Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan pemberitaan pernikahan sedarah (incest) yang dilangsungkan di Balikpapan Kalimantan Timur warga asal Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan antara Kakak yang bernama Ansar menikahi adik kandungnya Fitriani. Lalu terhadap perkawinan sedarah ini bagaimana aspek hukum pidana dan perdatanya?

Bahwa berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) menerangkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Maka Logika hukum pasal tersebut adalah Jika hukum agama dan kepercayaan mengatur bahwa perkawinan sedarah itu dilarang, maka perkawinan sedarah itu tidak sah.

Berdasarkan Pasal 8 UU Perkawinan menyatakan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Bahwa larangan perkawinan sedarah juga diatur dalam Pasal 39 butir (1) huruf a Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

  1. Karena pertalian nasab:
  2. dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya
  3. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
  4. dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
  5. Karena pertalian kerabat semenda:
  6. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
  7. dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
  8. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul
  9. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
  10. Karena pertalian sesusuan:
  11. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
  12. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah
  13. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
  14. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas
  15. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

Sedangkan dalam Al Quran Surat An Nisa ayat 23 dengan tegas menyatakan larangan perkawinan sedarah, yang artinya:

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya); (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Bahwa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 30 KUHPerdata yang menerangkan bahwa perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama dengan yang lain bertalian keluarga  dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah, atau karena perkawinan; dan dalam garis menyimpang, antara saudara laki dan saudara perempuan, sah atau tidak sah.

Mengenai mekanisme Pembatalan Perkawinan sedarah dapat diajukan diPengadilan Agama bagi yang beragama islam (vide ; Pasal 74 Kompilasi Hukum Islam) dan yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan sedarah sesuai ketentuan Pasal 73 Kompilasi hukum Islam adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri, Suami atau isteri,  Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang, dan para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.

Begitu juga bagi yang beragama non-muslim berdasar hukum dapat mengajukan pembatalan perkawinan diPengadilan Negeri sesuai Pasal 90 KUHPerdata yang menyatakan pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33, boleh dituntut (dimintakan pembatalan) baik oleh suami istri itu sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan.

Mengenai pemidanaan bagi pelaku perkawinan sedarah tidak dapat dikenakan sanksi pidana karena pada dasarnya dalam UU perkawinan tidak mengatur hukuman pidana bagi mereka yang melangsungkan perkawinan sedarah sebab UU Perkawinan bukan merupakan hukum pidana tetapi hukum tentang administrasi perkawinan. Tapi mereka yang bersangkutan dapat saja dikenakan sanksi pidana atas perbuatan pemalsuan dokumen termasuk saksi-saksi dalam perkawinan dapat dikenakan pidana atas dugaan memberikan kesaksian atau keterangan palsu dihadapan pejabat pencatat nikah. Seperti diketahui dalam pembertiaan bahwa Hervina selaku istri sah Ansar Mustamin telah membuat laporan dikepolisian pidana perzinahan sebagaimana dimaksud Pasal 284 ayat 1 dengan ancaman 9 bulan penjara.