cara pencontrengan atau penandaan gambar partai politik ataupun caleg pada kertas suara
  2. Pemilu 2019 menerapkan penggunaan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih yang akan duduk dikursi legeslatif, hal ini berbeda dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang masih menggunakan sistem nomor urut dalam menentukan siapakah wakil partai yang akan duduk di kursi legeslatif Perubahan tata cara dari mencoblos menjadi mencontreng dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi rakyat dalam proses pemungutan suara, karena dengan cara mencontreng dianggap lebih mudah dan efisien dalam hal pengehematan waktu, sehingga masyarakat pada saat pelaksanaan pemilu tidak lagi melakukan antrian yang lama di TPS-TPS, dengan mencontereng diharapkan pelaksanaan waktu pemilihan umum yang dilangsungkan hanya satu hari saja sejak pukul 8.00 – 13.00 dapat lebih efektif bagi masyarakat.

Perubahan dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak dalam menentukan calon anggota legeslatif yang akan duduk baik itu di DPR dan DPRD Kabupaten/ Kota, sesungguhnya telah membuka peluang yang lebih terbuka, lebih sehat dan lebih demokratis bagi setiap caleg untuk dapat bersaing karena masing-masing caleg memiliki peluang yang sama besarnya untuk dapat duduk di kursi legislatif. Namun seiring dengan hal itu pula maka pelaksanaan pemilu juga dituntut untuk dapat menyiapkan perangkat dan kesiapan dengan lebih baik lagi karena semakin maju dan modernnya sebuah sistem demokrasi yang digunakan pada suatu negara maka harus pula diimbangi dengan adanya perangkat penyelenggara pemilu yang juga modern dan mampu bekerja secara optimal dan efektif dalam mensosialisasikan segala perubahan dan informasi mengenai pemilu agar pelaksanaan pemilu mampu berjalan dengan baik dan menuai hasil yang positif tidak hanya bagi pemerintah dan lembaga legislatif akan tetapi juga bagi rakyat.

KESIMPULAN

Penulis memberikan simpulan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di Indonesia akan berjalan dengan baik dan menuju ke arah demokrasi yang substansial, apabila semua perangkat penyelenggara pemilu pusat maupun daerah, peserta pemilu, maupun masyarakat memiliki konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk taat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari ketaatan warga negara terhadap UUD 1945. Selain itu, diperhatikan pula perangkat aturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan, mekanisme dan prosedur yang rinci serta sanksi beserta penegakan hukum yang baik dari sisi kepastian hukum maupun dari sisi budaya hukum masyarakat. Aspek kepastian hukum dan aspek budaya hukum sangat penting dipenuhi agar tujuan pemilu dan pemilukada dapat mencapai sasaran yang diidealkan

SISTEM PEMILU DAN PEMILUKADA PASCA REFORMASI

Oleh : Indra Setiawan, SH

  1. PENDAHULUAN

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dimaksud dengan Pemlihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar“. Makna dari kedaulatan ditangan Rakyat ini ialah rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mejemuk dan berwawasan kebangsaan, Partai Politik adalah merupakan saluran untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, sekaligus sebagai sarana kaderisasi dan rekrutmen pemimpin, baik untuk tingkat nasional maupun daerah dan rekrutmen pimpinan berbagai komponen penyelenggara negara, oleh karena itu peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik, dan selain itu untuk mengakomodasi aspirasi ke-anekaragaman daerah maka dibentuk Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) yang anggota-anggotanya dipilih dari perseorangan bersamaan dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD.

Dalam perkembangan politik di Indonesia saat ini telah banyak mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah era reformasi, semangat untuk menenggelamkan praktik-praktik berpolitik yang dianggap penuh rekayasa, manipulatif, tidak adil dan represif telah memberikan energi besar kepada semua komponen bangsa untuk menciptakan suasana politik yang lebih terbuka, transparan, jujur dan adil.

