Oleh: Indra Setiawan, S.H, M.H Ketua LBH Pelita Keadilan Bungo

  1. LATAR BELAKANG

Permasalahan tanah seringkali dialami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, sengketa pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa. Hal ini seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan,dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Sengketa di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan semakin meningkat didalam kompleksitas permasalahan maupun kuantitasnya seiring dinamika dibidang ekonomi, sosial dan politik.

Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di negara kita ini belum tertib dan terarah. Masih banyak penggunaan tanah yang saling tumpang tindih dalam berbagai kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Di samping itu, fakta juga menunjukkan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah masih timpang. Ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki tanah secara berlebihan, di lain pihak ada sekelompok besar masyarakat yang hanya memiliki tanah dalam jumlah sangat terbatas, bahkan sama sekali tidak memiliki tanah, sehingga terpaksa hidup sebagai penggarap. Tidak jarang pula, dan bukan barang aneh, timbul ihwal penguasaan tanah oleh oknum-oknum tertentu secara sepihak.

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, antara lain:

  1. Peraturan yang belum lengkap;
  2. Ketidaksesuaian peraturan;
  3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan tanah;
  4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
  5. Data tanah yang keliru;
  6. Keterbatasan SDM yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
  7. Transaksi tanah yang keliru;
  8. Ulah pemohon hak
  9. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga tumpang tindih kewenangan.

Sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan:

  • Pengakuan kepemilikan atas tanah;
  • Peralihan hak atas tanah;
  • Batas Tanah
  • Sertifikat Ganda

Sengketa tanah adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak. Dalam mempertahankan kepentingan masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan main hakim sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya dirugikan, maka ia dapat memutuskan untuk mencari cara-cara penyelesaian sengketa tanah baik litigasi maupun non litigasi.

  1. RUMUSAN MASALAH

Dari permasalahan tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu :

  1. Bagaimana tata cara penyelesaian sengketa tanah ?
  2. Bagaimana jualbeli tanah yang dilindungi hukum?
  3. TUJUAN

Adapun tujuan dari penyuluhan hukum ini yaitu:

  1. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian sengketa tanah
  2. Untuk mengetahui tata cara agar jual beli tanah yang dilindungi hukum
  3. Untuk memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan sengketa hak atas tanah.
  4. MANFAAT

Adapun manfaat penyuluhan hukum ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagi masyarakat, hasil penyuluhan ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan pengetahuan hukum berkaitan dengan penyelesaian sengketa tanah di Kecamatan Rimbo Bujang.
  2. Bagi Pemerintah, hasil penyuluhan ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambil keputusan dalam penanganan sengketa tanah yang sedang terjadi di Kecamatan Rimbo Bujang.
  3. PEMBAHASAN

BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
Penyelesaian sengketa tanah bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun proses non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian melalui non-litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar persidangan atau sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa.

LITIGASI
Proses penyelesaian sengketa tanah oleh para pihak yang bersengketa dapat dilakukan melalui jalur litigasi atau lembaga peradilan negara. Hal ini berarti sengketa tersebut akan diperiksa oleh hakim pengadilan dalam suatu rangkaian persidangan. Penyelenggaraan peradilan dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum dan PTUN.

Kelebihan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, bersifat final, menciptakan kepastian hukum dengan posisi para pihak menang atau kalah (win and lose position), dan dapat dipaksakan pelaksanaan putusannya apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan (eksekusi).

Menurut Sudikno Mertokusumo[1] dikatakan bahwa putusan pengadilan mempunyai tiga macam kekuatan yang merupakan keistimewaan penyelesaian sengketa secara litigasi, yakni putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.

  1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Gugatan Pengadilan Negeri.

Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang sehari-hari memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dari segala perkara perdata dan pidana untuk semua golongan yang berkedudukan dan memiliki daerah hukum di ibukota kabupaten/ kota. Adapun kewenangan Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum adalah sebagai berikut:

  1. Memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat pertama.
  2. Memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat hukum pada instansi pemerintah di daerahnya apabila diminta.
  3. Ketua Pengadilan Negeri berkewajiban melakukan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada ketua Pengadilan Tinggi, ketua Mahkamah Agung, dan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris.

Pada dasarnya, peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam sengketa hak milik atas tanah adalah menetapkan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak atas tanah terperkara.

