TELAAH TEORI HUKUM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI DALAM PERKARA PIDANA NOMOR 574 K/PID.SUS/2018 TANGGAL  26 SEPTEMBER 2018 ATAS NAMA TERDAKWA BAIQ NURIL MAKNUN

Oleh ;

Indra Setiawan, SH

 

  1. Pendahuluan
  2. Latarbelakang

Akhir-akhir ini dunia hukum di Indonesia, khususnya dunia peradilan memperoleh cukup banyak sorotan dari masyarakat. Salah satunya adalah berkaitan dengan munculnya beberapa putusan pengadilan yang dianggap kurang menyentuh rasa keadilan. Sebagai contoh, dalam kasus Baiq Nuril, yang diputus bersalah  oleh Mahkamah Agung RI  atas perbuatannya yang dianggap terbukti melakukan tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik muatan yang mengandung asusila.

Di pengadilan tingkat pertama (Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr) Baiq Nuril dinyatakan bebas karena tidak terbukti atas dakwaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Atas vonis bebas ini, Jaksa mengajukan kasasi dan dalam putusan kasasi (Putusan Mahkamah Agung RI No 574 K/PID.SUS/2018), menghukum Baiq selama 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Baiq Nuril terbukti menyebarkan konten yang mengandung kesusilaan seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dijatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor 574 K/PID.SUS/2018, dikritik oleh sejumlah kalangan yang menganggap Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual  yang seharusnya dilindungi bukan dipidana sehingga pemidanaan itu mencederai rasa keadilan masyarakat, selain itu  Mahkamah Agung RI dalam memutus perkara atas nama Terdakwa Baiq Nuril dinilai kurang cermat dalam memahami fakta-fakta persidangan yang terungkap dipersidangan Pengadilan Negeri Mataram.

Kasus ini tentunya dapat dimengerti dari sudut pandang legal-positivistik, dalam arti hakim diberikan jaminan kemandirian untuk menggunakan kewenangannya oleh Undang-Undang. Namun, hal tersebut menjadi suatu persoalan serius jika ditinjau dari perspektif filsafat hukum, khususnya dari segi keadilan, karena esensi masalahnya terletak pada rasa keadilan yang sebagian menganggap tidak tercermin dalam kasus Baiq Nuril yang dianggap sebagai korban pelecehan sexsual.

Keadilan (justice) merupakan masalah klasik yang selalu mengalami dinamika hingga di jaman digital ini. Hal ini ditampakkan melalui bermunculannya banyak teori dan pandangan tentang keadilan yang dikemukakan oleh para pemikir, baik ahli filsafat maupun ahli hukum. Masalah keadilan selalu menarik untuk diperdebatkan. Dalam pandangan positivisme hukum, keadilan sering dikesampingkan karena dianggap bukan konsep hukum melainkan konsep moral. Moral tidak menjadi urusan hukum, sehingga keadilan juga bukan urusan hukum. Itu sebabnya, dalam pandangan positivisme hukum, hukum yang berlaku (hukum positif) selalu dianggap adil sampai ada hukum yang mencabut atau menggantinya dengan hukum yang baru.

Pandangan positivisme hukum di atas sangat ditentang oleh pendukung aliran hukum kodrat, yang mengkonsepkan hukum sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan yang berlaku universal dan abadi. Hukum yang berlaku belum tentu adil. Hukum yang tidak adil itu tidak perlu ditaati. Hukum memiliki bentuk tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Hukum tidak tertulis dapat dijumpai dalam kebiasaan-kebiasaan yang mengikat. Hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, keduanya tidak jarang memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan persoalan atau konflik hukum yang timbul dalam masyarakat. Untuk mengatasinya, pengadilan atau hakim dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa atau konflik hukum, yang berujung pada lahirnya putusan pengadilan.