Pasca reformasi 1998 telah menyebabkan kesadaran pada rakyat untuk menuntut kepada pemerintah agar dapat melaksanakan sebuah proses demokrasi yang baik melalui pemilihan umum yang berkualitas, sehingga sejak pemilu 1999 pemerintah telah melakukan penataan format pemilu menjadi sebuah pemilu yang lebih adil dan demokratis, sangat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu di era orede baru yang penuh rekayasa, manipulatif dan cenderung hanya merupakan formalitas saja karena pemilu sudah bercampur dengan pengaruh dan kepentingan penguasa , maka agar pemilu dapat berjalan dengan lebih demokratis, sejak pemilu tahun 1999 telah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara pemilu yaitu sebuah badan yang secara khusus bertugas untuk mengadakan atau menyelenggarakan pemilu yang bernama Komisi Pemilihan Umum atau disebut (KPU). Menurut Pasal 1 ayat (8) UU 7/2017 Tentang Pemilu, yang dimaksud Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu.

Di dalam sistem ketatanegaraan modern, model pembagian kekuasaan menjadi tiga bidang (Trias Politica, Montesque), yakni legeslatif, eksekutif dan yudikatif, sesungguhnya tidaklah memadai lagi karena kehidupan politik kenegaraan sudah sedemikian kompleks, sehingga tiga lembaga yang membidangi legeslatif, eksekutif dan yudikatif tidak mampu lagi menjalankan semua tugas kenegaraan. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya lembaga-lembaga tambahan atau The Auxilliary State Agency. Kehadiran lembaga negara tambahan independent menjadi semakin penting dalam rangka menjaga proses demokratisasi yang tengah dikembangkan oleh Negara yang baru saja melepaskan diri dari sistem authoritarian. Dalam konteks inilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diposisikan, yakni sebagai penggerak proses demokratisasi lewat kegiatan pemilu (Supriyanto, Didik. Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perludem, DRSP, dan USAID. 2007. hal 127 ).

Pemilihan Umum merupakan sebuah sarana demokrasi yang sangat penting dalam kehidupan bernegara saat ini, karena dalam pemilihan umumlah kita dapat melihat perwujudan nyata terdapatnya demokrasi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itulah pemilu seringkali dijadikan tolak ukur sejauh mana suatu negara benar-benar telah melaksanakan demokrasi ( Renstra KPU Tahun 2002-2005). Penyelenggaraan pemilu secara berkala merupakan suatu keharusan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legimitasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyatlah yang akan melahirkan penyelenggaraan pemerintahan yang merakyat. Pemerintahan berdasarkan asas kerakyatan juga mengandung arti kontrol rakyat terhadap penyelengaraan pemerintahan.

Terdapat sejumlah standar yang dikenal secara internasional, yang menjadi tolak ukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional yang menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. Indikator dari standar tersebut meliputi 15 aspek yaitu antara lain ; (Nur Hidayat Sardini, Penegakan hukum pemilu: Praktik Pemilu 2004, kajian pemilu 2009-2014, Jakarta: NH Sardini, 2007, hal 2)

  1. Penyusunan kerangka hukum
  2. Pemilihan sistem pemilu
  3. Penetapan daerah pemiihan
  4. Hak untuk memilih dan dipilih
  5. Badan penyelenggara pemilu
  6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih
  7. Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat
  8. Kampanye pemilu yang demokratis
  9. Akses ke media dan kebebasan berekspresi
  10. Pembiayaan dan pengeluaran
  11. Pemungutan suara
  12. Peranan wakil partai dan kandidat
  13. Pemantauan pemilu
  14. Penataan peraturan pemilu
  15. Penegakan peraturan pemilu Kelima belas

Aspek tersebut saling terkait dan secara bersama sama menjadi faktor penentu terselenggaranya pemilu yang demokratis, artinya apabila terdapat satu aspek yang berjalan kurang baik, maka hal itu akan mempengaruhi aspek-aspek yang lain, sehingga secara keseluruhan akan berdampak pada kualitas pemilu. Pemilu harus dilakukan secara jujur, adil dan demokratis. Agar pemilu dapat mencapai derajat tersebut maka diperlukan beberapa syarat atau prakondisi yang mendukungnya. Syarat-syarat tersebut dipergunakan untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas sehingga mendapatkan pejabat publik yang legitimate. Syarat minimal dari pemilu adalah free dan fair. Indikator tersebut digunakan untuk menilai apakah sistem pemilu tersebut cocok bagi sebuah negara atau tidak. Indikator tersebut adalah: akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, reliabel, numerical (CST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm.256)