Prosedur penyelesaian sengketa tanah di Pengadilan Negeri adalah melalui gugatan dari salah satu pihak yang merasa haknya dirugikan oleh orang lain atas dasar Perbuatan Melawan Hukum maupun Wanprestasi.

Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam objek pembahasan ini adalah pengadilan negeri. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.

  1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Tata Usaha Negera.

Sedangkan keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU 51/2009)

Jika dikaitkan dengan persoalan pertanahan, pada dasarnya sertifikat tanah atau dokumen bukti hak atas tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh badan atau pejabat TUN dapat dikategorikan sebagai keputusan TUN.

Lebih lanjut, jika terdapat sertifikat tanah yang memiliki cacat hukum administrasi dalam penerbitannya, sehingga merugikan pihak tertentu, berdasarkan praktik peradilan TUN, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Gugatan pada umumnya dapat berisi tuntutan agar sertifikat hak atas tanah dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan TUN yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi misalnya penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN, maka ia dapat mengajukan gugatan ke PTUN.

  1. Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Laporan Polisi

Tindak pidana penyerobotan tanah sebenarnya bukanlah suatu istilah baru dalam hukum pidana tetapi mempakan istilah yang sama dengan kejahatan pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku Ke II KUHP, hanya saja kejahatan di bidang pertanahan ini berhubungan dengan tanah atau pertanahan sebagai objek atau salah satu unsur adanya kejahatan[2].

Tindak pidana penyerobotan tanah oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap tanah milik orang lain dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Karena itu, perbuatan tersebut dapat digugat menurut hukum perdata ataupun dituntut menurut hukum pidana[3].

Dalam tindak pidana penyerobotan tanah dibagi dalam tiga kategori berdasarkan waktu terjadinya perbuatan kejahatan tersebut, yaitu;

  1. Pra-Perolehan

Pra-Perolehan; merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan sebelum diperoleh/didapatkannya suatu hak atas tanah. Pada kelompok tindak pidana ini, maka unsur utama dan penting untuk ditemukan adalah adanya perbuatan melanggar dan/atau menyalahi hukum yang dilakukan pelaku dalam upaya membuktikan adanya hubungan hukum antara pelaku dengan bidang tanah yang dikuasainya.

  1. Menguasai Tanpa Hak

Menguasai Tanpa Hak; menggambarkan adanya hubungan hukum yang tidak sah antara pelaku dengan tanah yang dikuasainya. Ada penegasan kata ”tanpa hak”  alam penguasaan tanah yang dilakukan pelaku, sehingga menunjukan adanya pihak lain yang memiliki hak atas tanah dimaksud.

  1. Mengakui Tanpa Hak

Mengakui Tanpa Hak; bisa jadi secara fisik bidang tanah dimaksud belum dikuasai oleh pelaku, namun secara pengakuan, pelaku telah mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki hak atas tanah tersebut sehingga memungkinkan pihak yang menguasai bidang tanah mengalami kerugian atas pengakuan pelaku tersebut.

Adapun pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkenaan dengan sanksi pidana terhadap tindak pidana penyerobotan tanah yaitu pasal 385 KUHP, yang terdapat pada buku ke II, bab XXV tentang kejahatan penipuan. Pasal 385 KUHP berbunyi; diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun :

  1. ke-1 barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain;
  2. ke-2 barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak tanah Indonesia yang telah dibebani crediet verband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain;
  3. ke-3 barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan crediet verband mengenai sesuatu hak tanah Indonesia, dengan menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan.
  4. ke-4 barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu
  5. ke-5 barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah digadaikan. ke-6 barangsiapa dengan maksud yang sama

Di samping KUHP pengaturan tindak pidana penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 2 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menyatakan bahwa : Pasal 2 yang berbunyi : “Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah”

Dari norma hukum tersebut diatas, maka penyelesaian sengketa tanah dapat diselesaikan melalui Laporan Pidana ke Pihak Kepolisian. Akan tetapi peradilan pidana hanya berwenang memberikan sanksi hukum atas perbuatan seseorang yang menyerobot secara tanpa hak. Sedangkan terkait sah atau tidak sahnya kepemilikan atas tanah adalah wewenang peradilan perdata bukan peradilan pidana.