Dalam konteks penegakan hukum terhadap suatu tindak pidana khususnya dalam perkara Baiq Nuril ini, putusan pengadilan menjadi penting untuk dilihat aliran hukum yang terkandung didalamnya. Tulisan ini hendak menganalisis tentang teori hukum yang terkandung dalam putusan pengadilan dan sejauh mana teori hukum diterapkan dalam proses penegakan hukum.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus posisi tersebut diatas, maka pertanyaan pokok yang ingin dijawab melalui tulisan ini adalah apakah teori hukum yang terkandung kandung dalam putusan pengadilan dalam perkara nomor 574 K/Pid.Sus/2018 Tanggal  26 September 2018 Atas Nama Terdakwa Baiq Nuril Maknun?

  1. Analisis Pembahasan

Kasus Posisi

Kasus ini bermula pada saat Saksi Korban Haji Muslim menelpo Terdakwa, dan didalam percakapan telepon tersebut saksi Korban Haji Muslim menceritakan peristiwa persetubuhan dengan Landriati yang terjadi dikamr Hotel Puri Saron terebut dengan mengunakan Bahasa Sasak. Bahwa percakapan tersebut direkam oleh Terdakwa tanpa sepengetahuan saksi korban Haji Muslim. Bahwa isi rekaman percakapn antara saksi koran Haji Muslim tersebut tetap tersimpan dalam hanphone milik terdakwa selama 1 tahun. Bahwa kemudian saksi Haji Imam Mudawin mendatangani Terdakwa beberapa kali meminta isi rekaman percakapan antara saksi korban Haji Muslim dengan Terdakwa dengan alasan sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram, dan akhirnya Terdakwa menyerahkan hanphone miiknya yang berisi rekaman pembicaraan saksi korban Haji Muslim dengan Terdakwa tersebut dengan cara mentransfer isi rekaman suara terebut ke laptop milik Haji Imam Mudawin.

Bahwa walaupun pada awalnya Terdakwa tidak bersedia untuk menyerahan pembicaraan tersebut kepada Haji Imam Mudawin namun akhirnya Terdakwa bersedia menyerahkan rekaman percakapan yang ada di handphone mili Terdakwa tersebut karena Terdakwa sebelumnya menyadari dengan sepenuhnya bahwa dengan dikirimnya dan dipndahkanya atau mentransfernya is rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa besar kemungkinan dan atau dapat dipastikan atu setidak-tidaknya saksi Haji Imam Mudawin akan dapat mendstribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atua membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupaisi rekaman pembicaraan yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan

Bahwa berdasarkan pertimbangan Hukum tersebut diatas Mahkamah Agung berpendapat perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur delik dalam Pasal 27 ayat (1) Junto Pasal Pasl 45 ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karenanya Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Mataram dengan nomor ; 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr Tanggal 26 Juli 17 yang membebaskan Terdakwa dari Dakwaan tidak cukup bukti. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui putuannya nomor 574 K/Pid.Sus/2018 manjatuhkan pidana penjara selama 6 bulan dan pidana denda 500,000,000 subsider 3 bulan kurungan dengan ketentuan dikurangi dari masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa.

  1. Pengertian Teori Hukum

Teori hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam kerangka memecahkan berbagai persoalan, di mana di dalam hukum normatif tidak diatur

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan[1]. Terdapat keragu-raguan dari para akademisi tentang tempat dari disiplin teori hukum dengan filsafat hukum, ilmu hukum, hukum normatif dan hukum positif. Ada yang menyamakan antara filsafat hukum dengan teori hukum[2]

Mengenai definisi teori hukum, belum adanya satu definisi yang baku. Banyak pendapat para ahli mengenai disiplin teori hukum, antara lain:

Hans Kelsen, Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori hukum murni, makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu hukum, dan bagaimana ia ada.

Friedman, Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain. disiplin teori hukum tidak mendapatkan tempat sebagai ilmu yang mandiri, maka disiplin teori hukum harus mendapatkan tempat di dalam disiplin ilmu hukum secara mandiri[3]

Ian Mc Leod, Teori hukum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik secara sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan hukum atau intitusi hukum secara umum.

John Finch, Teori hukum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada hukum dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau sistem hukum yang bertujuan menganalisis unsure-unsur dasar yang membuatnya menjadi hukum dan membedakannya dari peraturan-peraturan lain.