  1. PEMBAHASAN

Sepanjang sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 12 (dua belas) kali pemilihan umum yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019. Namun sejak pemilu tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang berbeda dari pemilihan umum sebelumnya, karena sejak pemilu tahun 2004 pemilu yang dilaksanakan merupakan pemilihan umum yang bersifat khusus. Dikatakan khusus karena pemilihan umum yang dilaksanakan telah menggunakan sistem yang berbeda dari pemilihan umum yang sebelumnya.

Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur dan memungkinkan warga negara memilih para wakil rakyat di antara mereka sendiri. Dalam pemilu tersebut warga negara berhak untuk memilih wakilwakilnya yang akan duduk di jabatan publik. Dalam menggunakan suaranya tersebut tentu saja haruslah didukung kondisi yang memungkinkan

warga negara memilih secara bebas tanpa adanya tekanan dari pihak lain. Ada dua elemen utama dari Pemilu. Kedua elemen tersebut ialah:

  1. Elemen Electoral Law yaitu aturan main berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang harus ditaati oleh setiap kontestan pemilu. Electoral law terdiri dari dua jenis, yaitu Plural Majority dan Proportional Representation.
  2. Elemen Electoral Process ialah metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih menjadi kursi di lembaga perwakilan. Electoral process meliputi D‟Hont, St. League, Electoral Threshold, dan Parliamentary

Pemilihan Umum Menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni:

  • Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).
  • Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  • Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik

Sistem pemilu memiliki dimensi yang sangat kompleks. Beberapa dimensi tersebut antara lain adalah (Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2009) :

  • Penyuaraan (balloting). Penyuaraan adalah tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaraan dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kategorikal (pemilih hanya memilih satu partai atau calon) dan ordinal (pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya.
  • Besaran distrik (district magnitude). Besaran distrik adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu distrik pemilihan. Besar distrik dapat dibagi menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Besaran distrik berpengaruh terhadap tingkat kompetisi partai dalam memperebutkan kursi. Semakin besar magnitude sebuah distrik maka semakin rendah kompetisi partai untuk memperebutkan kursi. Sebaliknya, semakin kecil magnitude sebuah distrik maka semakin ketat kompetisi partai untuk memperebutkan kursi.
  • Pembuatan batas-batas representasi (pendistrikan). Cara penentuan distrik merupakan hal yang krusial di dalam pemilu. Ada dua hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan batas-batas pendistrikan, yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara
  • Formula pemilihan (electoral formula). Formula pemilihan adalah membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Secara umum formula pemilihan dibedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang.
  • Ambang batas (threshold). Threshold yaitu tingkat minimal dukungan yang harus diperoleh sebuah partai untuk mendapatkan perwakilan. Batas minimal itu biasanya diwujudkan dalam prosentase dari hasil pemilu.
  • Jumlah kursi legislatif. Berapakah jumlah kursi legislatif yang ideal adalah sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Belum diketahui mengapa suatu negara menetapkan jumlah kursi di parlemen beserta alasannya.

Sistem pemilu di dunia terbagi ke dalam 4 (empat) keluarga besar, yaitu sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem di luar ketiga sistem utama. Secara rinci keluarga sistem pemilu tersebut dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini (Bintan R. Saragih, Hukum Tata Negara, Bandung: C.V. Utomo, 2006, hlm.178)