NON LITIGASI
Penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan) bukanlah merupakan satu-satuya cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa tanah melalui Pengadilan terkadang menghabiskan banyak waktu tenaga biaya untuk menyelesaikan sengketa tanah. Bahkan, terkadang biaya yang dikeluarkan bisa lebih tinggi dari materi pokok dari properti yang disengketakan. Karena alasan ini, banyak yang menghindari pergi ke pengadilan.

Selain litigasi, terdapat penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi), yaitu penyelesaian sengketa melalui negosiasi (musyawarah), mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Selain itu terdapat pula bentuk penyelesaian sengketa yang sangat akrab diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yakni penyelesaian sengketa secara damai oleh kepala desa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini pada dasarnya dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa karena prosesnya didasarkan pada pengaturan sendiri dan masih kental diwarnai dengan adat kebiasaan setempat. Semua hal yang telah disepakati merupakan keputusan bersama para pihak yang bersengketa.

  1. Negosiasi

Untuk menyelesaikan suatu sengketa, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah para pihak yang bersengketa melakukan negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya dapat diterima oleh para pihak tersebut[4]. Negosiasi pada dasarnya ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama. Dalam hal ini Sudargo Gautama menyebutkan bahwa negosiasi merupakan proses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, yakni suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa sebagaimana manusia itu sendiri[5]. Dalam praktik negosiasi dilakukan karena dua alasan, yakni:

  1. Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga (di sini tidak terjadi sengketa).
  2. Untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak
  3. Mediasi

Mediasi juga merupakan salah satu bentuk atau cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Berbeda halnya dengan negosiasi, proses penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat melibatkan orang lain atau pihak ketiga sebagai mediator.

Achmad Ali mengemukakan bahwa mediator adalah seorang netral dan tidak bertindak sebagai seorang hakim, dia tidak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan suatu putusan. Malahan mediator memimpin suatu pemeriksaan tatap muka dengan pihak yang bersengketa dan menggunakan keterampilan khusus tentang bagaimana mendengarkan problem para pihak, keterampilan bertanya, bernegosiasi dan membuat pilihan, membuat para pihak menentukan solusi mereka terhadap persengketaan mereka[6].

Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN).

Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator yang terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut diluar dari Hakim yang menangani perkaranya. Penggunaan mediator hakim dan penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Proses mediasi pada dasarnya tidak terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.

Kelebihan Mediasi di Pengadilan :

  • Lebih sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata;
  • Efisien; Waktu singkat;
  • Rahasia;
  • Menjaga hubungan baik para pihak;
  • Hasil mediasi merupakan KESEPAKATAN;
  • Berkekuatan hukum tetap;
  • Akses yang luas bagi para pihak memperoleh rasa keadilan.

Untuk menggunakan mekanisme Mediasi di Pengadilan, diawali dengan gugatan dari salah satu pihak. Namun jika Mediasi ini gagal atau tidak tercapainya kesepakatan perdamaian, maka gugatan dilanjutkan ketahapan selanjutnya.

  1. Arbitrase

Apabila upaya para pihak dalam menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi dan mediasi tidak tercapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat mengikat dan final.

Arbitrase berasal dari kata arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaiakan sesuatu menurut kebijaksanaan. Jadi arbitrase itu sebenarnya adalah lembaga peradilan oleh hakim partikelir/swasta (particuliere rechtspraak)[7]. Pasal 1 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan pengertian di atas, ada tiga hal yang mendasari dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Pertama, arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian secara non litigasi. Kedua, perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis. Ketiga, perjanjian arbitrase merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak diperuntukkan untuk menyelesaikan sengketa di luar sengketa perdata. Dalam hal ini Achmad Ali mengemukakan bahwa penggunaan arbitrase hanya terbatas pada penyelesaian sengketa perdata. Arbitrase sering lebih cepat, lebih non formal, lebih murah, lebih mudah penyelesaiannya dan lebih rahasia ketimbang berperkara ke pengadilan[8]

  1. Konsiliasi

Seperti halnya dengan mediasi, konsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.