Jan Gijssels dan Mark van Hocke, Teori hukum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan tentang hukum. Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait dengan ajaran hukum umum. Mereka memandang bahwa ada kesinambungan antara Ajaran Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut[4]

  • Teori hukum sebagai kelanjutan dari Aaran Hukum Umum memiliki objek disiplin mandiri, diantara dogmatik hukum di satu sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Dewasa ini teori hukum diakui sebagai disiplin ketiga disamping untuk melengkapi filsafat hukum dan dogmatik hukum, masing-masing memiliki wilayah dan nilai sendiri-sendiri.
  • Teori hukum dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai, yang membedakan dengan disiplin lain.

JJ.H Bruggink, Teori hukum adalah suatu keseluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Dalam definisi tadi, yang ad dalam pikiran kita adalah teori hukum sebagai produk. Sebab, keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Namun orang juga memandang teori hukum itu sebagai suatu proses.[5]

Teori hukum tidak hanya menjelaskan apa itu hukum sampai kepada hal-hal yang konkret, tetapi juga pada persoalan yang mendasar dri hukum itu. Seperti yang dikatakan Radbruch, yang dikutip Satjipto Rahardjo, tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada penjelasan filosofis yang tertinggi. Teori hukum akan mempertanyakan hal-hal seperti: mengapa hukum berlaku, apa dasar kekuatan yang mengikatnya, apa yang menjadi tujuan hukum, bagaimana hukum dipahami, apa hubungannya dengan individu dengan masyarakat, apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum, apakah keadilan itu, dan bagaimana hukum yang adil[6]

  1. Macam-macam Teori Hukum

Teori Theokrasi, Teori Theokrasi dikemukakan oleh Friederich Stahl (Jerman). Teori ini menganggap bahwa hukum itu adalah kemauan Tuhan, jadi yang menjadi dasar dari kekuatan hukum adalah kepercayaan kepada Tuhan. Tinjauan tentang hukum dikaitkan dengan kepercayaan dan agama, dimana perintah-perintah Tuhan tersebut ditulis di dalam kitab-kitab suci. Teori Theokrasi ini di Barat diterima sampai zaman Renaissance (abad ke-17).

Teori Perjanjian Masyarakat (Contract Social) / Teori Kedaulatan Rakyat.

Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang disebut Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), Rosseau mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati hukum. Penganut dari teori ini diantaranya Thomas Hobbes, Montesquieu, dan John Locke. Hobbes menambahkan bahwa keadaan alamiah sama sekali bukanlah keadaan yang aman, adil dan makmur. Namun sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang yang senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya. Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (= manusia yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).

Dalam kepustakaan ilmu politik, dikenal ada 2 (dua) macam perjanjian masyarakat, yaitu:

  • Perjanjian masyarakat yang sebenarnya (pactum uniois / pacte d’ association / social contract proper), adalah perjanjian masyarakat dengan membentuk badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang selanjutnya bersama-sama mengadakan perjanjian. Dengan perjanjian inilah maka terbentuklah societas atau masyarakat manusia.
  • Perjanjian pemerintahan (pactum subjectionis / pacte de gouverment / contract of government). Bersamaan atau setelah pembentukan societas tersebut, diadakan pula perjanjian antara manusia dengan seorang atau sekelompok orang yang dengan syarat-syarat tertentu, yang harus dihormati dan ditaati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya berdasarkan perjanjian ini, seseorang atau kelompok orang tersebut diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan atas masyarakat/rakyat. Perjanjian ini melahirkan Pemerintahan atau Negara.

Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat telah menyerahkan seluruh haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hobbes, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak.

Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis tidak seluruh hak manusia yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang diberikan oleh hukum alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak asasi manusia yang terdiri dari hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.

Teori Kedaulatan Negara, Tokoh-tokoh teori Kedaulatan Negara adalah Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian Rakyat. Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa:

  • Hukum adalah kehendak negara. Hukum bukan kemauan bersama anggota masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak terbatas;
  • Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.

Teori Kedaulatan Hukum, Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20 dan menentang teori Kedaulatan Negara. Tokoh-tokohnya adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini berpendapat bahwa:

  • Hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat;
  • Hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat;
  • Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat.

Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”, Krabbe menyebutkan bahwa:

  • Rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum;
  • Hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak;
  • Peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat. Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun masih ditaati orang atau dipaksakan;
  • Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum yang mempunyai kewibawaan.

Teori Positivisme dan Utilitarianisme, Abad ke-19, H.L.A Hart (1907), mengemukakan arti dari positivisme adalah sebagai berikut:

  • Hukum adalah perintah;
  • Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis;
  • Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
  • Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian;
  • Hukum sebagaimana diundangkan dan ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan atau yang diinginkan.

Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa :

  • Hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati;
  • Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebut sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).

Menurut John Austin, ilmu hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat historis didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu negara.

Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya. Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya  suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum  hanya ada dengan bentuk formalnya.

Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum Positif) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command (perintah), Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan Sovereignty (kedaulatan) Hukum Positif semacam “perintah” (command), karena perintah, maka mesti berasal dari satu sumber tertentu. Bila suatu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap hukum Positif dibuat oleh seseorang/badan yang berdaulat  yang memegang (suvereign). Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan) akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.

Jeremy Bentham (1748-1832), seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut ke dalam kawasan hukum, yaitu sebagai berikut:

  • Bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan;
  • Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.

John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu sebagai berikut:

  • Bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan;
  • Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati;
  • Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual melainkan juga kepada kepentingan orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “social utilitarianism”, mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, yaitu sebagai berikut:

  • Tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan;
  • Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari;
  • Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

Teori Hukum Murni, Tokoh teori Hukum Murni adalah Hans Kelsen (Austria). Bukunya yang terkenal berjudul “Reine Rechslehre” (ajaran hukum murni). Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.

Dasar-dasar pokok teori Hukum Murni adalah sebagai berikut:

  • Sebagaimana tujuan dari setiap ilmu, tujuan teori Hukum murni adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
  • Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan, merupakan pengetahuan tentang hukum yang ada dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada;
  • Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam;
  • Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum;
  • Suatu teori tentang hukum adalah formal, yaitu suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik;
  • Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori Hukum Murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

  1. Analisis Teori Hukum Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor; 574 K/Pid.Sus/2018

Putusan Pengadilan yang dibuat oleh Hakim sejatinya merupakan sebuah produk hukum yang dihasilkan dari suatu proses penerapan hukum oleh hakim terhadap suatu kasus tertentu.

Pada dasarnya profesi hakim bersifat independen atau mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain. Namun demikian dalam kemandiriannya itu profesi hakim juga terikat dengan sejumlah peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Keterikatan tersebut pada kenyatanyaan dapat mempengaruhi keputusan yang akan diabil hakim atas perkara yang diajukan kepadanya.

Fungsi hakim bukan semata-mata menegakan hukum, tetapi juga sekaligus menegakan atau memberikan keadilan bagi para pencari keadilan melalui putusan pengadilan. Keadilan dapat diperoleh dari menegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun dari nilai-nilai yang tumbuh dan hidup di masyarakat.

Dalam kasus Baiq Nuril, disebagian kalangan masyarakat menganggap kasus Baiq Nuril adalah suatu bentuk kriminalisasi kaum perempuan sebagai korban pelecehan seksual justru dijadikan tersangka/terdakwa sehingga menciderai rasa keadilan di masyarakat.

Dalam mengurai suatu peristiwa hukum, hakim dihadapkan dengan fakta-fakta hukum dipersidangan yang kemudian dirumuskan dan menyusun pertimbangan hukum dan penerapan aturan hukum yang berlaku. Oleh karenanya dalam kerangka penegakan hukum, dan demi kepastian hukum, hakim terikat dengan kodefikasi hukum yang relevan terhadap kasus yang ditangani dan mengacu legal formal yang berlaku.