  • Sistem Distrik Dalam sistem ini wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya didasarkan atas jumlah penduduk. Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian block vote dan party block vote. Kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil semua suara yang didapatnya. Sistem ini terbagi atas first past the post, alternative vote, two round system, block vote.
  • Sistem proporsional Dalam sistem ini proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut. Dalam sistem ini dikenal istilah district magnitude. Variasi dari sistem ini adalah proportional representation dan single transferable vote. Pada sistem proporsional ada sejumlah mekanisme yang digunakan untuk menentukan perolehan kursi. Secara garis besar teknik penghitungan suara dipilah menjadi dua, yaitu teknik kuota dan divisor. Teknik kuota atau dikenal juga dengan suara sisa terbesar (the largest remainder) terdapat beberapa varian di antaranya varian Hare dan Droop.
  • Ciri umum dari teknik kuota adalah adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap, tergantung pada jumlah pemilih. Teknik divisor atau dikenal juga dengan perhitungan rata-rata angka tertinggi (the higest average) muncul berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada teknik kuota. Beberapa varian dari teknik divisor adalah D’Hondt, Saint Lague. 4) Sistem campuran Sistem pemilu campuran merupakan perpaduan penerapan secara bersama-sama sistem distrik dengan sistem proporsional dalam suatu negara. Sistem ini meliputi sistem parallel dan mixed member proportional. d. Sistem pemilu di luar ketiga sistem utama Sistem ini merupakan campuran antara sistem distrik dan proporsional. Varian dari sistem ini adalah single non-transferable vote, limited vote, dan borda count. Setiap sistem pemilu mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing yang berimplikasi pada pembangunan politik.

Pasca perubahan UUD 1945, baik pemilihan anggota legislatif maupun
pemilihan pelaksana kekuasaan eksekutif dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, dan terjadi pembaharuan politik hukum pemilu dan pemilukada baik dalam revisi atas regulasi politik yang sudah ada, maupun aturan main dalam undang-undang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Pilkada serentak pertama kali yang telah diselenggarakan pada tahun 2015 memberikan banyak pembelajaran dan dinamika pemikiran baru kepemiluan lokal. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan sejumlah aktivis pemilu dan calon peserta pemilu mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu norma dalam UU Pilkada yang dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya. Selanjutnya, pasca pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 hingga gugatan MK terdapat pembelajaran yang tidak kalah pentingnya, mulai dari syarat selisih suara yang diatur dalam Pasal 157 UU Pilkada untuk dapat diajukan gugatan penyelesaian perselisihan hasil pilkada, hingga syarat calon perseorangan. Dinamika tersebut pada akhirnya berlanjut pembahasan-pembahasan di DPR & KPU sebagai evaluasi, koordinasi dan konsolidasi.

Perubahan paradigma berkonstitusi dalam memahami makna pemilu didalam UUD 1945 membawa angin segar bagi praktik ketatanegaraan Indonesia melalui putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 antara lain mempertimbangkan: “Apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pilpres adalah dilakukan serentak dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.

Begitu pula pada pemilu tahun 2019 yang baru saja dilaksanakan pada 17 April 2009 yang lalu, sesungguhnya merupakan pengalaman baru bagi bangsa indonesia karena pada pemilu kali ini digunakan sistem proporsional daftar terbuka dengan penggunaan suara terbanyak. Penyelenggaraan pemilihan umum pada tahun 2009 didasarkan pada Undang-Undang RI No. 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPR, DPD dan DPRD ), Presiden dan wakil presiden.

Sistem pemilihan umum yang baru pasca reformasi ditandai dengan :

  1. Dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat langsung memilih tokoh-tokoh yang dipercaya mampu mewakilinya dalam lembaga legislatif.
  2. Adanya lembaga yang memiliki tugas dan kewajiban dalam melaksanakan pemilihan umum ( KPU).
  3. Terdapat pula sebuah lembaga atau badan/ panitia yang bertugas mengawasi jalannya pemilihan umum agar dapat berlangsung secara jujur dan adil (BAWASLU).

