Dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) diatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

Sedangkan, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.

Artinya, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan perkawinan tersebut, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.Demikian halnya jika terjadi perceraian, harta bersama yang harus dibagi antara suami dan istri sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan. Selain itu, menurut yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor1448K/Sip/1974, disebutkan bahwa:

Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.

Jadi, harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, dan wajib dibagi sama rata antara suami istri, baik yang sifatnya piutang maupun utang. Berkitan dengan kasus di atas, jika hakim telah memutuskan bahwa istri berhak atas tanah maka putusan hakim tersebut harus dilaksanakan.

Ketentuan Balik Nama Harta Gono-Gini

Bagaimana cara balik nama tanah tersebut? Dapatkah dilakukan hanya dengan dasar putusan hakim? Benar bahwa sertifikat tanah merupakan hal untuk membuktikan kepemilikan sebuah tanah. Apabila tanah tersebut semulanya atas nama suami maka harus dilakukan balik nama (peralihan hak). Pada dasarnya peralihan hak ini menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) dapat dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan

Apakah putusan hakim dapat dijadikan dasar peralihan hak (balik nama sertifikat tanah)? Sebagaimana informasi yang kami dapatkan melalui laman praktisi hukum Irma Devita Purnamasari dalam artikel Perolehan Hak Atas Tanah Berdasarkan Putusan Hakim Yang Berkekuatan Hukum Tetap, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap termasuk surat atau akta autentik. Balik nama sertifikat dapat dilakukan setelah putusan tersebut in kracht atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Tata cara serta proses balik nama dan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan terhadap tanah hasil pembagian harta bersama antara lain:

  1. Melampirkan Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) pribadi;
  2. Melampirkan KTP mantan suami/istri (dalam hal ini sebagai pemilik tanah sebelumnya);
  3. Melampirkan akta perceraian;
  4. Membawa sertifikat asli tanah;
  5. Membawa bukti pembayaran pajak terutang (dalam hal ini, pemohon hanya membayar ½ dari nilai pajak yang dibebankan, karena ½ lainnya merupakan bagian haknya sebagai perolehan harta bersama);
  6. Aspek legalitas lain yang melekat pada tanah;
  7. Membawa asli atau salinan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  8. Selanjutnya Kepala Pertanahan akan menindaklanjuti dan memutuskan untuk mendaftarakan tanah tersebut atas nama pemohon;
  9. Kantor Pertanahan akan memproses pencatatan data peralihan hak berdasarkan Putusan Pengadilan;
  10. Pemohon berhak mengambil surat tanah yang sudah dialihkan menjadi namanya selama kurang lebih 2 minggu kemudian.