Didalam pertimbangan Majelis Hakim Agung dalam perkara 574 K/Pid.Sus/2018 Tanggal  26 September 2018 Atas Nama Terdakwa Baiq Nuril Maknun telah diputus bersalah karena terbukti melangar pasal 27 ayat (1) UU ITE dengan pertimbangan sebagai berikut [7]:

  • Bahwa kemudian saksi Haji Imam Mudawin mendatangi Terdakwa beberapa kali meminta isi rekaman percakapan antara saksi korban Haji Muslim dengan Terdakwa tersebut dengan alasan sebagai bahan laporan ke DPRD Mataram, dan akhirnya Terdakwa menyerahkan handphone miliknya yang berisi rekaman pembicaraan saksi korban Haji Muslimdengan Terdakwa tersebut, lalu dengan cara menyambungkan kabel data ke handphone milik Terdakwa kemudian kabel data tersebut disambungkan ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin kemudian memindahkan, mengirimkan, mentransfer isi rekaman suara tersebut ke laptop milik saksi Haji Imam Mudawin;
  • Bahwa walaupun pada awalnya Terdakwa tidak bersedia untuk menyerahkan pembicaraan tersebut kepada saksi Haji Imam Mudawin namun akhirnya Terdakwa bersedia menyerahkan rekaman percakapan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut karena Terdakwa sebelumnya menyadari dengan sepenuhnya bahwa dengan dikirmnya dan dipindahkannya atau ditransfernya isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut ke laptop milik Terdakwa besar kemungkinan dan atau dapat dipastikan atau setidak-tidaknya saksi Haji Imam Mudawin akan dapat mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa isi rekaman pembicaraan yang memiliki muatan pelanggaran kesusilaan;
  • Bahwa ternyata beberapa saat kemudian saksi Haji Imam Mudawin telah meneruskan, mengirimkan dan/atau mentransferkan isi rekaman pembicaraan yang melanggar kesusilaan tersebut kepada saksi Muhajidin, kemudian oleh saksi Muhajidin mengirim, mendistribusikan lagi isi rekaman pembicaraan tersebut ke handphone milik Muhalim dan demikian seterusnya ke handphone Lalu Wirebakti, Hj. Indah Deporwati, Sukrian, Haji Isin dan Hanafi;
  • Bahwa berdasarkan pertimbangan atas fakta yang relevan secara yuridis tersebut, maka perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur delik dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan oleh karena itu Terdakwa harus dijatuhi pidana
  • Bahwa tujuan pemidanaan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah sejalan dengan tujuan pemerintah dalam melakukan pengembangan tehnologi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga diharapkan pemanfaatan tehnologi dan informasi dapat dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaan dengan memperhatikan nilai-nilai agama, sosial dan budaya masyarakat Indonesia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa tehnologi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia, sekaligus menjadi media atau sarana yang paling efektif untuk melakukan perbuatan melawan hukum
  • Bahwa penjatuhan pidana dalam perkara aquo diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi Tedakwa pada khususnyamaupun masyarakat indonesia pada umumnya agar dapt lebih hati-hati dalam memanfaatkan dan menggunakan media elektronik, terlebih bagi yang menyangkut data pribadi seseorang ataupun pembicaraan anar personal, dimana pemanfaatan dan penggunaanya harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

Bahwa dialam Pasal 27 ayat 1 UU ITE dirumuskan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Bahwa didalam konstruksi pasal tersebut, yang harus menjadi perhatian adalah bahwa tindakan yang dilarang adalah melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, bukan melakukan perekaman. Sehingga, fokus dalam pemeriksaan perkara ini oleh MA seharusnya adalah: apakah benar Terdakwa Baiq Nuril melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan?

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung mengatakan bahwa Baiq Nuril yang melakukan transmisi/transfer rekaman dari telepon genggam ke laptop milik HIM. Padahal, secara jelas di dalam pengadilan tingkat pertama, para saksi yang terdiri dari Saksi Husnul Aini dan Saksi Lalu Agung Rofiq (keduanya berada di tempat kejadian pada saat transmisi dilakukan) menyatakan bahwa yang melakukan transimisi/transfer adalah HIM, bukan Terdakwa Baiq Nuril. Bahkan, didalam putusan tersebut, MA telah menyakan bahwa HIM lah yang telah meneruskan, mengirimkan, dan/atau mentransfer isi rekaman pembicaraan kepada Saksi Muhajidin, Saksi Muhalim, dan demikian seterusnya ke telepon genggam milik Lalu Wirebakti, Hj. Indah Deporwati, Sukrian, Haji Isin, dan Hanafi. Jelas, hal ini menimbulkan suatu dispersepsi dalam menimbang fakta persidangan termasuk mengidentifikasi siapa sesungguhnya pelaku tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum.

