Oleh : Indra Setiawan, S.H  (Managing Partner pada kantor Advokat Indra Setiawan & Partners)

  1. Pendahuluan

Dewasa ini sangat mudah untuk mendapatkan pinjaman uang secara online berbasis teknologi informasi atau biasa dikenal dengan Fintech. Fintech atau financial technology adalah suatu inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk Fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transkasi keuangan yang spesifik. Sedangkan Fintech lending adalah salah satu inovasi pada bidang keuangan dengan pemanfaatan teknologi yang memungkinkan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melakukan transaksi pinjam meminjam tanpa harus bertemu langsung.

Diantara fintech yang saat ini tumbuh pesat adalah pinjaman online melalui Aplikasi. Dengan aplikasi pinjaman online, masyarakat dimudahkan untuk memperoleh fasilitas kredit/pinjaman online dengan proses cepat tanpa agunan dan hanya melampirkan identitas diri seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Buku Rekening dari pemohon pinjaman.

Sistem pinjaman pada Aplikasi pinjaman online dilaksanakan dengan sistem “peer to peer lending” yaitu penyelenggaraan perjanjian pinjam-meminjam yang dipertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman melalui jaringan internet.

Dasar hukum Pinjaman Online yaitu Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam uang Berbasis Teknologi Informasi. Menurut terminoloagi POJK 77/2016 Pasal 1 angka 3 adalah “Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam matauang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet”

Secara khusus, Pasal 18 POJK 77/2016  menerangkan bahwa Perjanjian pelaksanaan Pelayanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknoloagi Informasi meliputi :

  1. Perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman ; dan
  2. Perjanjian antara Pemberi Pinjaman denan Penerima Pinjaman

Dalam praktiknya, pengguna aplikasi pinjaman online (pinjol) diwajibkan registrasi dengan cara mengisi biodata diri seperti foto KTP, Kartu Keluarga, Foto Memegang KTP, Foto Rekening Bank, Nama dan Kontak Keluarga,  Nama dan Kontak Teman Sekantor, Foto Usaha, Verifikasi gerakan wajah, dan selanjutnya mengklik tombol persetujuan syarat dan ketentuan perjanjian pinjam meminjam. Dalam perjanjian biasanya berisi sejumlah ketentuan baku diantaranya tentang jumlah angsuran, bunga pinjaman, denda, hak menggunakan data peminjam untuk penagihan, penyitaan, penyelesaiaan sengketa, dan lain sebagainya.

Sayangnya, perkembangan industri Fintech akhir-akhir ini lekat dengan stigma negatif dari masyarakat khususnya dalam konteks penagihan. Publik sering mengeluhkan mekanisme penagihan perusahaan Fintech secara intimidatif yaitu diantaranya ;

  1. Penagihan tidak hanya dilakukan pada peminjam dan kontak darurat yang dilampirkan melainkan kepada seluruh kontak yang terdapat di handphone peminjam
  2. Telp yang berisi ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual
  3. Penyebaran data pribadi dimedia sosial atau teman sekantor
  4. Kunjungan Penagih oleh orang yang berbeda-beda
  5. Data KTP dipergunakan untuk pengajuan diaplikasi lain

Masalah tersebut muncul terjadi karena peminjam (debitur) menunggak pembayaran angsuran atau gagal bayar sama sekali yang secara yuridis akibat wanprestasi dari perjanjian yang telah disepakati. Tetapi apakah menikanisme Penanganan akibat wanprestasi dengan cara-cara yang demikian rupa dengan tujuan untuk mempermalukan diri peminjam dan menggelembungkan bunga dan denda hingga peminjam tidak mampu membayar.

Alih-alih verifikasi data diri peminjam, justru dijadikan boomerang oleh pemberi pinjaman untuk menyebarkan data diri peminjam dimedia sosial atau bahkan disalahgunakan untuk keperluan meminjam di aplikasi pinjaman online lain secara sepihak. Cara

Bahwa dari uraian tersebut, tulisan ini akan membatasi pembahasan materi yaitu hanya melakukan kajian dari aspek yuridis terutama berkaitan perjanjian pinjam meminjam disekapati pada saat pengajuan pinjaman online.

  1. Rumusan Masalah
  2. Kapan Wanprestasi Itu Terjadi Dan Siapa Yang Berhak Menentukan Wanprestasi Terhadap Perjanjian Pinjaman Online.?
  3. Bagaimana Mekanisme Dan Prosedur Pelaksanaan Akibat Wanprestasi Terhadap Perjanjian Pinjaman Online?
  4. Metode Penulisan

Tulisan ini menggunakn jenis penulisan yuridis normatif yaitu pendekatan yang didasarkan untuk mengkaji dan membahas pada aturan-aturan hukum, doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dengan meneliti bahan pustaka atau penenlitian keperpustakaan. Tulisan hukum ini berdasarkan pada literatur-literatu, teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkembang dimasyarakat dari yang paling tinggi hingga paling rendah. Terhadap permasalahan yang terkait dan mengaturnya kemudian dianalisis untuk melakukan penemuan hukum terkait dengan permasalahan hukum pada aturan tersebut. Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan positif sebagai media analisa serta menggunakan pendekatan konsep yaitu pendekatan yang menggunakan konsep-konsep hukum sebagai titik tolak melakukan analisis terhadap permasalahan permasalahan hukum yang terjadi.