Berdasarkan Pasal 3 UU No 7/2017 tentang Pemilu, asas penyelengaraan pemilu harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut, yaitu :

  1. Mandiri
  2. Jujur
  3. Adil
  4. Kepastian hukum
  5. Tertib penyelenggaraan pemilu
  6. Kepentingan umum
  7. Keterbukaan
  8. Proporsionalitas
  9. Profesionalitas
  10. Akuntabilitas
  11. Efesiensi
  12. Efektivitas

Pemilihan umum tahun 2019 dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip yang berbeda dengan pemilihan umum masa sebelumnya. Perbedaan ini dilakukan mengikuti perubahan-perubahan terhadap undang-undang mengenai pemilihan umum. Agar pemilihan umum dapat terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, edukatif dan akuntabel, maka menurut Chairullah Gultom ( 2005: 7 ) terdapat beberapa aspek / komponen yang harus dipersiapkan dengan baik yaitu :

  1. Komponen yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum.
  2. Kesiapan penyelenggaraan pemilihan umum pada semua tingkatan baik pada tingkat perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
  3. Kesiapan masyarakat sebagai pemilih dan partai politik sebagai peserta pemilu.
  4. Sumber daya ( waktu, dana, sumber daya manusia, peralatan/ perlengkapan ) untuk melaksakannya.

Seiring dengan menguatnya tuntutan dan keinginan dari sebagian besar rakyat agar proses pelaksanaan pemilu pada setiap periode dilaksanakan dengan lebih baik, jujur dan adil maka pada pelaksanaan pemilihan umum tahun 2019, pemerintah melalui DPR telah melakukan amandemen terhadap pemilihan umum, diantaranya adalah

  1. Yaitu mulai diterapkanya sistem mencoblos atau melobangi pada kertas suara dalam pemilu 2019, hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang menggunakan cara pencontrengan atau penandaan gambar partai politik ataupun caleg pada kertas suara
  2. Pemilu 2019 menerapkan penggunaan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih yang akan duduk dikursi legeslatif, hal ini berbeda dengan pelaksanaan pemilu 2004 yang masih menggunakan sistem nomor urut dalam menentukan siapakah wakil partai yang akan duduk di kursi legeslatif Perubahan tata cara dari mencoblos menjadi mencontreng dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi rakyat dalam proses pemungutan suara, karena dengan cara mencontreng dianggap lebih mudah dan efisien dalam hal pengehematan waktu, sehingga masyarakat pada saat pelaksanaan pemilu tidak lagi melakukan antrian yang lama di TPS-TPS, dengan mencontereng diharapkan pelaksanaan waktu pemilihan umum yang dilangsungkan hanya satu hari saja sejak pukul 8.00 – 13.00 dapat lebih efektif bagi masyarakat.

Perubahan dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak dalam menentukan calon anggota legeslatif yang akan duduk baik itu di DPR dan DPRD Kabupaten/ Kota, sesungguhnya telah membuka peluang yang lebih terbuka, lebih sehat dan lebih demokratis bagi setiap caleg untuk dapat bersaing karena masing-masing caleg memiliki peluang yang sama besarnya untuk dapat duduk di kursi legislatif. Namun seiring dengan hal itu pula maka pelaksanaan pemilu juga dituntut untuk dapat menyiapkan perangkat dan kesiapan dengan lebih baik lagi karena semakin maju dan modernnya sebuah sistem demokrasi yang digunakan pada suatu negara maka harus pula diimbangi dengan adanya perangkat penyelenggara pemilu yang juga modern dan mampu bekerja secara optimal dan efektif dalam mensosialisasikan segala perubahan dan informasi mengenai pemilu agar pelaksanaan pemilu mampu berjalan dengan baik dan menuai hasil yang positif tidak hanya bagi pemerintah dan lembaga legislatif akan tetapi juga bagi rakyat.

KESIMPULAN

Penulis memberikan simpulan bahwa penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di Indonesia akan berjalan dengan baik dan menuju ke arah demokrasi yang substansial, apabila semua perangkat penyelenggara pemilu pusat maupun daerah, peserta pemilu, maupun masyarakat memiliki konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk taat menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari ketaatan warga negara terhadap UUD 1945. Selain itu, diperhatikan pula perangkat aturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan, mekanisme dan prosedur yang rinci serta sanksi beserta penegakan hukum yang baik dari sisi kepastian hukum maupun dari sisi budaya hukum masyarakat. Aspek kepastian hukum dan aspek budaya hukum sangat penting dipenuhi agar tujuan pemilu dan pemilukada dapat mencapai sasaran yang diidealkan