Bahwa kondisi demikian itu dapat saja dinilai sebagai suatu bentuk kelemahan atau kelalaian hakim dalam bertindak profesional dalam rangka menghasilkan putusan yang berkualitas. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Hakim dituntut untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.

Tetapi terlepas dari perbedaan pendapat dalam mengkonstatir dan mengkualifir fakta persidangan, putusan Mahkamah Agung telah menjadi hukum positif yang berlaku bagi Terdakwa dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Terhadap putusan Mahkamah Agung RI yang megandun perintah dan saksi ini sangat merupakan cerminan Teori Hukum Positifisme.

Prinsip dasar positifisme hukum adalah yang pertama merupakan suatu tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk positifnya  suatu instansi yang berwenang dalam arti dibuat oleh lembaga legislatif dan ditegakan oleh lembaga eksekutif bersama dengan yudikatif. Selanjutnya dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum  hanya ada dengan bentuk formalnya yaitu Undang-undang.

Teori ini sesuai ajaran Austin, yang mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum Positif) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command (perintah), Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan Sovereignty (kedaulatan) Hukum Positif semacam “perintah” (command), karena perintah, maka mesti berasal dari satu sumber tertentu. Bila suatu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama.

Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam masyarakat.

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem hukum Civil Law (Eropa Continental) yang diwarisi selama ratusan tahun akibat penjajahan Belanda, yang mana karakteristiknya adalah mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber hukum, maka dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia juga mengutamakan peraturan tertulis (undang-undang) sebagai hukum. Akibatnya sesuai dengan ajaran Legisme, muara penegakan hukum terutama putusan pengadilan masih bersifat formal legalisme, yang dikejar adalah keadilan formal sesuai UU.

Dalam prakteknya produk hukum yang bersifat formal-legalistic itu sering tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya oleh suatu norma yang menurut pandangan subjektif melebihi norma norma lainya. Penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan, misalnya kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak-masak bahwa hal itu demi kepentingan umum, demi kepentingan orang banyak, tetapi ada warga negera yang tidak terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijasanaan pemerintah itu dapat dinilai tidak adil, maka keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.[8]

  1. Kesimpulan

Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan dan yang ingin dicapai bersama oleh seluruh warga negara dan masyarakat. Lahirnya UU Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang informasi dan transaksi elektronik, bertujuan untuk menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup, menyelesaikan persoalan hukum, menjaga tata tertib dan aturan jika perlu dengan kekerasan, memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum.

Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya segala tindakan pemerintah dalam rangka penegakan hukum harus didasarkan pada hukum positif.

  1. Penutup

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan sebagai bahan korektif terhadap  tulisan ini. Akhir kata, bila terdapat kekeliruan penulisan kata maupun nama-nama dalam tulisan ini, sebagai manusia biasa dan dengan kerendahan hati Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih

Bungo, 11 Desember 2019

Penulis

Ttd

Indra Setiawan, S.H

Daftar Pustaka

  • Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000
  • Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indah Indonesia, Bogor, 2010
  • Friedman, Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990
  • Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004
  • H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015
  • Opcit, Satjipto Raharjo, hal 254
  • Putusan Mahkamah Agung RI No 574 K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018
  • Johan Nasution, Bahder. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung. 2014. Hal 82.

 

[1] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 253

[2] Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indah Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 1

[3] W. Friedman,  Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990, hlm. 1

[4]  Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55

[5] JJ.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 160

[6]  Opcit, Satjipto Raharjo, hal 254

[7] Putusan Mahkamah Agung RI No 574 K/Pid.Sus/2018 tanggal 26 September 2018

[8]     Johan Nasution, Bahder. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung. 2014. Hal 82.