  1. Pembahasan dan Hasil

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut diatas, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur denan debitur[1]. Wanprestasi atau ingkar janji dapat sengaja maupun tidak sengaja.[2] Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.[3]

Wanprestasi terdapat dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “penggantian biaya, rugi, dan bunga karena idak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatkanya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktuyang telah dilampaukannya

Menurut Subekti, mengemukakan bahwa wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu [4]

  1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilakukannya
  2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan
  3. Melakukan apa yang telah diperjanjikan, tetapi terlambat
  4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan

Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka wanprestasi adalah tidak melakuka prestasi, melakukan prestasi tetapi tidak sesuai, melakukan prestasi tetapi terlambat, melakukan sesuatu perbuatan yang tidak diperjanjikan.

Pihak yang dengan sengaja atau atas kelalaiannya melakukan wanprestasi, dapat dihukum berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata yang menyatakan “ Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya

Maka demikian dapat disimpulkan wanprestasi dapat terjadi ketika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, melakukan prestasi tetapi tidak sesuai, melakukan prestasi tetapi terlambat, melakukan sesuatu perbuatan yang tidak diperjanjikan.

Jika salah satu pihak yaitu misalnya kreditur tidak secara sukarela menerima dan mengakui bahwa ia telah melakukan perbuatan wanprestasi, maka debitur tidak bisa secara sepihak memaksakan kehendaknya dengan menyatakan kreditur wanprestasi dan menjalankan akibat hukum wanprestasi secara sepihak diluar mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku. Oleh karena adanya perbedaan penafsiran dan perselisihan hak antara kreditur dengan debitur, maka penyelesaian perselisihan harus melalui mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku yaitu melalui pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang di Pengadilan yaitu Hakim dengan mengajukan gugatan wanprestasi.

Namun apabila debitur telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyatakan dirinya wanprestasi, maka pelaksanaan segala akibat wanprestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian dapat dilaksanakan secara sukarela.

Salah satu bentuk pengikatan dalam perjanjian antara kreditur (pemberi pinjaman) dan debitur (penerima pinjaman) adalah perjanjian Pinjam-Meminjam. Berkaitan dengan Pinjam-Meminjam khususnya dalam konteks Pinjaman Uang, mengacu pada BAB XIII Buku III KUHPerdata Pasal 1754 yang menyatakan “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama

Dalam aplikasi Penyedia Pinjaman Online, terdapat petunjuk bagi calon Pengguna untuk mengklik setuju sebagai wujud kesepakatan terhadap syarat dan ketentuan perjanjian maupun Kebijakan Privasi yang akan diberlakukan. Oleh karena Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa telah saling bersepakat terhadap perjanjian Pinjam-Meminjam, maka berlaku ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan ; “Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya“. Artinya Peminjam dan Pemberi Pinjaman wajib mentaati ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian sebagaimana mentati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaannya, apabila Pengguna dana pinjaman online mengalami keterlambatan pembayaran angsuran, sudah cukup untuk menyatakan Peminjam telah melakukan perbuatan wanprestasi karena melanggar ketentuan jadwal pembayaran angsuran yang telah ditetapkan dalam perjanjian Pinjam Meminjam.

Penyelesaian wanprestasi diluar mekanisme hukum ini yang kemudian menyebabkan timbulnya permasalahan hukumnya lainnya seperti pengancaman, penyebaran data diri peminjam dimedia sosial, dan perampasan barang-barang milik peminjam/debitur.

Dalam pelaksanaannya apabila terjadi silang pendapat antara Peminjam dan Pemberi Pinjaman berkaitan tunggakan pembayaran angsuran pinjaman dan/atau denda, maka kreditur tidak bisa secara sepihak menyatakan debitur wanprestasi, melainkan harus dinyatakan oleh pejabat yang berwenang yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri. Meskipun debitur berada dalam posisi yang lemah, akan tetapi penyelesaian sengketa harus tetap melalui mekanisme hukum yang berlaku, tidak boleh menggunakan cara-cara premanisme atau yang sifatnya intimidatif. Sebab cara-cara yang demikian itu justru akan menimbulkan persoalan hukum lain seperti misalnya kreditur menyebar identitas diri Peminjam dimedia sosial justru mencermarkan nama baik seseorang dan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Perlindungan data pribadi juga diatur dalam UU ITE  Pasal 26 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

  • Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.
  • Setiap orang yang melanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Ketentuan tersebut telah memberikan hak kepada pemilik data pribadi untuk tetap menjaga kerahasiaan data pribadinya, apabila data pribadinya telah tersebar dan disalahgunakan oleh pihak lain, maka pemilik data pribadi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Gugatan yang dimaksud berupa gugatan perdata yang diajukan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.

