Oleh Frengky HN Anggota LBH Pelita Keadilan Bungo

Di indonesia syarat-syarat dalam penjatuhan pidana meliputi unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif berupa perbuatan pidana dan unsur subjektif adalah merupakan pertanggungjawaban pidananya. Perbuatan pidana ( actus reus ) merupakan perbuatan yang di larang dengan rumusan undang-undang dan bagi siapapun yang melanggar akan dikenai sanksi pidana.

Salah satu syarat utama lainnya dalam pemidanaan adalah pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut adalah sesuatu yang ada pada diri seseorang tersangka atau terdakwa yang menentukan apakah orang tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak. yang merupakan unsur subjektif pemidanaan.

Pertanggungjawaban pidana terdapat pada diri seseorang yang memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab secara pidana. Seseorang dapat dikatakan dapat bertanggung jawab secara pidana bila:
1. Mampu mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum;
2. Mampu menentukan kehendaknya dengan kesadarannya.
Bila satu syarat pemidanaan tidak lengkap maka, seseorang tidak dapat dikenai sanksi pidana. Demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana belum dapat dijatuhi hukuman pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana ataukah tidak. Sebaliknya, orang yang dijatuhi sanksi pidana, sudah pasti telah melakukan suatu perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan olehnya.
Niat atau mens rea adalah salah satu faktor yang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana ataukah tidak. Mens Rea dapat diartikan sebagai niat jahat yang ada dalam diri pelaku tindak pidana. Para penganut paham dualistis memisahkan antara kesalahan (mens rea) dengan perbuatan pidana (actus reus). Mens rea merupakan mental element sementara actus reus merupakan physical element. Paham ini didasari dengan asas “actus non facit reum nisi men sit rea” atau bila diartikan adalah tidak ada suatu perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana bila tidak ada niat jahat di dalamnya.

Sehingga suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur tersebut, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.

Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.

Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara membedakan dalam dua bentuk yaitu:
1. Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2. Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam  dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechte-lijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.

Berkaitan dengan asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.

Pembuktian merupakan hal yang sangat menentukan apakah seseorang yang berbuat kesalahan dapat dijatuhkan pidana atau tidak, sehingga seharusnya didalam proses pembuktian bukan saja alat bukti yang diajukan namun juga harus mempertimbangkan dan membuktikan unsur niat dan mens rea, karena perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element)

Sehingga Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana sesuai dengan asas Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea.

Di harapkan dalam praktek penegakan hukum para penegak hukum mulai dari kepolisian, jaksa hingga hakim seharusnya memperhatikan kelengkapan syarat pemidanaan terlebih dahulu.
Pemidanaan tidak serta merta dilakukan hanya dengan melihat aspek objektifnya saja. Tidak berarti dengan adanya suatu kejadian atau peristiwa yang masuk dalam delik pidana menurut undang-undang membuat seseorang dikenakan sanksi pidana. Perhatian juga harus diberikan terhadap unsur daripada pertanggungjawaban pidana yaitu niat atau mens rea. Karena mens rea atau niat merupakan bagian dari unsur kesalahan yang harus dibuktikan untuk melengkapi kelengkapan syarat pemidanaan.

REFERENSI

Sudarto, Hukum Pidana I Edisi Revisi, (Semarang: Yayasan Sudarto, 2018)
George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, (Oxford: Oxford University Press, 2000)
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana (PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987).