Pada dasarnya, mediator dan konsiliator bertugas sebagai fasilitator untuk melakukan komunikasi antara para pihak yang bersengketa sehingga dapat ditemukan solusi yang dapat memuaskan para pihak itu sendiri. Hanya saja seorang konsiliator berperan sebatas untuk melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak yang ersengketa, mengarahkan topik pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau para pihak tidak mau bertemu langsung. Sedangkan mediator, disamping dapat melakukan yang dilakukan konsiliator, juga menyarankan solusi sengketa, hal mana secara teoritis tidak ada dalam kewenangan pihak konsiliator.

  1. Kepala Desa

Sama halnya dengan penyelesaian sengketa melalui negosiasi, mediasi, arbitrase dan konsiliasi, penyelesaian sengketa oleh kepala desa juga merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang lebih didominasi oleh hukum adat setempat. Cara penyelesaian sengketa oleh kepala desa sangat aktual dipraktekkan oleh masyarakat di desa dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya jika terjadi suatu sengketa, maka pihak-pihak yang merasa dirugikan lebih dahulu mengadukan kepada kepala desanya untuk diselesaikan secara damai. Peran kepala desa dalam menyelesaikan sengketa memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam menciptakan suatu ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat di desa. Apabila terjadi suatu sengketa dalam masyarakat, maka kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan desa bertugas dan berkewajiban untuk mendamaikan persengketaan tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) huruf k PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kepala desa mempunyai kewajiban mendamaikan perselisihan masyarakat di desa”.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) termasuk yang yang dipraktekkan oleh para kepala desa secara hukum dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan. Kepala desa dalam menangani suatu sengketa akan bertindak sebagai mediator. Maksudnya, kepala desa dalam posisi sebagai pihak ketiga yang netral akan mempertemukan dan berusaha mendamaikan para pihak yang bersengketa.

Kepala desa dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa dapat dibantu oleh lembaga adat desa. Dalam suatu komunitas setingkat desa, pada umumnya masyarakat taat pada aturan adat atau kebiasaan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Iman Sudiyati mengemukakan bahwa hukum adat tumbuh, dianut, dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang bergaul dalam masyarakat, supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam[9].

Dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dijelaskan bahwa apabila di desa tidak terdapat suatu lembaga dat, maka kepala desa diperbolehkan meminta kepada tokohtokoh agama maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya untuk membantu kepala desa dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan adat, agama dan tokoh-tokoh masyarakat, biasanya kepala desa lebih mudah mendamaikan para pihak yang bersengketa.

Dengan konsep pemikiran sebagaimana diungkap di atas, maka dapat dipahami bahwa seorang kepala desa sebagai kepala persekutuan hukum adalah kepala rakyat, bapak masyarakat, yang secara moral wajib menjaga ketentraman dalam kelompoknya, membuat dan menjaga hukum kelompoknya, mendamaikan setiap perselisihan sehingga tercipta kedamaian dan keserasian dalam bertingkah laku dan bermasyarakat.

TATA CARA AGAR JUAL BELI TANAH YANG DILINDUNGI HUKUM
Dalam proses jualbeli tanah terdapat kriteria hukum yang harus diperhatikan aspek formil dan materil agar jualbeli menjadi sah menurut hukum dan peralihan hak tanah (transfer of ownership) dilindungi oleh hukum. Menurut Urip Santoso[10], syarat sahnya transaksi jualbeli ditentukan oleh syarat materil dan syarat formil yaitu ;

Syarat Materiil
Syarat materiil jual beli hak atas tanah adalah tertuju pada subjek dan objek hak yang akan diperjualbelikan. Pemegang hak atas tanah harus mempunyai hak dan berwenang untuk menjual hak atas tanah. Di samping itu, pembeli juga harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli.

  1. Penjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau alat bukti lain selain sertifikat;
  2. Penjual harus sudah dewasa menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. Apabila Penjual belum dewasa atau masih berada di bawah umur (minderjarig ) maka untuk melakukan jual beli harus diwakili oleh walinya;
  4. Apabila Penjual berada di dalam pengampuan (curatele) , maka untuk melakukan transaksi jual beli harus diwakili oleh Pengampu atau Kuratornya;
  5. Apabila Penjual diwakili oleh orang lain sebagai Penerima Kuasa, maka penerima kuasa harus menunjukkan Surat Kuasa Notariil atau Surat Kuasa Otentik yang dibuat oleh Pejabat yang Berwenang;
  6. Apabila hak atas tanah yang akan dijual merupakan harta bersama dalam perkawinan, maka Penjual harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami/isteri yang dituangkan dalam Akta Jual Beli.