Biasanya dalam perjanjian Fintech, telah disisipkan klausa pasal perihal penyelesaian perselisihan pinjam meminjam yang akan diselesaikan secara musyawarah dan atau melalui gugatan perdata di suatu pengadilan tertentu. Oleh karenanya demi hukum  yang beradilan dan kepastian hukum perihal terjadi wanprestasi, maka sesuai hukum yang berlaku, Pemberi Pinjamn/kreditur dapat memberikan somasi (peringatan tertulis) kepada debitur dan bilamana somasi itu tidak diindahkan oleh debitur, maka kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri untuk meminta tergugat/debitur dinyatakan wanprestasi dan dihukum untuk melaksanakan kewajiban prestasinya serta mengganti kerugian yang ditimbulkan. Hakim wajib menggali substansi perkar dengan dalil gugatan kreditur, misalnya apakah debitur benar-benar wanprestasi. Hakim dituntut dapat menjaga pengadilan tetap pada posisinya sebagai tempat para pihak mencari keadilan. Hakim harus benar-benar jeli dan netral dalam memeriksa perkara yang diajukan.

Namun dalam praktiknya, kreditur akan cenderung mengindari penyelesaian melalui gugatan dan lebih memilih cara-cara penyelesaian diluar mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini disebabkan karena gugatan perdata memakan waktu yang panjang dan biaya yang harus ditanggung oleh Penggugat/kreditur. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2019 tentang perubahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, gugatan wanprestasi yang nilai kerugiannya dibawah 500.000.000 (lima ratus juta) dapat dilaksanakan melalui mekanisme gugatan sederhana yang durasi penyelesaiannya adalah 25 (dua puluh lima) hari[5] untuk tingkat pertama dan 7 (tujuh) hari[6] untuk tingkat keberatan (final dan mengkikat).

Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan Hukum Tetap, mekanisme hukum selanjutnya adalah mengajukan permohonan eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Dalam pelaksanaan eksekusi jika Tergugat/Debitur tidak dapat melaksanakan perintah pengadilan yang berisi hukuman untuk membayar sejumlah kerugian kepada Penggugat/Kreditur karena alasan ketidakmampuan secara financial, Tergugat/debitur tidak dapat ditangkap dan ditahan[7], melainkan kreditur harus mengajukan permohonan penyitaan terhadap harta benda Tergugat/Kreditur sebagai jaminan ke pengadilan, namun jika tidak ada harta benda Kreditur yang dapat diletakan sebagai barang jaminan, maka pada akhirnya putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan (non excutable[8]). Situasi inilah yang dihindari oleh Pemberi Pinjaman Online/Kreditur yang memberikan pinjaman tanpa jaminan barang. Tetapi mau tidak mau, suka tidak suka, inilah aturan hukum yang berlaku di indonesia dan setiap warga negara wajib mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Penutup

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa  Wanprestasi dapat terjadi ketika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, melakukan prestasi tetapi tidak sesuai, melakukan prestasi tetapi terlambat, melakukan sesuatu perbuatan yang tidak diperjanjikan. Dalam perjanjian pinjam meminjam pinjaman online, jika peminjam/debitur terlambat melaksanakan atau tidak melaksanakan prestasi berupa pembayaran angsuran pinjaman, maka peminjam/debitur secara hukum dapat dikatakan wanprestasi. Akan tetapi apabila terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian dan/atau berkaitan dengan perselisihan siapa yang melakukan wanprestasi, Pemberi Pinjaman/Kreditur tidak memiliki kewenangan hukum untuk menyatakan/mendeklarasikan bahwa debitur wanprestasi dan menuntut ganti kerugian secara sepihak diluar mekaniseme hukum yang berlaku.

Mekanisme Dan Prosedur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian akibat wanprestasi yaitu melalui gugatan sederhana sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, bukan melakukan penagihan yang justru berpotensi menimbulkan persoalan hukum lainnya.

 [1] Salim HS, Pengantar Hukum Tertulis (BW), Rajawali Pers, Jakarta, 20087, hlm., 180

[2]  Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm., 74

[3] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Arga Printing, Jakarta, 2007, hlm. 146

[4] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa Cek. Ke IV, Jakarta, 1979, Hlm., 59

[5] Pasal 05 ayat (3) Perma Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana

[6] Pasal 22(ayat 1) Perma Nomor 02 Tahun 2015 Tentang Penyelesaian Gugatan Sederhana

[7] Pasal 9 ayat (2) UU HAM ; Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

[8] Eksekusi yang tidak dapat dijalankan antara lain ditetapkan dalam hal

  1. Harta kekayaan tereksekusi tidak ada
  2. Putusan bersifat deklaratoir
  3. Barang objek eksekusi ditangan pihak ketiga
  4. Eksekusi terhadap penyewa
  5. Barang yang hendak dieksekusi dijaminkan kepada pihak ketiga