Syarat Formil
Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas transaksi jual beli tersebut. Formalitas ini meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta Pejabat yang Berwenang membuat aktanya. Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka syarat formil jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT. Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan atau berkualifikasi sebagai akta otentik.

Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian (jualbeli), sebelum transaksi jualbeli dilakukan, pihak pembeli diwajibkan melakukan penelitian sebagai bentuk penerapan prinsip kehati-hatian agar Pembeli dikualifikasi sebagai pembeli beriktikad baik. Pembeli Beritikad Baik adalah pembeli yang telah membeli suatu barang dengan harga pembayaran tertentu, untuk digunakannya sendiri, tanpa mengetahui adanya klaim pihak lain terhadap barang tersebut.

Menurut Subekti[11], Pembeli Beritikad Baik sebagai pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik, sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu barang darinya dilindungi oleh hukum.

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung  Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, memberikan penjelasan bahwa mengenai pengertian pembeli beriktikad baik sebagaimana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempurnakan sebagai berikut:
Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KHUPerdata adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan yaitu:
  • Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau:
  • Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 atau;
  • Pembelian terhadap tanah milik adat / yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu:
  • dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan / diketahui Kepala Desa/Lurah setempat).
  • didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
  • Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
    1. Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan antara lain:
  • Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;
  • Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita, atau;
  • Tanah objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/hak tanggungan,
  • Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan tata cara jualbeli tanah yang sah dan menurut hukum adalah jualbeli yang memenuhi aspek hukum materil dan formil serta pembeli wajib dilingungi hukum apabila telah melakukan prinsip kehati-hatian sebagaimana kriteria dalam Surat Edaran Mahkamah Agung  Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

  1. PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi. Adapun Cara-cara yang dimaksud adalah:

  1. Penyelesaian sengketa secara litigasi, yakni suatu bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan di pengadilan dengan mengikuti tata cara persidangan menurut ketentuan hukum acara. Para pihak yang bersengketa berhadap-hadapan untuk saling mengalahkan, diadakan di pengadilan, dan hasilnya berupa putusan.
  2. Penyelesaian sengketa secara non litigasi, yakni suatu bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa secara non litigasi dapat berupa negosiasi antara para pihak yang bersengketa untuk mencapai kata mufakat, mediasi, arbitrase, dan konsiliasi yang masing-masing menunjuk pihak ketiga yang bersifat netral untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi. Selain itu terdapat pula bentuk penyelesaian sengketa secara adat, yakni penyelesaian sengketa oleh kepala desa yang memang sangat aktual dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam masyarakat desa. Pelaksanaan penyelesaian non litigasi ini sifatnya lebih mudah diatur sendiri oleh para pihak yang bersengketa tanpa terikat pada ketentuan hukum acara yang sifatnya kaku.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka disarankan agar pihak-pihak yang sendang mengalami sengketa tanah untuk mempertimbangan penyelesaian melalui jalur non litigasi agar lebih praktis, ekonomis, dan efektif untuk meminimalisir konflik yang berkepanjangan. Namun apabila terdapat dokumen/produk hukum dari instansi yang menurut pandangan terdapat kekeliruan atau ganda, maka untuk menciptakan kepastian hukum diperlukan penyelesaian melalui jalur litigasi agar menciptakan kepastian hukum

Pemateri
Ketua LBH Pelita Keadilan Bungo

Indra Setiawan, S.H.,M.H
NIA 14.01598

[1] 2Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 177-182.
[2]Muhadar, Viktimisasi Di Bidang Pertanahan, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2006, hlm. 46
[3]Tri Andrisman, Asas-Asas dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hlm. 70
[4]Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Cet. I, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm.1.
[5]Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Cet. I, Bandung: Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm.77
[6]Achmad Ali, Pengadilan dan Masyarakat, Hasanuddin University Press,  Ujung Pandang, 1999, hlm. 17.
[7] Hasanuddin Rahman, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Draftig, Cet. I; PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 340.
[8]Achmad Ali, op. cit, hlm. 27.
[9]Iman Sudiyati, Asas-asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm. 33.
[10]Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Cet.14. Jakarta. 2010. hlm. 357-369.
[11]R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit. hlm. 15, hlm. 15.